Saturday 9 April 2011

SEKELUMIT TENTANG DJAKARTA TEMPO DOELOE

Legenda Jago Silat Sabeni

Para pesilat Indonesia dalam SEA Games ke-24 di Bangkok menjadi juara umum. Dua tahun sebelumnya di Manila berada di urutan kedua setelah Vietnam. Padahal, para pesilat Vietnam mahir dalam ilmu bela diri ini setelah mendapat latihan dan bimbingan dari pelatih Indonesia.
Beberapa waktu lalu pernah ada usul agar pencak silat diikutsertakan dalam Olympiade. Bila usulan ini diterima, para pesilat Indonesia diharapkan bisa mempersembahkan medali emas bagi negaranya. Tapi, pencak silat sekarang ini telah berkembang di sejumlah negara termasuk di Eropa juga setelah mereka belajar dari para pesilat kita.
Bagi warga Betawi, main pencak silat adalah suatu kemustian. Pada tempo doeloe hampir di tiap kampung terdapat pendekar silat. Mereka sangat disegani, karena tingkah lakunya yang terpuji. Mereka menggunakan ilmu bela dirinya untuk amar ma’fur nahi munkar mengajar manusia ke jalan kebaikan dan mencegah kezaliman. Jauh dari tingkah laku para preman sekarang, yang main palak dan peres dengan kejamnya.
Kalau kita memasuki Jl KH Mas Mansyur dari arah Pasar Tanah Abang, di sebelah kanan jalan terdapat Jl Sabeni. Sabeni adalah pendekar silat Tanah Abang, yang lahir akhir abad ke-19 dan meninggal menjelang proklamasdi kemerdekaan (1945).
Ada peristiwa menarik yang dialami Sabeni pada masa penjajahan Jepang. Jepang yang tengah berperang melawan Sekutu memerlukan pemuda-pemuda untuk dijadikan Heiho semacam tenaga sukarelawan untuk membantu para prajurit Jepang.
Salah satu putra Sabeni, bernama Sapi’i, yang masih belia seperti juga pemuda lainnya, diharuskan menjadi Heiho. Ia pun ditempatkan di Surabaya. Karena tidak tahan menghadapi perlakuan tentara Dai Nippon, Sapi’ie minggat dari Surabaya dan ngumpet di rumah orang tuanya. Tentu saja pihak Kempetai (Polisi Rahasia Jepang) tidak tinggal diam dan terus mencari keberadaannya. Karena Sapi’ie tidak juga tertangkap, Kempetai menahan Sabeni sebagai jaminan.
Mengetahui Sabeni kesohor sebagai jago silat, Kempetai ingin mengujinya. Komandannya menantang Sabeni untuk diadu dengan anak buahnya, seorang serdadu jago karate. ”Kalau Sabeni menang, bebas dan boleh pulang,” kata sang komandan, tulis Bang Thabrani dalam buku Ba-be. Duel berlangsung di Markas Kempetai di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sabeni berhasil berkelit dari serangan-serangan ahli karate itu. Bahkan, ia kemudian berhasil merobohkan prajurit Jepang itu dengan ilmu pukulan kelabang nyebrang.
Sang komandan yang kecewa karena kekalahan anak buahnya, kemudian menghadapkan seorang jago sumo untuk menundukkan Sabeni. Sabeni siap menghadapinya. Jago Sumo memasang kuda-kuda, kedua kakinya maju kedepan, berdiri ngangkang. Tangan ditaro di atas paha segede paha kuda. Kemudian keluar dari mulutnya suara, ”Eeek …!” Sambil membentangkan tangannya.
Menghadapi lawan dalam keadaan demikian, Sabeni loncat kodok, ke atas dengkul musuh yang lagi ngeden. Dengkul lawan dianggap talenan, dipakai buat salto ke atas. Untuk kemudian menyambar ubun-ubun si jago sumo, yang langsung terjengkang, ngegeloso, kagak bisa berdiri lagi karena keberatan badan dan akibat pukulan jago silat Tenabang itu.
Untuk menghormati Sabeni, jalan di depan kediamannya di Tanah Abang menjadi Jl Sabeni. Sedangkan makamnya dipindahkan dari Gang Kubur ke Karet Bivak berdekatan dengan makam Husni Thamrin.
Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, dekat Masjelis Taklim Habib Ali, juga terdapat seorang jago silat bernama Muhammad Djaelani, yang dikenal dengan nama singkat Mad Djelani. Dia pernah dihukum seumur hidup oleh Belanda. Sebabnya, sekitar 1940-an ia membunuh seorang konsul Jepang di Batavia, karena disangkanya seorang Cina kaki tangan Belanda. Ia dibebaskan oleh Barisan Pelopor pada masa revolusi fisik.
Salah seorang cucunya, H Zakaria, mewarisi ilmu silatnya, Mustika Kwitang. Pada tahun 1960-an, pasukan pengawal Presiden Soekarno, Tjakrabirawa, mendatangkan suhu (guru besar) karate dari Jepang, Prof Nakagama, yang telah mendapat predikat Dan 7, disertai mahaguru karate dari AS, Donn F Dragen. Zakaria, pemuda kelahiran Kwitang, itu diminta untuk memperlihatkan tehnik bermain silat kepada kedua mahaguru karate tersebut.
