Wednesday 31 October 2012

JALAN TOL BUKAN SOLUSI ATASI MACET JAKARTA


Kemacetan menjadi persoalan serius di Ibukota DKI Jakarta. Berbagai konsep moda transportasi dan infrastruktur pendukung untuk mengatasi permasalahan itu juga sudah digulirkan.

Bahkan, beberapa di antaranya sudah direalisasikan, seperti pengadaan bus Transjakarta hingga menambah jalan layang baru. PT Jasa Marga Tbk, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang jalan tol pun tak ingin tinggal diam. Konsep jalan layang tol contra flow diusulkan.

Namun, jika boleh memilih, Jasa Marga justru mengusulkan moda transportasi lain di luar jalan tol. "Pembangunan jalan tol tidak akan memecahkan masalah," kata Direktur Utama Jasa Marga, Adityawarman, dalam perbincangan dengan VIVAnewsdi kantornya, beberapa waktu lalu.

Mantan direktur PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk itu pun menguraikan panjang lebar mengenai pilihannya menggunakan moda transportasi selain jalan tol. Apa usulannya? Berikut petikan wawancara dengan alumni Fakultas Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang, yang lahir pada 25 Oktober 1955 itu:

Jasa Marga mengusulkan pembangunan jalan layang tol Cibubur-Slipi,
bagaimana asal mulanya?
Waktu itu, kami, Jasa Marga, Hutama Karya serta Adhi Karya dikumpulkan dan bertemu Pak Dahlan (Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan). Kami diajak diskusi. Karena secara kasat mata setiap pagi itu kendaraan dari arah selatan, yakni jalan tol Jagorawi ke arah kota itu luar biasa macetnya.
Sebenarnya bukan hanya selatan, tapi dari Bekasi juga demikian. Nah, pada saat itu, Beliau ingin sekali ada terobosan yang luar biasa. Kami pun diminta mencari solusi, bagaimana membantu mengatasi ini.
Idenya dari mana?
Idenya sendiri sebenarnya datang ketika ke lapangan pada saat tol dalam kota menerapkancontra flow pada sekitar April. Idenya dari sana dulu.
Contra flow itu kan diterapkan pada jalur dari arah Cawang ke Semanggi dan sebaliknya. Anggap saja ada jalur A dan B. Kalau pagi, jalur A yang dari Bekasi ini arusnya sudah tinggi banget. Tapi, jalur B dari Semanggi ke Cawang masih rendah.

Pada saat itu, pihak kepolisian bersama rekan-rekan di kantor cabang Jasa Marga mencoba untuk memaksimalkan usaha guna mengatasi macet yang luar biasa ini. Akhirnya, setelah beberapa kali rapat, didapatlah ide: jalur yang satu itu kami ambil satu lajur, agar bisa membantu mengurangi kepadatan yang ada di jalur A itu.

Tapi, saya jelaskan kalau ide ini tidak bisa permanen, hanya sementara. Logikanya, jika trafik jalur B tinggi lagi, artinya ini nggak bisa kami buka. Jadi, ini bukan jawaban yang ampuh untuk mengatasi kemacetan itu.

Lalu, apa solusi permanen yang ditawarkan Jasa Marga?
Jawaban yang paling ampuh mungkin harus mengambil moda transportasi lain. Kami juga sangat menyadari kalau contra flow ini bisa dijadikan patokan. Saya bilang waktu itu, "Mungkin awal 2014 sudah nggak bisa kami bikin contra flow lagi, karena trafik bakal tinggi banget". Malahan, nanti banyak yang protes, kok lajur kami diambil.

Sekarang saja, jalur B itu pada jam 08.00 sudah penuh banget. Kami sudah sangat hati-hati.
Kemudian muncul ide membangun jalan layang tol itu?
Akhirnya, kami membuat alternatif. Satu pemikiran waktu itu, lahan dari Cawang sampai Semanggi itu kan sudah tidak ada lagi. Mau dilebarkan ke mana? Kami kan sudah berbatasan dengan jalan arteri. Satu-satunya jalan mungkin kami buat jalan layang. Nah, jalan layang ini kan masalahnya di mana lokasi tiang pancangnya. Kalau di median sudah nggak mungkin, karena kecil banget.

Nah, waktu itu kami coba bahu jalan. Kan ada yang lebar 2,5 meter, nanti kami ambil beberapa titik untuk menjadi tiang pancang. Tapi, ini masih sangat permulaan banget, meski sekarang gambarnya sudah jadi. Namun, setelah dihitung, nilai konstruksi dibandingkan dengan kemungkinan mobil yang lewat, tarifnya mahal banget, Rp28 ribu. Nah, apakah mungkin dengan tarif sebegitu orang bisa masuk? Itu hasil studi awalnya.

Jalan layang tol itu nantinya seperti apa?
Kalau saya boleh ngomong, ya sebenarnya itu tidak bedanya dengan menambah lajur saja. Itu menambah lajur, yang biasanya di samping, ini di atas. Tapi, kalau keinginan saya sih, kita harus membangun moda transportasi lain, misalnya dengan membangun subway.

Kalau mobil itu kapasitas penumpang berapa sih, rata-rata paling cuma dua orang kan. Tapi, kalau pakai subway, trem atau angkutan massal dari Bogor atau Bekasi, satu gerbong bisa membawa 60 orang. Jadi, 10 gerbong bisa mengangkut 600 orang. Ini yang kami minta bantuan agar dipromosikan.

