Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara
sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa
ditaklukan oleh Fatahillahdan Banten
ditaklukan oleh Maulana
Hasanuddin.
Catatan sejarah
|
Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu
untuk memperingati perjanjian Sund a
Portugis, Museum Nasional Indonesia,
Jakarta.
Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno,
dan catatan sejarah dari luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto menyatakan bahwa belum begitu banyak prasasti yang ditemukan di
Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama kerajaannya, walau dalam berbagai
sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada nama kawasan. Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579,
Kerajaan Sunda telah mengalami beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya,
dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan Pajajaran.
Catatan sejarah dari
Cina
Menurut Hirth dan Rockhill,ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan
Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan
negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan
pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya
tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan
di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
“
|
"Orang-oarang
tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang
pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan
dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat
dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan
membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka
sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini)
bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban,
Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan
tanaman."
|
”
|
“
|
"Dalam perjalanan
ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan
97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa,
mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya
dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari
Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati
Indramayu, melewati Cirebon."
|
”
|
Catatan sejarah dari
Eropa
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya
Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten.
Salah satu penjelajah itu adalah Tomé
Pires dari Portugal. Dalam
bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:
“
|
"Beberapa orang
menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa;
sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau
Jawa dan ditambah seperdelapannya."
|
”
|
Temuan arkeologi
Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lainPercandian
Batujaya di Karawang (abad ke-2
sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi
Bojongmenje di Kabupaten Bandung
yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng),
dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan
diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini
masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini
dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu
Tarumanagara, Sunda dan Galuh.
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut
"arca Caringin"
karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut
dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung
Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya
mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang
terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat
reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan di abad ke-10. Banyak
unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa
Tengah.
Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan
Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung. Hal ini
mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.[5]
Naskah Kuno
Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan karya
bentuk lainnya darinaskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan
Kerajaaan Sunda,[6] antaranya naskah Carita
Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik,
naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.[7]
Berdirinya kerajaan Sunda
Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa
Melayu Kuno dengan tarikh 932,
menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya".[8] Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah
ada sebelumnya.[3] Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao
Rugua menyebutkan terdapat
satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada
Sunda.[9]
Menurut naskah
Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya
serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan
Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawapada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan
ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi
Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa
Barat, dan bagian barat Provinsi Jawa
Tengah.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan
bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja
Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama
tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari
Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya
perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda,
sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Janayasa,
yang selanjutnya mendirikan Kerajaan
Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara
turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh,
Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari
Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan
melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke
Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi
bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas
kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah
timur).
Wilayah kekuasaan
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga
Manik (yang menceriterakan
perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu
di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada
Perpustakaan Boedlian, Oxford University,Inggris sejak tahun 1627), batas
Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali",
sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini
disebut Kali Serayu) di ProvinsiJawa Tengah.
Kerajaan Sunda yang berikbukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau
Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan
Banten maka kekuasaan atas
wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[2]
Menurut Naskah
Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat
ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan
Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Masa penurunan
Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya,
Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543),
Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya
atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin
kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh
pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancanadan Kerajaan
Pajajaran runtuh.[
Persekutuan antara Sunda
dan Galuh
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda,
meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini
lantas dinikahi oleh RahyangSanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang
Tamperan.[rujukan?]
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari
Sanjaya adalahBratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga
sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucuWretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.[rujukan?]
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran,
pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali
memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut
Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah,
menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk
melengserkan Purbasora
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan
Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh
bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada
puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754),
yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran.
Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu
membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut
Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja
selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759.
Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dariSaunggalah, Sang Banga mempunyai putera
bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan
kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan,
Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon
atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun
(783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan,
maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara)
yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda
jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang
Welengan (raja Galuh, 806-813).
Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu
Linggabhumi (813-842), meninggal
dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.[rujukan?]
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik
iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak
disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya
diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan
pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading
menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya,
Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian
diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam
orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera
Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964)
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera
sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari
Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri
(973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan
Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019).
Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang
membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042).
Sri Jayabhupati adalah menantu dariDharmawangsa
Teguh dari Jawa Timur, mertua
raja Airlangga (1019-1042)
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya,
Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi
((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri
(1154-1156), lantas oleh
cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175).
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya,
Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297).
Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian
memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan
Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa)
memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya
yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam
tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu
Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh
keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak
perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna
Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350).
Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja
Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena
saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil,
kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora
(1357-1371)
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra
Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun
(1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang
Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah
sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa
dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan
keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama
(1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah
Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan
menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal).
Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang
bergelar Sri Baduga Maharaja
Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui
bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang
ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai
Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti
ini sekarang disimpan di Museum Nesional dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih),
D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut[
“
|
Selamat. Dalam tahun
Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad,
Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat
oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini.
Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam
batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam
batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka
dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
|
”
|
Prasasti lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis
yang ditemukan di Bogor. Berdasarkan Prasasti
Batutulis berangka tahun 1533
(1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu
Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan
Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan
Bogor Selatan,Kota
Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran.[11] Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda.
Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara
Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang
melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya
tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:
“
|
Semoga selamat, ini
tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru
Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji
di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit
(pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga,
cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah
yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk
hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun)
Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".
|
”
|
Sayang sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang
menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai
masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahiyang Niskala Watu
Kancana. Namun demikian nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada
naskah-naskah kuno.
Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan
Nasional Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa,
penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja
Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang,
Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya
kepada Rakean Darmasiksa.
Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional)
menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan
adalah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja
penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang gugur
dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu
Kancana, sampai Surawisesa.
Sedangkan nama-nama raja penerus Surawisesa yang berperang dengan
Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dapat ditemukan dalam sejarah Banten.
Tahun-tahun masa pemerintaha para raja Sunda secara lebh
terperinci dapat ditemukan pada naskahPangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun
28.
Prabu Linggadéwata
(1311-1333)
29.
Prabu Ajiguna
Linggawisésa (1333-1340)
30.
Prabu Ragamulya
Luhurprabawa (1340-1350)
32.
Prabu Bunisora (1357-1371)
33.
Prabu
Niskalawastukancana (1371-1475)
34.
Prabu Susuktunggal
(1475-1482)
35.
Jayadéwata (Sri Baduga
Maharaja, 1482-1521)
36.
Prabu Surawisésa (1521-1535)
37.
Prabu Déwatabuanawisésa
(1535-1543)
38.
Prabu Sakti (1543-1551)
39.
Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40.
Prabu Ragamulya atau
Prabu Suryakancana (1567-1579)
41.
Hubungan dengan kerajaan lain
Singasari
Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut
bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di
kemudian hari, kerajaan
Majapahit sebagai penerus yang
kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda
harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.
Majapahit
Menurut Kidung Sunda,
Majapahit berusaha untuk menaklukan Kerajaan Sunda dan beberapa kali melakukan
penyerangan tapi berhasil digagalkan. Upaya terakhir Mejapahit untuk memperluas
kekuasaannya adalah dengan upaya penyatuan melalui perkawinan antara raja Hayam Wuruk dari Majapahit dan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda tapi usaha ini pun gagal dan
berkahir dengan tragedi Bubat.
Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris,[rujukan?]Perancis[rujukan?] dan Portugis. Kerajaan
Sunda bahkan pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam
tahun 1522,
Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugisyang membolehkan
orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa.
Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan
Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon [12](yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
No comments:
Post a Comment