Zakaria, yang kala itu masih muda, dengan lihainya memperagakan jurus-jurus bermain senjata dan memecahkan batu dengan menggunakan pergelangan tangan. Jago silat Kwitang ini juga menunjukkan kemahirannya memainkan senjata tajam dengan kecepatan tinggi. Atraksi ini mengundang kekaguman master karate Jepang. Kepada Bung Karno saat diterima di Istana Negara ia mengatakan, ”Mengapa Anda memiliki pemain sebagus ini kok pemuda-pemudinya kurang menyukai. Justru lebih suka ilmu bela diri dari Jepang?”
Ketika menuturkan kisah ini kepada penulis, Zakaria mengatakan, ”Banyak orang Indonesia menganggap rendah pencak silat dan dianggap permainan kampungan. Padahal, di Eropa dan Asia, kini banyak orang yang mempelajarinya.” Zakaria sendiri telah mengajarkan silat di Eropa.
Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial, tak mengizinkan permainan pencak silat. Karenanya, pada masa itu para pesilat kita belajar mulai pukul 02.00 dini hari sampai menjelang subuh. Alasan Belanda, kata Zakaria, para pemberontak seperti si Pitung, si Jampang, H Murtadho dan Entong Gendut dari Condet, adalah para ahli silat. Pada masa revolusi sejumlah ahli silat Betawi dan ulamanya bahu membahu memimpin barisan melawan Belanda.
REPUBLIKA – Minggu, 23 Desember 2007
Foto yang diabadikan dua fotografer Woodbury & Page pada 1860-an memperlihatkan pelabuhan lama Sunda Kalapa, Jakarta Utara, dengan gedung-gedung yang masih tampak kokoh. Terlihat sejumlah tongkang merapat di tepi Sungai Ciliwung setelah membawa penumpang dari luar negeri menuju Kota Batavia. Mereka dibawa dengan tongkang setelah melakukan perjalanan yang lama akibat muara pelabuhan Sunda Kalapa tidak dapat lagi didarati karena berlumpur. Di depannya, terlihat bangunan beratap seng tempat pemeriksaan bea cukai setelah penumpang diturunkan.
Para penumpang itu kemudian beristirahat di gedung yang berada di depannya. Di sini, mereka dapat bermalam untuk keesokan harinya meneruskan perjalanan ke pusat kota. Hotel atau tempat peristirahatan untuk menampung pendatang, sekaligus tempat bermalam untuk mereka yang bepergian keluar negeri merupakan tempat peristirahatan terkenal saat para tamu memasuki Kota Batavia. Letaknya di sebelah timur kanal Sunda Kalapa berseberangan dengan Museum Bahari, yang ketika itu berfungsi sebagai gudang rempah-rempah.
Dalam foto koleksi Tropen Museum, Amsterdam, terlihat gedung-gedung indah di sekitar muara kanal Sunda Kalapa. Bagian besar dari gedung tersebut kala itu digunakan untuk perkantoran dan pelayanan administrasi. Di sebelah kiri kanal, terlihat sebuah gedung besar. Gedung ini merupakan pasar ikan yang dibangun tahun 1846. Meski sekarang pasar tersebut sudah tidak ada lagi, nama Pasar Ikan masih tetap melekat hingga sekarang.
Di sekitar tempat inilah sebelum kedatangan VOC (Kompeni), tempat keberadaan keraton Pangeran Jayawikarta setelah menaklukkan Portugis pada 1527. Letaknya di sekitar Menara Syahbandar yang dibangun VOC pada abad ke-18 guna mengawasi keluar masuknya kapal. Kini, merupakan jalan ramai antara sebuah kantor polisi dan Museum Bahari. Menara Syahbandar– salah satu peninggalan sejarah Jakarta–kini keadaannya makin memprihatinkan. Menara ini dalam keadaan miring dan terancam runtuh.
Semua peristiwa pertempuran antara pasukan Jayakarta dan Portugis, seluruhnya terjadi di laut sekitar sebelah selatan jalan tol Tanjung Priok-Pluit yang baru. Sebab, kala itu seluruh daerah di kawasan Pasar Ikan masih berupa laut. Seluruh gedung yang terlihat dalam foto, kini tidak dapat kita temukan lagi. Dihancurkan oleh gubernur jenderal Marsekal Daendels pada 1808-1809 ketika ia memindahkan kota lama ke arah selatan, yang bernama Weltevreden (daerah yang lebih nyaman).
Pelabuhan Sunda Kalapa sudah tidak berfungsi lagi sebagai pelabuhan samudera sejak dipindahkan ke Tanjung Priok pada 1887, karena tidak lagi dapat menampung kapal-kapal uap yang jauh lebih besar daripada kapal layar.
REPUBLIKA – Sabtu, 07 Nopember 2009

Capitol di Sluisburg

Masjid Istiqlal (Kemerdekaan) merupakan salah satu masjid termegah di Asia. Masjid berketinggian 6.666 cm atau hampir 70 meter (diambil dari jumlah ayat Alquran) itu paling banyak dikunjungi kaum Muslimin di Jakarta. Tiap shalat Jumat, tidak kurang dari 2.000 hingga 2.500 jamaah shalat di masjid ini. Sedangkan pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha jumlahnya membludak hingga mencapai 250-300 ribu jamaah.
