KOMISI Pemilihan Umum hari-hari ini tidak hanya dikepung kawat berduri, tapi juga dikelilingi masalah yang bertubi datang silih berganti. Belum lagi KPU melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai penghitungan suara tahap III, kini Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan terkait dengan penghitungan suara tahap II.
Dua keputusan lembaga tertinggi di bidang hukum itu tentu saja membawa implikasi bagi KPU. KPU harus mengubah keputusannya mengenai perolehan jumlah kursi maupun caleg terpilih.
Yang diuji MK dan MA adalah Peraturan KPU No 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih, dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Peraturan KPU No 15 di antaranya mengatur bahwa penghitungan tahap III, sisa suara yang ditarik ke provinsi adalah sisa suara yang hanya terdapat di daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi. Peraturan KPU itu dibatalkan MK dan memerintahkan KPU kembali ke Pasal 205 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Adapun putusan MA membatalkan peraturan KPU yang sama menyangkut pasal penghitungan suara tahap II dan kembali menggunakan Pasal 205 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Jika keputusan MA tersebut dilaksanakan, sekitar 66 kursi DPR akan berubah posisi.
Keputusan MA tersebut membawa berkah bagi empat partai politik. Partai Demokrat akan menangguk tambahan terbanyak yakni sekitar 30 kursi. Dengan demikian jumlah kursi Partai Demokrat bertambah dari 150 kursi menjadi 180 kursi, Golkar membengkak dari 107 kursi menjadi 125, PDIP bertambah dari 95 menjadi 111, dan PKB bertambah dari 27 menjadi 29 kursi.
Sebaliknya bagi lima partai politik, keputusan MA menjadi malapetaka. Partai Hanura akan kehilangan 12 kursi dari 18 kursi menjadi 6 kursi. Partai Gerindra akan berkurang dari 26 kursi menjadi 10, PKS akan kehilangan 7 kursi dari 57 menjadi 50, PAN berkurang dari 43 menjadi 28, dan PPP berkurang dari 37 menjadi 21 kursi.
Persoalan utama adalah apakah MA berwenang mengadili kasus pemilu? Konstitusi menugaskan MA menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan tugas MK adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Bagi sebagian orang, MA berwenang menguji peraturan KPU, sedangkan bagi sebagian lain MA tidak lagi berwenang karena semua sengketa pemilu diselesaikan di MK. MA dinilai telah memasuki ranah MK. Apalagi dalam keputusannya MA juga memerintahkan KPU menunda pelaksanaan keputusan No 259/KPTS/KPU/2009 tentang penetapan caleg terpilih.
Keputusan MA itu tidak sekadar berimplikasi pada bagi-bagi kursi di DPR, tapi juga bisa menggoyahkan seluruh sendi demokrasi yang sedang dibangun. Perubahan alokasi suara dan kursi di DPR akan melahirkan keraguan akan keabsahan partai-partai pengusung calon presiden. Jika keraguan itu berlanjut, akan bermuara pada keabsahan presiden terpilih.
Kita menunggu kecerdasan KPU untuk menyiasati keputusan MK dan MA tanpa menimbulkan guncangan yang berarti. Jangan sampai keputusan KPU melahirkan lagi gugatan baru seakan tak berujung.
No comments:
Post a Comment