Saturday 28 December 2013

Al-Qaeda Makin Kuat di Irak, AS Kirim Rudal dan Drone. AS akan mengirim helikopter Apache jika saja tidak ditolak Kongres

 Drone ScanEagle yang diluncurkan dengan mesin ketapel
Diam-diam Amerika Serikat mengirimkan bantuan senjata mereka pada pemerintah Irak. Puluhan rudal penghancur telah sampai di bumi Irak, tahun depan pesawat mata-mata nirawak (drone) akan ikut meluncur. Bahkan AS berencana mengirim helikopter Apache jika saja tidak ditolak Kongres.

Seperti diberitakan New York Times yang mengutip seorang pejabat Kementerian Luar Negeri, AS pekan lalu telah mengirimkan pesanan Irak, yaitu 75 rudal Hellfire. Untuk satu buah rudal ini, Irak merogoh kocek US$70.000 atau lebih dari Rp859 juta per buahnya. 

Rudal ini akan ditembakkan dari pesawat Cessna turboprop ke markas-markas militan Al-Qaeda di Irak. CIA akan memandu dan memberikan informasi intelijen terkait target serangan.

Selain itu, AS rencananya akan mengirimkan 10 drone mata-mata ScanEagle pada Maret tahun depan. Harga satu drone yang dilemparkan dengan alat semacam ketapel ini mencapai US$100 ribu atau Rp1,2 miliar.

Menurut pejabat AS, bantuan ini diperlukan terutama pasca ditariknya tentara Amerika dua tahun lalu, karena Irak mulai kehabisan rudal Hellfire. Selain itu, Irak yang minim di angkatan udara dan mata-mata udara, sangat terbatas sekaligus kemampuannya untuk melokalisir dan menyerang markas al-Qaeda di barat dan utara negara tersebut.

Untuk mengatasi keterbatasan alat mata-mata Irak, pemerintah Barack Obama juga telah memberikan tiga balon sensor Aerostat, tiga helikopter mata-mata ke militer Irak dan berencana mengirimkan 48 drone mata-mata Raven sebelum tahun 2014 berakhir. Selain itu, AS juga untuk pertama kali akan mengirimkan pesawat tempur F-16 ke Irak pada musim gugur tahun depan.

Sebenarnya Obama juga berencana menyewakan dan menjual helikopter tempur Apache pada Irak, namun ditolak Kongres. Para anggota dewan di AS khawatir, Apache akan digunakan Perdana Menteri Nouri al-Maliki untuk mengintimidasi lawan politiknya.

Akibat tidak mendapatkan Apache dari AS, akhirnya Irak beralih ke Rusia. Dengan Rusia, Irak membeli empat helikopter tempur MI-35 bulan lalu dan berencana membeli puluhan lagi.

Pengiriman rudal dan drone ini sesuai dengan permohonan Maliki saat mengunjungi Washington D.C. Oktober lalu. Maliki tidak ingin pasukan AS tetap di negaranya, namun dia mendesak AS untuk menjual drone dan Apache pada mereka.

Sejak tahun 2005, AS telah menawarkan Irak bantuan sebesar US$35 miliar dalam bentuk senjata dan layanan militer, namun hanya US$8 miliar yang digunakan atau disetujui senat, seperti diungkapkan dalam riset William Hartung, direktur Center for International Policy di Washington.

Menurut Hartung, sebelumnya AS telah menjual ke Irak persenjataan tradisional, seperti tank Abram 140 M1, 18 jet tempur F-16 (yang tertunda), enam pesawat kargo C-130, dan jet serta kendaraan tempur lainnya. Irak sebelumnya telah menawarkan untuk membeli sistem pertahanan udara terintegrasi seharga US$2,4 miliar.

Persenjataan ini diperlukan Irak untuk melawan kekuatan Al-Qaeda yang semakin ganas saja. Menurut laporan PBB, tahun ini saja lebih dari 8.000 rakyat Irak tewas dalam serangan dan pengeboman Al-Qaeda, 952 di antaranya adalah tentara Irak, ini angka tertinggi sejak kekerasan tahun 2008.

kelompok afiliasi Al-Qaeda di regional tersebut, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), punya kekuatan besar di utara dan barat Irak. Mereka dilaporkan kerap berjalan dalam konvoi bersenjata, mengintimidasi kota-kota dan membantai pejabat lokal.

Pekan lalu, pengebom bunuh diri meledakkan diri dan menewaskan komandan militer Divisi Tujuh Irak dan puluhan tentaranya. Saat itu, Divisi Tujuh sedang menyerbu kamp latihan Al-Qaedah di Rutbah.

Hari Natal lalu, dua bom mobil meledak menewaskan sedikitnya 38 orang dan melukai 70 umat Kristen lainnya di Bagdad. Salah satu bom meledak di luar gereja usai misa Natal, bom lainnya meledak di pasar saat umat Kristiani sedang berbelanja.