Dengan dibangunnya Istiqlal runtuhlah benteng peninggalan Belanda yang terletak di Wilhelmina Park dan dibangun untuk menghormati Ratu Wilhelmina yang lahir pada 31 Agustus 1898. Ia adalah nenek Ratu Beatrix. Orang Betawi dulu menyebutnya ‘gedung tanah’ karena, menurut cerita, di sini terdapat benteng atau terowongan bawah tanah (bunker) yang konon sampai ke benteng Kompeni di Pasar Ikan.
Di depan Istiqlal terdapat pintu air untuk mengendalikan kanal dari Molenvliet (Harmoni) yang dibelokkan ke arah Noordwijk (Jl Juanda), Risjwijk (Jl Veteran), terus ke Pasar Baru dan Gunung Sahari. Pada zaman Belanda, pintu air disebut sluisburg, yang juga menjadi nama jalan waktu itu. Baru setelah kemerdekaan diganti menjadi Jl Pintu Air. Dulu di sini merupakan daerah elite yang banyak dihuni orang Belanda. Kemudian, pada tahun 1920-an, juga dibangun kawasan Menteng untuk warga Belanda yang makin banyak berdatangan ke Batavia.
Dulu, di depan Istiqlal terdapat bioskop Capitol Theatre, yang kini sudah berubah fungsi menjadi pertokoan. Dulu bioskop Capitol hanya memutar film-film Barat (Amerika Serikat). Pada awal tahun 1950-an, ketika Usmar Ismail mendirikan Perfini (1950) dan setahun kemudian di susul oleh Djamaluddin Malik (Persari), film-film Indonesia mulai banyak bermunculan. Pada pertengahan 1950-an Usmar Ismail (Perfini) membuat film Krisis. Usmar pun berusaha agar film produksinya diputar di bioskop Capitol. Kala itu, yang berhak memutuskan apakah film Krisis pantas diputar di Capitol, adalah seorang Barat bernama Wetkin.
Begitu tidak yakinnya pengelola Capitol ini terhadap film Indonesia, hingga belum sampai melihat lebih dulu, ia pun sesumbar dengan mengeluarkan kata-kata menghina yang intinya menyatakan, ”Film Indonesia tidak pantas dipertunjukkan di Capitol”. Tidak seperti Djamaluddin Malik yang meledak-ledak, Usmar Ismail yang sabarpun tidak dapat menerima penghinaan ini. ”Maka dia pun menjotos pimpinan Capitol”.
Agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar dan untuk meredakan ketegangan, maka general manager MGM (Metro Goldwyn Mayer) untuk Indonesia, Alexander Wenas, menawarkan agar film Krisis Usmar Ismail di putar di bioskop Metropole (kini Megaria). Bioskop yang memuat 1.500 penonton ini, sejak berdiri 1950-an hanya memutar film-film keluaran MGM ketika memutar film ‘Krisis’ ternyata sukses besar. Selama 35 hari film ini diputar di bioskop Metropole.
Akibat sukses besar film Krisis, bioskop Capitol pun mengubah sikap dan membuka diri untuk film Indonesia. Maka masuklah Djamaludin Malik (Persari) dengan film Janjiku. Kemudian kembali Usmar memutar film Tiga Dara (Mieke Widjaya, Indriati Iskak dan Chitra Dewi) yang juga sukses.
Di samping kiri bioskop Capitol sebagian berada di bantaran sungai yang ditinggikan terdapat sebuah restoran mewah yang tiap malam menjadi tempat dansa-dansi kaum berada. Restoran Capitol yang menghadap ke sungai Ciliwung kala itu airnya masih jernih dihias dengan lampu warna-warna. Steaknya sangat terkenal karena bistiknya dari Belanda. Restoran ini menyediakan minuman haram yang membuat peminumnya menjadi teler karena mabuk.
Karena letaknya berhadapan dengan Masjid Istiqlal yang kala itu mulai dibangun, maka umat Islam menjadi marah. Tanpa mengenal ampun, bisokop Capitol dan restorannya dibakar massa. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali massa membakarnya. Kemudian, sebelum bubar, bioskop ini mengganti nama menjadi Ceno. Karena Jl Pintu Air terletak di daerah elite, di samping kiri Masjid Istiqlal terdapat klub malam Black Cut. Tapi setelah kemerdekaan, tempat hiburan yang terletak di Citadel (kini Jl Veteran I) itu ditutup.
Di samping kanan Capitol, bersebrangan di jalan yang sama, terdapat bioskop Astoria (kemudian menjadi Satria). Meskipun lebih kecil dari Capitol, tapi Astoria termasuk bioskop kelas satu. Di bioskop ini, pada pertengahan 1950-an, pernah diputar film India Dil E Nadaan, yang sukses besar. Diputar selama 55 hari terus menerus. Hingga Usmar pernah berkomentar, ”Dil edan-edanan.” Film ini mengalahkan film Rock Round The Clock Bill Haeliy dan Rock and Roll Elvis Presley.
Salah satu bintang Hollywood yang jadi pujaan muda-mudi ketika itu adalah James Dean. Film pertamanya, Rebel without Cause, sukses besar. James Dean memakai jaket kulit warna merah. Maka ramai-ramailah para pemuda memakai jaket merah. Sayangnya, bintang film ini mati muda akibat kecelakaan lalu lintas saat membintangi film Giant bersama Rock Hudson dan Elizabeth Taylor.
