Djoko Suud Sukahar
Dahlan berseteru dengan DPR. Diungkit-ungkit masalalunya di PLN. Digertak panggil . Diusik kebijakannya di Kementerian BUMN. Dan dirumorkan agar diganti. Benarkah ini gara-gara ‘Surat Kongkalikong’?
Pekan-pekan ini Dahlan dan DPR ribut tak ketulungan. Wakil rakyat itu minta Dahlan Iskan menjelaskan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pemborosan anggaran Rp 37 triliun di PLN. Saat itu Dahlan masih menjabat sebagai Dirut PLN tahun 2009-2010.
Dahlan dipanggil, tapi tidak datang. Dahlan lagi di Jambi, ngurusi PTPN sawit-sapi. Ketidak-hadirannya itu menimbulkan kehebohan. Dianggap ingkar dan melecehkan, diancam akan dipanggil paksa. Dahlan tenang-tenang saja.
Usut punya usut, ternyata panggilan pada Dahlan ini salah. Bukan undangan, tapi dimintai keterangan. Panggilan itu ditujukan pada Dahlan sebagai Menteri BUMN, yang kapasitasnya, tentu, tidak untuk itu. Panggilan ini salah jalur.
Secara informal, Dahlan menjelaskan tentang uang PLN itu. Pasokan gas yang tidak diterima PLN sebagai biangnya. PLN terpaksa mengkonsumsi BBM agar listrik di Jakarta terus menyala. Dan risiko masuk penjara pun diterima jika itu dianggap teledor. Toh, BPK juga tidak menyalahkan PLN dengan auditnya itu.
Belum reda soal pemanggilan itu, wakil-wakil rakyat berbagai komisi kembali meributkan sosok Dahlan. Kali ini menyangkut soal surat edaran mengimbau agar perusahaan BUMN menolak siapa saja yang meminta jatah. Jatah proyek atau jatah apa saja yang konotasinya kongkalikong.
Para wakil rakyat itu tersinggung. Mereka merasa dicemarkan sebagai peminta upeti. Dahlan yang dituding bercuriga seperti itu. Padahal surat sudah beredar akhir September tahun 2012, bernomor 542 diterbitkan Seskab Dipo Alam atas perintah Presiden SBY.
Ribut yang terakhir ini seperti antitesis ribut yang pertama. Rakyat melihat amat gampang membaca alur pikiran petinggi negeri ini. Kalau menyangkut soal fasilitas (duit), reaksi spontan tak terhindarkan. Jadi jangan jauh-jauh itu ditafsir menyangkut kepentingan rakyat. Sebab wakilnya saja masih selalu ribut untuk mengurusi perutnya sendiri.
Perusahaan BUMN menjadi sapi perah bukan rahasia lagi. Perusahaan plat merah sudah lama menjadi lumbung berbagai upeti. Umum sudah tahu, bahwa terlalu banyak kong (monyet) di sini. Kong di dalam dan kong yang berasal dari luar. Itu pula yang menyebabkan segalanya dilakukan dengan kongkalikong. Cincailah !
Monyet kali monyet (kongkalikong) membuat perusahaan kurus. Merugi. Yang untung para monyetnya. Celakanya, banyak partai mengharapkan logistiknya pada perusahaan seperti ini. Dari operasional partai, pengurusnya, sampai ada yang urusan keluarga pun dimintakan sumbangan darinya.
Maka Dahlan menjadi sasaran tembak itu masuk akal. Asumsi rakyat seperti itu. Jika Dahlan jatuh sekaligus dua pulau terlampaui. Pamornya yang semakin kinclong mengancam partai yang sudah mengumumkan capresnya teratasi. Dan kalau ‘edaran kongkalikong’ itu tidak dikawal maksimal, donasi partai kembali bersemi. Apalagi pemilu kian dekat.
Benarkah perusahaan BUMN menjadi sapi perah partai politik asal dari para wakil rakyat yang duduk di dewan? "Bener mau. Bener ta? Saya siap beberkan asal diundang resmi, bukan atas keinginan saya," jawab Dahlan tentang nama-nama ‘peminta upeti’ yang disuruh membeberkannya.
Inilah kong versus kong. Bukan kong kali kong. Kong sepertinya sudah bosan untuk berhitung tambah-tambahan atau kali-kalian.
No comments:
Post a Comment