“Sudah banyak ulama dan tokoh agama mendesak saya menutup tempat ini. Sekali lagi saya mohon kepada panjenengan (Anda, red) semua meninggalkan pekerjaan ini. Saya dan Pemerintah Kota Surabaya, bismillah, siap membantu dan memfasilitasi panjenengan semua,” kata sang Ibu, merayu, membujuk. Suasana senyap, dan haru.
Kerongkongan ibu itu seperti tercekat. Ia seperti tak tahu lagi hendak berkata apa kepada para pekerja seks di sana. Ibu itu tak lain Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharani. Bulan puasa kemarin, awal Agustus 2012, Risma sengaja menggelar acara silaturahmi dan buka puasa bersama warga lokalisasi Dolly di rumah dinasnya.
Acara itu dihadiri 200 lebih penghuni lokalisasi Dolly. Tujuannya satu: memohon para PSK itu beralih profesi. Pemkot Surabaya dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memang bertekad membersihkan Surabaya dari bisnis prostitusi. Mereka bahkan bersedia memberikan uang sebagai modal bagi para PSK untuk memulai hidup baru.
Meski sampai saat ini rayuan itu belum sepenuhnya berhasil, namun lambat laun suasana Gang Dolly tidak seramai dahulu. Tahun 2010, ada sekitar 3.000 PSK beroperasi di gang itu, tahun 2011 turun jadi 2.500 PSK. Pada 2012 ini tersisa 580 PSK. Mungkin pada akhirnya nanti, bujukan sabar keibuan Risma pada para PSK Dolly itu berbuah manis.
Tegas
Sekilas, melihat sikap Risma di hadapan para PSK Dolly, tergambar sosok ibu yang sabar. Namun di balik kesabaran itu, tersimpan ketegasan.
Kurang dari sebulan setelah Risma menggelar buka puasa bersama PSK Dolly, petugas Satuan Polisi Pamong Praja menjaring belasan remaja yang ketahuan memakai narkoba dan minuman keras. Risma pun melontarkan amarahnya kepada para remaja itu tanpa ampun.
“Kalian jangan gaya-gayaan. Kalian itu masih di bawah umur, pakai acara pergi ke diskotek segala. Mau jadi apa kalian?” sembur Risma di Kantor Satpol PP Jalan Jimerto, Surabaya, akhir Agustus 2012. Ketika salah seorang remaja itu mengaku lari ke narkoba karena ia berasal dari keluarga tak bahagia, kemarahan Risma tak lantas surut.
“Masih banyak orang lain menderita. Kalian jangan menyalahkan keadaan. Baju kalian itu masih bagus. Coba lihat anak-anak lain di sekitar,” ujar Risma.
Kemarahan Risma itu bukan tanpa alasan. Dia cemas, jika remaja dengan pergaulan semacam itu kelak menjadi korban kejahatan perdagangan manusia.
Menata kota
Membersihkan Surabaya dari bisnis prostitusi adalah salah satu tekad Risma di antara tumpukan mimpi lain. Secara umum, Risma menata dan membenahi lingkungan kota Surabaya. Ibu dua anak itu membangun sejumlah taman, di berbagai lokasi di Surabaya. Taman-taman yang sudah ada pun dipercantik, dan dilengkapi fasilitas olahraga, serta arena bermain anak.
“Warga Surabaya, baik dewasa maupun anak-anak, butuh tempat bermain yang nyaman, dan aman,” kata Risma kepada VIVAnews, Rabu 24 Oktober 2012.
Menata taman memang salah satu keahlian Risma. Maklum, Pegawai Negeri Sipil Pemkot Surabaya itu pernah menjabat sebagai Kepala Cabang Dinas Pertamanan pada 2001, dan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan pada 2005.
Risma menjelaskan, Surabaya harus menjadi kota metropolitan tanpa meninggalkan konsep “rumah.” Surabaya harus menjadi tempat nyaman, aman, dan disayangi penghuninya. “Kita tidak boleh mengeksploitasi kota ini hingga akhirnya menjadi tidak nyaman bagi warganya,” ujar Risma.
Perempuan kelahiran Kediri itu yakin, taman-taman hijau itu berkontribusi pada terciptanya kerukunan di Surabaya itu. Taman Bungkul di jantung kota Surabaya misalnya, kini menjadi tempat nongkrong anak muda tanpa pernah ada insiden tawuran di situ. “Ini karena mereka merasa semua fasilitas di taman itu milik bersama, sehingga mereka merawat dan menikmatinya bersama,” kata Risma.