Jasa Marga sendiri mempromosikan itu, kalau memang harus dibentuk transportasi yang lain. Karena dengan jalan tol tidak akan menjawab dan memecahkan masalah. Kan yang saya dengar, Pemerintah DKI Jakarta juga akan membangun subway dari Lebak Bulus sampai Kota.
Nah, itu yang seharusnya jadi solusi. Kita lihat nanti, jalan layang Antasari-Blok M atau Casablanca-Tanah Abang itu hanya sementara, suatu saat juga penuh lagi. Itu kan hanya menambah jalur.

Jalan layang tol itu persisnya dimulai dari mana?
Kami usulkan mulai dari Cibubur melintas ke Taman Mini, lalu ke Cawang. Nanti, turunnya setelah gedung MPR/DPR, kira-kira di Slipi. Itu idenya. Hutama Karya yang saya dengar menggunakan trem dari Bekasi sampai Kota, itu salah satu alternatif yang cukup baik. Dengan gerbong akan mengangkut banyak orang dan tidak perlu berkendara ke Jakarta.
Saya coba berikan perbandingan. Tol Jakarta-Cikampek itu sebelum kami bangun empat lajur, itu kan macetnya bukan main. Sekarang kan kami lebarkan empat lajur, tapi masih tetap kurang. Pertumbuhan kendaraan itu semakin tahun semakin luar biasa. Jadi, mungkin kami akan menyarankan moda transportasi lain.

Apa Jasa Marga tidak rugi kalau menawarkan moda transportasi lain?
Nggak, ini bukan soal untung rugi. Tapi, bagaimana mengatasi macetnya kota Jakarta. Jadi,nggak ada yang untung, nggak ada yang rugi. Harus ada solusi yang permanen, sedangkan pembangunan jalan itu bukan solusi yang permanen. Menurut pengalaman saya, tinggal menunggu waktu saja, pasti akan penuh lagi.
Ada kemungkinan sinergi BUMN?
Ya mungkin, karena kan kami dengan Adhi Karya juga bersinergi. Waktu itu kami dikumpulkan. Tapi, karena kami bidangnya jalan tol, ya kami mengusulkan dalam bentuk jalan tol. Yang ingin saya sampaikan, jalan tol itu tidak memecahkan masalah. Tetap yang bagus itu, menurut saya, ya, moda transportasi lain.

Kami sudah menyaksikan bagaimana di kota-kota besar dunia seperti Singapura dan Kuala Lumpur, ada monorel, ada subway. Itu jawabannya. Jalan tol itu harusnya buat antarkota, dari provinsi ke provinsi. Tapi, kalau di dalam kota sendiri, jangan jalan tol konsepnya. Harus moda transportasi yang lain.

Tapi memang, untuk perpindahan angkutan barang dan jasa dari satu lokasi ke lokasi lain, jalan tol itu masih efektif. Dari Jakarta ke Semarang, Bandung, atau ke Sumatera itu masih oke. Namun, untuk kota besar sendiri, menurut saya, jangan sekali-kali memecahkan dengan jalan tol. Itu nggak bisa menjawab.

Kan sudah ada cikal bakal monorel, kenapa nggak itu saja yang diteruskan. Itu idenya bagus, sudah dibangun beberapa tiang pancang. Sudah habis berapa miliar itu? Jangan takut lah. Kalau memang harus disubsidi, ya pemerintah harus mensubsidi. Karena, pada intinya, pemerintah yang menyiapkan infrastruktur.
Tapi, dengan keterbatasan APBN, pemerintah bisa mengajak swasta atau pihak ketiga. Sebetulnya yang bangun jalan tol, pelabuhan, dan bandara itu harusnya pemerintah. Kewajiban pemerintah untuk bangun itu, karena untuk melayani publik.

Terkait proyek jalan tol Trans Jawa, bagaimana perkembangannya?
Blue print tol Trans Jawa masih jalan, tapi tidak sesuai dengan apa yang kami usulkan. Kami kan mengusulkan untuk membangun tol Trans Jawa perlu didirikan sebuah perusahaan induk. Supaya kompak dan biar cepat jadi.

Karena, kalau yang satu bangun ruas ini, di tempat lain bisa jadi nggak selesai. Jangan kompetisi lah, jadi satu saja. Kan sudah ada jalurnya masing-masing dan tidak semuanya itu gemuk.

Itu masalahnya. Kalau ada holding, bisa subsidi silang. Kalau sendiri-sendiri kan mereka nunggu dulu beberapa tahun sampai trafiknya bagus. Karena kan tidak semua trafik yang ada di ruas tol Trans Jawa itu bagus. Trafik biasanya itu bagus kalau mendekati kota kota besar. Batang-Semarang itu bagus, karena mendekati Semarang.

Tapi, Brebes-Batang itu masih kosong. Jadi, yang pegang ruas itu tarifnya bisa mahal.
Soal pembayaran tarif tol melalui e-Toll Card, bagaimana perkembangannya sejauh ini?
Jasa Marga ingin sebanyak mungkin yang menggunakan e-Toll Card, karena semakin berkurang untuk bayar cash. Kalau ada yang bilang top up-nya malas, kan Bank Mandiri sudah punya ribuan ATM untuk layanan top up ini. Melalui Indomaret juga bisa.

Masalahnya sekarang, jumlah penjualan kartu itu lebih banyak dari yang digunakan. Jadi, kalau habis saldonya, pengguna pilih membeli kartu lagi. Misalnya habis tiga hari, tinggal beli lagi. Padahal, biaya untuk bahan baku plastik itu mahal. Jadi, kami imbau, mereka yang memiliki kartu e-Toll untuk mengisi ulang saja. Top up bisa juga di rest area.

No comments:

Post a Comment