Waktu itu ada kecendrungan para muda-mudi meniru style para aktor dan artis Hollywood. Seperti Tony Curtis yang rambutnya berjambul, atau Rock Hudson yang macho. Pada saat film Sabrina diputar, gadis-gadis meniru potongan rambut Audrey Hepburn digunting pendek seperti rambut pria.
REPUBLIKA – Minggu, 16 Desember 2007
Foto awal abad ke-20 menunjukkan jalan raya yang diabadikan dari sudut Gang Trivell (kini Jl Tanah Abang II) Jakarta Pusat menuju Pasar Tanah Abang. Dari kejauhan, tampak trem listrik dari Pasar Ikan-Harmoni menuju Tanah Abang. Di sepanjang jalan yang dilewatinya, berjejer tiang listrik di Jl Abdul Muis (dulu Jl Tanah Abang Bukit). Di sebelah kiri di depan jalan berbatu kerikil yang lebar atau biasa disebut laan, terlihat deretan rumah-rumah vila bercat putih penuh tanaman yang teratur rapi. Terlihat delman sedang melintas di jalan tersebut mencari penumpang. Ketika itu, sebagian besar orang Betawi berprofesi sebagai penarik delman. Di kampung-kampung, terdapat banyak istal (tempat kandang kuda).
Tanah Abang ketika itu merupakan bagian dari Weltevreden (daerah lebih nyaman) bersama Gambir dan Pasar Baru, setelah warga Belanda ramai-ramai hijrah dari kota lama di Pasar Ikan. Rumah-rumah vila yang berjejer di Jl Abdul Muis kini tidak ada satu pun yang tersisa. Menjadi perkantoran dan pertokoan serta kegiatan bisnis yang telah menyatu dengan Pasar Tanah Abang.
Pasar ini pernah dijuluki ‘pasar kambing’ kini terus meluas sampai ke Kebon Kacang (terdapat 30 gang), Jl KH Mas Mansyur, Kebon Melati, Petamburan, Bendungan Ilir, hingga Kuningan. Itu menunjukkan bagaimana pesatnya bisnis di pasar ini, yang didirikan 271 tahun lalu. Di antara gedung lama yang masih tertinggal di Tanah Abang adalah Masjid Al-Makmur, mesjid bersejarah yang dibangun abad ke-17 oleh dua bersaudara dari Kerajaan Islam Mataram ketika menyerang Batavia pada 1628 dan 1629.
Nama-nama jalan
Di masa kolonial, Belanda selalu membanggakan nama-nama jalan, tempat, dan kampung di Batavia dengan meniru nama di negaranya. Termasuk, tokoh masyarakat, raja, dan ratu mereka. Di Laan Trivelli, terdapat markas Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres). Di sebelahnya, Jl Tanah Abang I dulu bernama Kerkhoflaan.
Di jalan ini, terdapat Museum Prasasti tempat pemakaman warga Eropa/Kristen berdampingan dengan kantor wali kota Jakarta Pusat. Di sini, kita dapati prasasti sejumlah gubernur jenderal dan makam warga Belanda/Eropa yang meninggal di Batavia. Makam-makam dalam bentuk prasasti ini telah dipindahkan ke sini dari pemakaman di kota lama, yang terletak di samping Museum Sejarah DKI Jakarta.
Masih di kawasan Tanah Abang, Jl Tanah Abang III dulunya bernama Laan de Riemer, nama orang Belanda yang pernah mendiami jalan tersebut pada abad ke-19. Bersebelahan dengan jalan ini adalah Jl Tanah Abang IV, yang pada masa kolonial bernama Laan de Briljkop dan oleh lidah Betawi disebut Gang Brengkop. Jalan Tanah Abang V bernama Gang Thomas juga mengabadikan nama warga Belanda yang tinggal di jalan ini.
Di Jl Tanah Abang V, tempat almarhum mantan menlu Ali Alatas dibesarkan. Ayahnya adalah Abdullah Salim Alatas, pernah menjadi guru besar bahasa Arab di Universitas Indonesia. Awal tahun 1960-an, ketika Hamka dalam bukunya berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, dituduh plagiat oleh kelompok kiri (Lekra) dari penulis Mesir Manfulutfi, Abdullah Salim Alatas membelanya dalam suatu polemik yang hangat ketika itu.

‘Kota Hantu’ Batavia

REPUBLIKA – Minggu, 09 Desember 2007 Halaman : 11a Penulis : Alwi Shahab Ukuran : 5092 bytes
Couperus, seorang pendatang dari Belanda, begitu turun dari kapal di pelabuhan Sunda Kalapa pada 1815 menyaksikan bahwa Batavia yang sebelumnya mendapat predikat ‘ratu dari timur’ telah berubah seolah-olah merupakan kota hantu.
Lalu dia menjelajahi Princenstraat yang kini telah menjadi Jl Cengkeh, sebelah utara Kantor Pos, Jakarta Kota. Dia mendapati beberapa gedung di kota tua telah dihancurkan rata dengan tanah termasuk Istana Gubernur Jenderal, gedung yang cukup megah ketika itu.
Penghancuran itu dilakukan oleh gubernur jenderal Willem Herman Daendels pada tahun 1808 ketika memindahkan pusat kota ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan Banteng) yang jaraknya sekitar 15 km selatan kota tua. Pemindahan dilakukan karena pusat kota di tepi pantai itu telah menjadi sarang penyakit. Ada yang menyebutkan ‘kuburan’ orang Belanda.