Taman Bungkul memang salah satu kebanggaan Surabaya. Taman di Jalan Raya Darmo itu diresmikan 2007, dan mengusung konsep sport, education, and entertainment. Taman seluas 900 meter persegi itu dilengkapi arena skateboard, sepeda BMX track, jogging track, amfiteater, taman bermain anak-anak, kolam air mancur, dan pujasera. Taman ini bahkan memiliki jalur penyandang cacat, akses internet Wifi, telepon umum, dan pujasera.
Tak hanya soal taman, Risma juga menata kawasan kumuh Surabaya. Sejumlah kampung yang dahulu terkenal kumuh dan tidak tertata seperti Banyu Urip, Gundih, dan Dukuh Setro, kini pun tampak lebih nyaman, bersih, dan cantik, karena penghijauan yang dilakukan warga.
Dalam menata kota, menurut Risma kuncinya ada pada membangkitkan partisipasi warga untuk ikut peduli dan bertanggung jawab memelihara lingkungan mereka sendiri. Itu pula yang ia lakukan ketika menata Pedagang Kaki Lima di Jalan Kayoon. Jalan Kayoon yang sebelumnya kumuh sampai tak bisa dilalui warga, kini sudah lebih tertata.
Meski demikian, Risma mengaku penataan dan pemberdayaan PKL yang ia lakukan belum tuntas karena banyaknya kendala yang dihadapi. Apapun, ia yakin semua persoalan lambat-laun bisa teratasi melalui edukasi dan ajakan bekerja sama kepada masyarakat terus-menerus.
Menata kota sebetulnya tak asing untuk Risma yang terpilih menjadi Wali Kota Surabaya pada akhir 2010. Sebelum menjadi wali kota, Risma pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya 1997-2000, Kepala Bagian Bina Bangunan tahun 2002, dan Kepala Bappeko Surabaya tahun 2008.
Batu sandungan
Langkah Risma sebagai Wali Kota Surabaya tak selalu mulus. Batu sandungan bahkan sudah menghadang di tahun pertama ia menjabat. Pada 31 Januari 2011, DPRD Surabaya mencoba melengserkan Risma. Itu gara-gara dia menerbitkan Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 56 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame, dan Perwali Nomor 57 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame Terbatas di Kawasan Khusus Kota Surabaya.
Kedua Perwali itu mengatur kenaikan pajak reklame ukuran besar dan sedang sebesar 25 persen, serta menurunkan pajak reklame ukuran kecil. Risma punya tujuan spesifik menerbitkan kedua Perwali itu: untuk menekan pertumbuhan reklame ukuran besar yang kerap roboh terkena angin kencang apabila cuaca buruk, dan mempermudah Usaha Kecil Menengah yang ingin memasang reklame kecil guna mempromosikan usaha mereka.
Risma juga menegaskan, pajak di kawasan khusus Surabaya memang perlu dinaikkan agar pengusaha tak seenaknya memasang iklan di jalan umum. Pemasangan iklan terlalu banyak, dan amburadul, menurut Risma, akan menjadikan Surabaya bak belantara iklan. Maka dengan meninggikan pajak reklame ukuran besar, ia berharap pengusaha iklan beralih memasang iklan di media massa ketimbang memasang baliho di jalan-jalan kota.
Namun penerbitan Perwali Nilai Sewa Reklame oleh Risma itu mendapat tentangan sejumlah pengusaha reklame besar. Mereka mengajukan surat keberatan melalui DPRD Kota Surabaya. DPRD Surabaya menganggap Risma melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Hukum Daerah, karena sang wali kota tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menyusun Perwali.
DPRD Surabaya pun merekomendasikan pemberhentian Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Keputusan itu didukung oleh enam dari tujuh fraksi politik yang ada di DPRD Surabaya, termasuk PDIP yang mengusungnya sebagai Wali Kota Surabaya pada Pilkada. Hanya satu fraksi yang menolak pemberhentian resmi Risma, PKS.
Pada akhirnya, Menteri Dalam Negeri Gawaman Fauzi menyatakan tak ada cukup alasan untuk memecat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Gamawan menegaskan, Peraturan Wali Kota tidak bisa dijadikan alasan pemecatan. Kesalahan administrasi dalam proses penerbitan Perwali Nilai Sewa Reklame, yaitu tak dilibatkannya SKPD dalam penyusunan Perwali, masih manusiawi.
“Jangankan Peraturan Wali Kota, Peraturan Daerah saja bisa salah. Untuk itu ada evaluasi terhadap peraturan-peraturan itu. Tapi pemecatan Wali Kota karena alasan itu terlalu berlebihan,” ujar Gamawan. Ia menambahkan, pemberhentian kepala daerah hanya dilakukan dengan apabila kepala daerah terkait melanggar sumpah dan tidak mampu melaksanakan tugas
No comments:
Post a Comment