VIVAnews - Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyimpangan dalam hal pelaksanaan pekerjaan konstruksi Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Dalam audit BPK yang diperoleh VIVAnews, disebutkan bahwa Kerja Sama Operasi (KSO) AW yang seharusnya menangani pembangunan Hambalang, justru mensubkontrakkan sebagian pekerjaan utamanya kepada perusahaan lain.
"Diantaranya kepada PT DC dan PT GDM," tulis audit investigatif BPK tersebut. PT DC menangani pekerjaan mekanikal elektrikal.
Diketahui PT DC adalah PT Dutasari Citralaras. Athiyyah Laila, istri Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum disebut pernah menjabat sebagai komisaris di perusahaan ini.
Menurut BPK, PT Dutasari Citralaras ternyata tidak melaksanakan tugas dari KSO AW sendirian. PT Dutasari mensubkontrakkan kembali sebagian pekerjaannya (setidaknya ada 13 jenis barang) kepada 14 perusahaan.
Terhadap ke-13 jenis barang tersebut, PT DC membeli dari 14 perusahaan lain seharga Rp27.878.238.973 (termasuk pajak). Dan terhadap jenis-jenis barang tersebut, harga yang dicantumkan dalam kontrak antara Kemenpora dengan KSO AW adalah sebesar Rp113.824.122.280 (termasuk pajak).
Hasil pemeriksaan terhadap ke-14 perusahaan yang menjadi supplier PT Dutasari tersebut menunjukkan bahwa 8 perusahaan di antaranya adalah perusahaan yang masuk dalam daftar Sub-kontraktor dan Supplier (Subcontractor and Vendor Approved List) KSO AW.
Lebih lanjut perusahaan-perusahaan tersebut menerangkan bahwa pada awalnya mereka diminta oleh PT AK untuk memasukkan penawaran menjadi supplier bagi PT AK dalam proyek Hambalang tersebut. Namun beberapa lama kemudian, PT DC meminta mereka untuk menawarkan hal yang sama untuk proyek yang sama untuk memasok barangnya bagi proyek Hambalang atas nama PT DC.
BPK menilai tindakan dari KSO AW tersebut melanggar ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3) Keppres 80/2003 bahwa Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain. Juga pasal 32 (4) bahwa Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab sebagian pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun, kecuali disub-kontrakkan kepada penyedia barang/jasa spesialis.
Dalam pelaksanaannya, MS selaku Dirut PT Dutasari mengajukan penagihan uang muka kepada KSO AW pada 22 Desember 2010 sebesar Rp64,9 miliar. MS ini diduga adalah Machfud Suroso. Dia sudah pernah diperiksa KPK.
KSO AW akhirnya juga mentransfer dana sebesar Rp13.300.942.000 kepada PT DC pada 28 Desember 2010. Dana yang diterima dengan kuitansi yang ditandatangani MS selaku Dirut PT DC ini merupakan pembayaran uang muka KSO AW kepada subkon PT Dutasari.
Esoknya tanggal 29 Desember 2010, KSO AW mentransfer dana sebesar Rp25 miliar ke PT Dutasari. Pembayaran uang muka kepada PT Dutasari dilanjutkan kembali di tahun 2011 yaitu pada tanggal 11 Januari 2011 sebesar Rp10 miliar, tanggal 19 Januari 2011 sebesar Rp6,5 miliar, tanggal 25 Januari 2011 sebesar Rp2 miliar, dan tanggal 26 Januari 2011 sebesar Rp6,5 miliar.
"Sehingga total keseluruhan uang muka kepada PT DC berjumlah Rp63.300.000.000," jelas BPK.
Namun, menurut BPK, uang muka itu tidak wajar. "MS selaku Dirut PT DC menerima uang muka sebesar Rp63,3 miliar yang tidak seharusnya."
Sebelumnya, Anas Urbaningrum belum mau bicara perihal keterkaitan istrinya, Athiyyah Laila, dalam kasus Hambalang ini. Anas menyerahkan perkembangan penyidikan kasus proyek senilai Rp1,2 triliun itu kepada KPK.
"Itu sudah masuk materi pemeriksaan, tanyanya ke KPK. Nanti dijelaskan di sana. Tidak boleh mendahului dong," kata Anas Urbaningrum saat ditanya soal mengapa istrinya bisa menjadi komisaris PT Dutasari Citralaras di kantor KPK, Jakarta, Kamis 26 April 2012.
Anas menegaskan, istrinya menjadi Komisaris PT Dutasari Citralaras sejak tahun 2008 dan keluar awal tahun 2009. Mantan Anggota KPU itu tetap membantah keterlibatan istrinya dalam kasus Hambalang.
No comments:
Post a Comment