Padahal, sebelumnya Princenstraat dengan jalannya yang memanjang merupakan daerah elite orang-orang Belanda. Di sini terdapat gedung-gedung mewah yang merupakan bagian kota Batavia yang paling indah. ”Mereka membangun rumah-rumah di tepi parit dan kanal Tigergrach (kanal harimau), berpagar tanaman rapi berupa pohon kenari di kiri kanan, melebihi segala-galanya yang pernah saya lihat di Holland,” tulis Couperos.
Di pusat pemerintahan VOC itu penduduk kota Batavia tiap hari disibukkan ke kantor, pasar atau sekadar pesiar keliling kota, sembari pamer kekayaan. Nyonya-nyonya besar Kompeni, serta nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat-tingkat kayak kurungan ayam. Mereka keluar mencari angin di samping kanal dan terusan Batavia dengan congkak.
Para budak dan bedinde berjalan mengiringi mereka. Memayungi wajahnya dari sengatan matahari tropis yang panas. Para budak wanita terus mengipas-ngipas mencari angin buat sang nyai yang terus mengunyah sirih pinang, memerahi bibirnya.
Sementara, di bawah keteduhan pohon kenari yang berjejer rapi di sepanjang tepian kanal dan terusan, penduduk Batavia lalu lalang di tengah seribu satu kesibukan. ”Saat senja menjelang, rumah-rumah pemandian di sepanjang tepian dinding kanal dan terusan, dipenuhi wanita telanjang dada berendam di air, zonder kuatir buaya pemangsa pria iseng yang datang mengintip,” tulis Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah. Waktu itu, saat malam terang bulan, terutama malam Minggu, pemuda dan pemudi yang tengah kasmaran menyanyi sambil memetik gitar menjelajahi kanal-kanal dengan perahu.
Bagi penduduk Jabodetabek – Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi masa kini akan sangat sulit membayangkan kota Batavia yang santai pada akhir abad ke-18 dan juga abad ke-19. Sebagian bangunan dari masa itu sudah diratakan dengan tanah. Taman-taman yang indah mengelilingi vila-vila yang memberi warna Eropa pada kota Batavia telah hilang. Beberapa bagian peninggalan masa lalu itu kini terkesan kumuh. Lalu lintasnya macet, sementara muara Ciliwung yang dulu dibanggakan dan dapat dimasuki kapal-kapal, tampak kotor, kehitaman dan berbau.
Pada zaman itu tidak ada mobil dan tentu saja tidak ada kemacetan, apalagi polusi. Pedagang asongan, jalur cepat dan manusia hidup tanpa dikejar waktu seperti sekarang. Yang ada hanya beberapa sado yang ditarik kuda yang memecahkan kesunyian jalan raya yang tidak diaspal dan diteduhi oleh pohon-pohon rindang yang berdiri kokoh tanpa khawatir akan tumbang seperti sering terjadi akhir-akhir ini.
Menurut Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad ke-XVI s/d Abad XX, pada 1815 Batavia hanya berpenduduk 47 ribu jiwa dan pada akhir abad ke-19 sebanyak 116 ribu jiwa. Dengan kata lain, ibukota Hindia Belanda ini bersuasana pedesaan bila dibandingkan dengan kota industri dan pelabuhan Surabaya yang berpenduduk 147 ribu jiwa dan berirama hidup lebih cepat.
Gubernur Jenderal Daendels, setelah memporak-porandakan kota tua Batavia, membangun Weltevreden belasan kilometer selatan kota tua. Di samping gedung dan perkantoran sebagai pusat pemerintahan, ia juga membangun lapangan Gambir yang mula-mula diberi nama Champs de Mars. Kemudian menjadi Konings Plein saat Belanda berkuasa kembali. Di Weltevreden ia juga membangun Waterlooplein yang kini menjadi Lapangan Banteng.
Konings Plein yang oleh warga Betawi disebut Lapangan Gambir dan Lapangan Ikada pada masa Jepang (kini Lapangan Monas), mungkin merupakan lapangan paling luas di dunia. Lebih luas dari lapangan Santo Pietro di Vatikan tempat Paus bertatap muka dengan para jamaah Katholik. Juga lebih luas dari Tian An Men di Beijing dan Lapangan Merah di Moskow.
Di dekat Monas terdapat Kebun Sirih. Dari namanya sudah dapat diperkirakan, kawasan itu dulu merupakan kebun sirih. Tanaman merambat yang belum begitu lama berselang digemari banyak orang untuk dikunyah-kunyah nyirih (makan sirih). Kelengkapannya antara lain kapur (sirih), pinang dan gambir.
Sampai 1960-an di rumah-rumah masih tersedia tempat sirih untuk para ibu yang datang bertamu dengan tempolong untuk membuang ludah bewarna merah setelah mengunyahnya. Sampai abad ke-19 bukan hanya wanita, pria pun banyak yang nyirih.
Hanya lebih sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, tentara sekutu yang dipimpin balatentara Inggris tiba di pelabuhan Tanjung Priok dengan membawa senjata berat. Bersama Sekutu, ikut membonceng pasukan Belanda (NICA = Netherlands Indies Civil Administration) yang ingin berkuasa kembali dibekas jajahannya. Dalam foto, terlihat saat pasukan NICA dengan menggunakan panser memasuki salah satu kampung di Jakarta. Mereka mencari pejuang-pejuang yang pada masa revolusi fisik (1945-1949) bertekad ‘siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan’. Terlihat bagaimana sunyinya jalan raya yang hanya anak-anak kecil dan para ibu yang berdiri di halaman rumah mereka.
