Thursday 1 November 2012

RAHASIA KEMENANGAN JOKOWI

Ratusan orang berbaju kotak-kotak duduk berjejer menghadap meja memanjang. Masing-masing  sibuk dengan laptop menyala. Mereka masih muda, anak-anak bujang dan dara.  Ada yang bercakap di telepon genggam, mengetik pesan singkat, membaca pesan masuk, atau mencatat sesuatu di block note. Sebagian lagi sibuk menulis sesuatu di laptop.

Di ruangan itu semua orang tampak begitu repot. Berada di lantai basement 1 Ruang Andalusia, Gedung 165, di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, inilah “War Room dan Data Center Relawan Jakarta Baru”. Pada hari pemungutan suara 20 September lalu, setiap detik terasa begitu penting di sini.
Relawan Jakarta Baru adalah salah satu sayap sukarelawan pendukung Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
 “Ruang perang” itu dikomandani seorang anak muda. Namanya Hasan Nasbi.  Dia adalah Direktur Eksekutif Cyrus Network, yang disewa sebagai konsultan politik Jokowi-Ahok. Hasan merancang  ‘pusat syaraf’ ini sejak hari pertama Jokowi-Ahok maju di Pilkada DKI Jakarta.
War Room itu lah yang memantau relawan di lapangan. Mereka menerima pengaduan, kampanye,  dan pemantauan di sosial media. Semua berita di media massa dipelototi. Tentu, mereka siaga mencatat data hasil pemilihan dari semua tempat pemungutan suara (TPS).
Di lapangan, jumlah mereka lumayan besar: total ada 15 ribu relawan.  Mereka bekerja sejak H-3 dan sampai H+1 pemilihan. Siang dan malam. Ribuan pasukan Jokowi itu dikoordinasikan 706 koordinator, dan dipandu 42 supervisor. Para supervisor ini menggodok konsep, kreasi dan strategi media.
Pada hari “tempur”, seperti pada 20 September lalu,  War Room itu mengkoordinasikan lebih dari 45 ribu relawan.  Sekitar 30 ribu lainnya berasal dari dua partai pendukung Jokowi-Ahok. “Satu orang operatordata center akan mengawasi 300 saksi di lapangan via online," ujar Hasan yang mendapat gelar Sarjana Ilmu Politik dari Universitas Indonesia itu.
Relawan di lapangan terbagi habis di setiap TPS. Mereka bekerja menangani informasi, mulai dari mencatat hasil pemilihan, lalu membandingkan data pemilih, sampai pada penanganan temuan kecurangan. Mereka dibekali teknik pendokumentasian dengan telepon genggam atau kamera saku.
Tak lupa, di hari H, mereka dibekali uang makan dan dana komunikasi. Sebagian bahkan harus bergerak secara rahasia. "Ini memang ibaratnya pasukan komando,” kata Hasan yang menulis buku berjudul "Filosofi Negara Menurut Tan Malaka" itu.
Siang setelah pemilihan ditutup, Ahok mendatangi War Room.  Dia memantau hasil pemungutan suara. Malam itu juga, Tim ini sudah memiliki hasil penghitungan total. “Hanya beda tipis dengan quick count,” kata Hasan. Tim mencatat kemenangan Jokowi di atas 54 persen. Sementara lembaga-lembaga yang melakukan quick count mendapatkan temuan bervariasi, antara 52 persen sampai 54 persen.
Gerilya
"Kami memang mengelola sebuah organisasi yang tidak jelas," kata Jokowi menceritakan rahasia sukses tim penyokongnya di Jokowi Center, Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, sore setelah pemilihan. "Organisasi kami ini organisasi tidak jelas, tapi hasilnya jelas.”
Jika War Room dikendalikan Relawan Jakarta Baru, Jokowi Center ini dipimpin langsung Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ahok, Boy Sadikin, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Jakarta. PDIP sendiri mengerahkan 15 ribu kader untuk menyokong pemenangan, sementara Gerindra juga 15 ribu orang.
Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, menyebut, masing-masing partai all out memenangkan Jokowi-Ahok. Semua potensi partai, baik pengurus atau simpatisan, dikerahkan.
Tapi mereka bergerak dan bekerja sendiri-sendiri. Relawan Jakarta Baru, misalnya,  melakukan sosialisasi ke tengah warga, selain banyak berkiprah di media sosial. Twitter, sarana microblogging itu, rupanya menjadi andalan penting menyebarkan informasi.
“Ini suatu culture baru, perlu diperhatikan dalam politik,” kata Fadli Zon. “Berbeda dengan 2009, sekarang banyak sekali media sosial yang orang berinteraksi real time, jadi sangat penting,” kata pemilik akun @fadlizon di media sosial Twitter itu.