Menurut pejabat Irak yang tidak ingin disebut namanya karena takut diincar al-Qaeda, kelompok militan ini mengambil keuntungan dengan menyingkirnya pasukan AS. ISIS, kata pejabat ini, membangun operasi mereka di Irak, meluas hingga Suriah. Di Suriah, mereka mengirimkan pengebom bunuh diri, 30 sampai 40 orang per bulannya. Sasaran mereka tidak hanya kaum Syiah yang menguasai pemerintah, namun pejabat Sunni yang mereka sebut sebagai antek Maliki.

Meningkatnya kekuatan Al-Qaeda menurut para ahli karena pemerintahan mayoritas Syiah Maliki dinilai arogan dan tidak mampu merangkul dan berbagi kekuasaan dengan para tokoh Sunni. Akibatnya, gerombolan sakit hati terutama dari kalangan pemuda, bergabung dengan al-Qaeda.

"Kebijakan pemerintahan yang sektarian berkontribusi pada masuknya elemen pemuda dari komunitas Sunni secara berbondong-bondong ke Al-Qaeda," kata Haitham Abdullah al-Jubouri, pegawai pemerintah di Baquba.

Menyusul penyerangan ISIS yang semakin marak di Irak, juru bicara Kementerian Luar Negeri Jen Psaki mengeluarkan pernyataan keras Minggu lalu. Menurutnya, Al-Qaeda saat ini mulai menguasai wilayah di dalam perbatasan Irak.

"Al-Qaeda adalah musuh bersama Amerika dan Republik Irak, dan ancaman bagi wilayah Timur Tengah seluruhnya," kata Psaki.

Drone Mata-mata Tidak CukupKekuatan ISIS yang semakin meningkat dikatakan tidak akan musnah jika hanya diserang dengan rudal Hellfire. Menurut para ahli, Irak memerlukan drone serang, bukan drone mata-mata yang kemampuan terbangnya terbatas.

"Memberikan mereka drone ScanEagles memang bagus. Tapi apakah akan membuat perubahan? Daya jangkaunya sempit," kata Michael Knights, ahli keamanan Irak di Washington Institute for Near East Policy.

"Apa yang diperlukan saat ini adalah drone yang mampu terbang jauh, berdaya tahan lama, serta bersenjata. Ada satu tempat di dunia di mana Al-Qaeda bisa lari dari drone atau serangan udara AS, yaitu Irak dan Suriah," kata Knight.

Sebenarnya wacana permintaan drone bersenjata jenis Predator atau Reaper telah dilayangkan oleh Menteri Luar Negeri Irak Hoshyar Zebari. Namun Maliki dalam kunjungannya ke Washington tidak secara resmi memintanya.

Selain itu, pemerintah Gedung Putih sepertinya tidak akan mengabulkan jika permintaan tersebut disampaikan. "Kami tidak menerima permintaan resmi untuk drone bersenjata-AS untuk beroperasi di Irak. Kami juga tidak berencana mengirimkan misi I.S.R tersebut ke Irak," kata Bernadette Meehan, juru bicara Dewan Keamanan Nasional. I.S.R singkatan dari intelijen, pengamatan dan mata-mata.

Amerika memang satu dari 11 negara yang memiliki kemampuan drone canggih. Dikendalikan dari jarak jauh, drone ini mampu menjatuhkan serangan ke berbagai wilayah. Namun tidak dipungkiri, penggunaan drone di beberapa tempat seperti Pakistan, Yaman dan Afganistan juga ikut menewaskan warga sipil.

Seiring dengan semakin menyusutnya anggaran pertahanan AS, penggunaan drone ditingkatkan dan rekrutmen tentara dikurangi. Diperkirakan 30 persen dari Patroli Tempur Udara akan dikurangi, digantikan dengan drone yang jumlahnya ditambah, dari 65 menjadi 85.

Tahun 2013, seperti dilansir ABC News, anggaran Pentagon menyusut hingga US$6 miliar menjadi US$525 miliar.

Selain itu, keengganan AS menjual drone tempurnya karena takut teknologi canggih ini jatuh ke tangan yang salah, seperti Al-Qaeda atau Hizbullah. Pejabat intelijen AS kepada Washington Times November lalu mengatakan bahwa saat ini semakin mudah memperoleh teknologi tersebut.

"Semakin mudah bagi aktor non-negara untuk mendapatkan teknologi ini," kata dia.

Sebelumnya pemimpin Hizbullan Hassan Nasrallah mengklaim telah menerbangkan drone buatan mereka ke udara Israel tahun lalu. Negara zionis itu membenarkan telah menembak jatuh drone di udara mereka.

Menurut Nasrallah, drone itu buatan Iran dan dirakit di Lebanon. Tidak diketahui tipe dan kemampuannya.

Hal serupa juga terjadi di Asia saat Jepang menembak jatuh drone China Oktober lalu di atas pulau sengketa. Menurut pengamat, hal ini menunjukkan bahwa teknologi drone mulai juga diminati oleh negara-negara di Asia.

"Teknologi baru yang vital ini meningkatkan kewaspadaan. Namun sebaliknya, jika digunakan dengan gegabah, teknologi ini akan meningkatkan krisis matitim di Laut China Selatan atau Timur," kata Patrick M. Cronin, direktur senior Asia-Pacific Security Program di Center for a New American Security yang berbasis di Washington.

No comments:

Post a Comment