Pendaratan tentara Sekutu di Jakarta menimbulkan berbagai perlawanan. Hingga terjadilah kekacauan-kekacauan di berbagai tempat. Tentara NICA mengacau jalanan ibu kota dan tanpa pilih bulu menembaki rakyat, khususnya para pejuang yang mati-matian mempertahankan kemerdekaan. Tidak hanya di kampung-kampung, pasukan NICA juga menggarong para penumpang kereta api termasuk orang tua. Saya masih ingat situasi akhir 1945 ketika di kampung-kampung para pemuda dengan senjata bambu runcing bersiap melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Untuk menghindari masuknya pasukan Belanda, jalan masuk di kampung-kampung dipasang barikade kawat berduri. Sementara itu, wanita khususnya para gadis menyiapkan dapur umum untuk para pejuang. Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, banyak para pejuang yang mati dalam perjuangan melawan Belanda. Karena menuju ke pemakaman di Karet, Tanah Abang, tidak aman, para pejuang ini dimakamkan di belakang masjid Kwitang. Baru setelah penyerahan kedaulatan, mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Karena Belanda (NICA) kewalahan menghadapi perlawanan, di sejumlah kampung NICA membakar rumah penduduk dan memuntahkan peluru tommygun -nya kepada orang-orang, yang mencoba untuk memadamkan api. Ketika itu, banyak pemuda diculik NICA dan dibawa ke Markas Polisi di Hopbiro, yang kala itu letaknya di Monas (depan Departemen Hankam).
Catatan dalam arsip, seperti dikemukakan Presiden Soekarno, menunjukkan di Kota Jakarta saja antara September dan Desember 1945 sekitar 8.000 rakyat tewas. Presiden Soekarno seperti dituturkannya kepada pengarang AS Cindy Adams menyatakan, ”Salah satu alasan kenapa aku tidak senang kepada Inggris ialah karena seluruh teror yang dilakukan secara berencana, dikerjakan di bawah pelupuk mata Inggris, sedangkan mereka (Inggris) bertanggung jawab atas terjaminnya ‘hukum dan ketertiban’ di kepulauan kami.”
Perjuangan rakyat di Tanah Air mempertahankan kemerdekaan melahirkan terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, yang kemudian menjadi cikal bakal Angkatan Bersenjata RI (ABRI).
REPUBLIKA – Sabtu, 24 Oktober 2009
Pemerintah kini mengenjot pemasukan dari sektor pajak untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara yang makin membengkak setelah harga minyak di pasaran dunia mendekati 100 dolar AS per barel. Tidak heran kalau separuh dari 62 ribu pegawai Departemen Keuangan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Dari jumlah itu sebanyak 3000 orang adalah tenaga auditor. ”Kami membutuhkan paling sedikit delapan ribu auditor.” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Gubernur Jenderal VOC JP Coen punya kelihaian dalam memungut pajak. Begitu dia mengangkat Souw Beng Kong sebagai Kapitan Cina, ia pun mengeluarkan peraturan pada 9 Oktober 1619: Tiap orang Cina yang berumur antara 16 sampai 60 tahun wajib membayar pajak sebesar 1,5 reak per kepala. Tidak main-main. Pajak yang cukup memberatkan itu berlaku 200 tahun, sampai 1900.
Ketika daratan Cina dikuasai oleh dinasti Mancu, adat istiadat dari negara di bagian utara Korea ini ditularkan kepada negara jajahannya. Maka rakyat Cina mengikuti jejak penjajah. Rambut bagian atas dicukur sampai licin, dan bagian belakang dipanjangkan kemudian dikepang atawa dikuncir seperti layaknya wanita. Selain disibukkan urusan melicinkan kepala bagian atas yang cepat tumbuh seperti layaknya kita mencukur jenggot, tiap kepala juga dikenai pajak.
Bukan hanya pajak kepala. Belanda menyadari kesukaan warga Cina pada judi dan hampir dilakukan di tiap acara, termasuk saat kematian di kalangan keluarga. Belanda juga mengagumi kesenangan mereka akan seks. Maka diberlakukanlah pajak judi dan pajak rumah pelacuran (suhian).
Selain itu, masih ada pajak kuku panjang yang menandakan orang kaya yang santai. Juga pajak tembakau dan pemotongan babi. Kalau sekarang pembayar pajak diingatkan melalui surat, ketika itu di kediaman Kapiten Cina dipasang bendera, mengingatkan agar masyarakatnya segera membayar pajak. Sampai sekarang di Jakarta Kota terdapat kampung Tiang Bendera.
Sedangkan warga Cina yang berdiam di luar wilayah kota, membayar pajak pada potia yakni kepala atau mandor pengelola perkebunan atau pertanian. Seperti juga sekarang petugas pajak ada yang bermain dengan pembayar pajak demikian pula terjadi di masa lalu. Masyarakat Cina di Indonesia, terutama generasi mudanya, pernah melakukan perlawanan terhadap keharusan memakai kuncir. Mereka sudah tidak mau melakukannya lagi sejak 1904, meskipun generasi tua menganggapnya sebagai adat lelahur. Kebiasaan ini baru dihapus tahun 1911, ketika Cina sudah merdeka.
Belanda juga mengangkat para kapiten dari berbagai etnis lainnya. Maksudnya agar berbagai etnis di Batavia mengikuti adat istiadat leluhur etnisnya masing-masing. Seperti orang Sunda dan Jawa memperkuat adat istiadat leluhur mereka. Begitu juga dengan etnis-etnis India, Arab, dan Eropa. Tapi dibandingkan etnis Cina, bangsa-bangsa Asia dianggap tidak seberapa penting oleh Belanda.
Setiap kelompok rasial mempunyai pemimpin yang dipilih oleh kelompoknya, yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur jenderal dan diberi tanggung jawab memelihara ketenteraman dan ketertiban di kampung-kampung. Tapi tak ada gengsi dan kekuasaannya yang menyamai kapiten Cina.
Ada dua keuntungan VOC dengan pengaturan warga pribumi yang ditempatkan di luar kastil dan tembok kota. Pertama, sebagai pertahanan kota terhadap serangan dari luar, terutama dari Banten dan Mataram. Dan, kedua, dengan memberikan wilayah tempat bermukimn di luar kota, berarti mengembangkan kota dan pengelolaan pertanian-perkebunan di wilayah tersebut.
Dengan begitu VOC tidak perlu mengeluarkan dana lagi bagi penghidupan mereka. Bersama dengan warga Cina, warga pribumi mengembangkan wilayah pinggiran yang disebut Ommelanden menjadi kawasan yang menghidupi Batavia. Berlainan dengan pemukim Indonesia yang harus menjaga keamanan kota, warga Cina lebih suka memberi konpensasi dengan membayar pajak kepala yang dikenakan kepada mereka selama 1620-1900.
Orang Cina di Batavia yang jumlahnya pernah mencapai hampir separuh penduduk kota terlibat dalam hampir semua pekerjaan: mulai tukang bangunan, pemasok bahan bangunan, tukang besi, tukang kayu, ahli melapis barang-barang emas, sampai kepada perikanan, pembuatan garam serta pertanian dan pengelolaan gula dan tebu.
Seperti halnya opsir Cina, komandan pribumi tidak mendapatkan gaji dari VOC. Mereka hanya terima tunjangan saja. Komandan pribumi juga memegang lisensi untuk memungut pajak. Tetapi jenisnya agak terbatas, yakni pajak pemotongan hewan, pajak berdagang di atas perahu atau kapal, dan pajak pasar ikan.
Berlainan dengan komandan pribumi, para kapiten Cina seperti Souw Beng Kong mengurus masyarakat Cina laksana raja-raja Mandarin. Orang Cina membangun rumah sakit mereka sendiri dan menjalankannya sendiri tidak kalah dengan rumah sakit Belanda kini menjadi Museum Mandiri di depan stasion kereta api Jakarta Kota. Mereka juga membangun sekolah-sekolah yang tidak kalah dengan sekolah yang dibangun Belanda.
REPUBLIKA – Ahad, 02 Desember 2007
Deretan gedung yang sebagian masih tersisa sekarang merupakan kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Foto ini diabadikan pada akhir abad ke-19 saat Batavia hanya berpenduduk 116 ribu jiwa. Tidak hanya tingkat kependudukan di lingkungan orang Eropa yang rendah, tapi suasana serupa juga terdapat di perbatasan bagian selatan kota yang kala itu tidak melampaui Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Kala itu, Batavia sebagai ibu kota koloni Hindia Belanda lebih bersuasana pedesaan dibandingkan kota industri dan pelabuhan Surabaya yang berpenduduk 147 ribu jiwa dan berirama hidup lebih cepat.
Dewasa ini, kita harus bersusah payah berkendaraan dari Harmoni (kini Jalan Majapahit) ke Glodok melewati Jalan Gajah Mada (dulu Molenvliet West) akibat macetnya yang kagak ketolongan. Namun, dalam foto, betapa lengangnya jalan ketika itu. Harmoni berdekatan dengan Monas yang pada masa Prancis dijuluki Champs de Mars. Lalu, berganti jadi Koningsplein (Lapangan Raja) saat kekuasaan Belanda dipulihkan. Tapi, rakyat menyebutnya Lapangan Gambir.
Berkat kekuasaan Prancis (1808-1812), Batavia memiliki daerah Prancis, termasuk kawasan Harmoni. Warga Prancis juga tinggal di Risjwijk Straat (berasal dari kata risjk (persawahan) dan wijk (lapangan luas)). Kala itu, Risjwijk merupakan daerah pinggiran Saint Honore Kota Batavia.
Di paling ujung deretan pertokoan, terdapat penjahit terkenal Oger Freres (Oger Bersaudara). Di sini, orang bisa mendapatkan busana mengikuti model terbaru dari Paris (gedungnya kini ditempati oleh Biro Perjalanan Natour). Menurut pengarang Prancis, Bernard Dorleans, dalam buku Orang Prancis dan Orang Indonesia Abad XVI sampai XX, di Harmoni dan sekitarnya pada masa itu, masyarakat dapat membeli kue, sepatu, dan berbagai barang yang berasal dari Prancis. Di dekatnya, terdapat Hotel des Indes yang pada abad ke-19 muncul makanan risttafel yang termasyhur, yang sehari-hari jadi makanan orang Eropa.
Beberapa puluh tahun kemudian, abad ke-20, yang dikenal sebagai zaman keemasan oleh orang Eropa sebagai zaman tempo doeloe. Di ujung jembatan Harmoni yang berbelok ke arah Jalan Juanda dan Jalan Veteran, terdapat patung Hermes, dewa perniagaan Yunani, yang menunjukkan daerah ini sebagai pusat perdagangan dan perniagaan. Karena pernah dicuri, duplikat patung itu kini disimpan di Museum Sejarah DKI Jakarta.
Charles Worter, seorang wisatawan Inggris yang bertamasya ke Batavia (1852), menyebutkan, kehidupan elite Eropa dan Belanda penuh glamour. Wanitanya senang menggunakan dari sutra yang didatangkan dari pusat mode Paris.
REPUBLIKA – Sabtu, 17 Oktober 2009
Sejarawan keturunan Jerman, Adolf Heuken SJ, dalam buku Masjid-masjid Tua di Jakarta, menulis tiada masjid di Jakarta sekarang ini yang diketahui sebelum 1640-an. Dia menyebutkan Masjid Al-Anshor di Jl Pengukiran II, Glodok, Jakarta Kota, sebagai masjid tertua yang sampai kini masih berdiri. Masjid ini dibangun oleh orang Moor artinya pedagang Islam dari Koja (India).
Sejarah juga mencatat pada Mei 1619, ketika VOC menghancurkan Keraton Jayakarta, termasuk sebuah masjid di kawasannya. Letak masjid ini beberapa puluh meter di selatan Hotel Omni Batavia, di antara Jl Kali Besar Barat dan Jl Roa Malaka Utara, Jakarta Kota.
Untuk mengetahui sejak kapan penyebaran Islam di Jakarta, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, bisa dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Syekh Quro, atau Syekh Hasanuddin, berasal dari Kamboja. Mula-mula maksud kedatangannya ke Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh urung meneruskan perjalanannya ke timur. Ia menikah dengan seorang gadis Karawang, dan membangun pesantren di Quro.
Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang. Di kemudian hari, seorang santri pesantren itu, yakni Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam. Banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya.
Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar.
Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527), Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke.
Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi.
Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki ‘ilmu’ yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan rersi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur).
Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar komplek Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi ‘isi’ aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan (1527).
Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan (1518). Sementara, di Lemah Abang, Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan perlawanan terhadap Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi.
Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi bermula pada abad ke-19 dengan tokoh-tokoh Guru Safiyan atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat.
Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.
Kemudian, sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawakitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi’ie, dan KH Tohir Rohili.
Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.
REPUBLIKA – Ahad, 25 November 2007
Jalan Veteran (Rijswijk) tempat Istana Negara berada di masa kolonial merupakan kawasan elite. Di seberang Jl Veteran yang dibelah dengan Kali Ciliwung terdapat Jl Juanda (Noordwijk). Di ujung kedua jalan tersebut terdapat kawasan Harmoni. Di ketiga tempat tersebut pada masa kolonial terdapat belasan hotel. Salah satunya adalah Hotel Wisse di Rijswijk seperti terlihat dalam foto. Foto yang diabadikan sekitar 1870-an terlihat satu keluarga tamu tengah meninggalkan hotel menggunakan delman, angkutan utama kala itu. Terlihat beberapa pegawai hotel yang berpakaian putih-putih dengan peci (semacam helm) warna yang sama.
Di samping kanan, terlihat beberapa kereta, satu di antaranya ditarik dua ekor kuda yang siap untuk membawa para tamu. Ketika itu, Batavia belum memiliki mobil. Di samping Hotel Wisse, di Rijswijk terdapat sejumlah hotel lainnya, seperti Hotel Cavadino di sudut Jl Veteran dan Jl Veteran I (kala itu Citadelweg), Java Hotel yang kini menjadi bagian belakang Markas Besar Angkatan Darat, Hotel Ernst di Noordwijk (Juanda), Hotel des Indes di Harmoni (kini Jl Gajah Mada).
Hotel Wisse diperkirakan letaknya di bagian belakang dari Departemen Dalam Negeri. Di Rijswijk bersebelahan Istana Merdeka, juga terdapat Hotel der Nederlanden yang kini menjadi gedung Bina Graha. Di samping kiri gedung Harmoni, terdapat sebuah hotel mewah milik keturunan Arab dari keluarga Sungkar. Sedangkan di ujung Jl Juanda dari arah Jl Hayam Wuruk terdapat Hotel Gayatri, juga milik seorang Arab.
Pada akhir abad ke-19 ketika negeri Belanda dikuasai kaum liberal (kapitalis), makin banyak warga Belanda dan Eropa berdatangan ke Batavia untuk menanamkan modalnya di bidang perkebunan. Kalau sebelumnya pusat pemerintahan di kawasan Jakarta Kota, kini beralih ke Weltevreden (Daerah Lebih Nyaman).
Boleh dikata Batavia mengalami transfusi cukup besar dari para pendatang Eropa, yang menanamkan modal dan usahanya. Rijswijk dan Noordwijk pun dijadikan sebagai kawasan Eropa. Warga Prancis banyak berdiam di sekitar Harmoni dan Inggris di Pegangsaan. Sementara berbagai tempat hiburan, seperti bioskop, teater, dan gedung pertemuan bermunculan. Semua dengan ciri-ciri Eropa yang modern. Kala itu, pendatang-pendatang Inggris dari Singapura menganggap Batavia-Weltevreden cukup baik jika dibandingkan koloninya, Singapura

No comments:

Post a Comment