Di media sosial ini, warga Jakarta bisa mengakses informasi mengenai Jokowi-Ahok. Warga Jakarta, kata Fadli, jadi tahu Jokowi-Ahok apa adanya, tanpa intimidasi, tanpa topeng. “Ini ditangkap oleh masyarakat Jakarta yang cerdas dan punya akses informasi luas sehingga bisa mengecek. Mereka kan bukan mau beli kucing dalam karung,” ujar  Fadli.
Jokowi menyatakan, tim yang selalu bergerak ini adalah salah satu rahasia kemenangannya. “Masuk ke bawah, diikuti oleh tim di belakang,” kata Jokowi.  Dia mengatakan  selain warga yang mengorganisasikan diri dan bergerak, ada juga mesin partai plus relawan  atau “gerilyawan” bergerak. “Semua gerak, tapi itu organisasi tidak jelas, tanpa bentuk. Tapi hasilnya jelas.” (Lihat Wawancara Jokowi)
Pertempuran gaya gerilya ini memang agak meletihkan. Selain dibantu tim relawan yang bekerja dengan gaya gerilyawan, lelaki kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961, itu juga harus tetap “in charge” dengan “pusat syaraf”.  Dia nyaris tumbang menjelang hari pemilihan.  Jokowi sakit pilek. “Baru kali ini saya lihat bapak sakit," kata Untoro, ajudan Jokowi.
Belum lagi Jokowi harus membagi waktu antara Solo dan Jakarta. Pada Rabu lalu, sehari sebelum Hari H itu, Jokowi pun masih memantau basis suara di lima kota di DKI Jakarta. Malamnya, dia hadir di acara penghargaan Soegeng Sarjadi Award on Good Governance atas keberhasilannya memberdayakan masyarakat di Solo.
Pada pagi hari saat pemilihan, dia mengaku “95 persen fit, 5 persen sakit tenggorokan.”  Setelah sarapan nasi uduk lauk tempe bersama ibunya, Sujiatmi Notomiharjo,  Jokowi meluncur ke kediaman Megawati Soekarnoputri di Kebagusan, Jakarta Selatan.  Dari Kebagusan, dia bertamu ke rumah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, tokoh yang pertama kali memintanya ikut pemilihan kepala daerah Jakarta.
Strategi gerilya ini, kata Manajer Riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Setia Darma jadi salah satu faktor kemenangan Jokowi. "Meskipun atribut sosialisasi Foke banyak, namun cara Jokowi lebih efektif menarik simpati publik," ujarnya. Sosialisasi di media sosial juga dihitung Lingkaran Survei salah satu kunci keberhasilan Jokowi.
Lingkaran Survei mengatakan ada delapan faktor kunci kesuksesan Jokowi. Antara lain, kekecewaan dan ketidakpuasan publik kepada pasangan incumbent. “Ada 36 persen publik yang tidak puas (dengan incumbent)," kata Setia Darma di Kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis, 20 September 2012.
Di bawah harapan
Meski unggul, Jokowi menyatakan hasil quick count 54 persen ini di bawah perkiraan. “(Harusnya) sekitar 70 persen,” kata Jokowi. “Itu perkiraan lapangan, tetapi sudah mendapat lebih, saya bersyukur,” katanya tersenyum.
Dari enam wilayah di DKI Jakarta, Jokowi-Ahok hanya kalah di Kepulauan Seribu. Menurut Ahok, mereka kalah karena relawan mereka sulit menembus kabupaten satu-satunya di DKI Jakarta itu. “Yang pasti, saksi kami tidak bisa masuk ke sana.  Relawan tidak berani ke sana,” kata mantan Bupati Belitung Timur itu.
Padahal, menembus setiap wilayah itu penting dalam perebutan suara. Beberapa hari sebelum pemilihan, Lembaga Survei Indonesia membuka hasil survei mereka. Kemenangan Jokowi tipis, 45,6 persen melawan 44,7 persen. Ada margin of error 5 persen. Artinya,  siapa pemenang di hari H sulit ditebak. Apalagi ada pemilih yang belum menentukan sikap sebesar 9,7 persen. “Peluang keduanya sama besar,” kata Saiful Mujani, pendiri Lembaga Survei Indonesia. “Yang menentukan adalah kerja hingga Hari H di TPS.” (Lihat Infografik Debut Jokowi-Ahok)
Tentu, dengan hasil survei itu kubu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli jadi semangat. Pada putaran pertama lalu, mereka tertinggal 9 persen di belakang Jokowi-Ahok. Artinya, mereka los sekitar 300 ribu suara. Pasca kekalahan itu, Tim Sukses Foke-Nara mengalami perombakan cukup besar. Strategi pun berubah.
Pada putaran pertama, mereka sama sekali tak sentuh warga bawah. Pada putaran kedua, segmen “wong cilik” ini justru menjadi sasaran utama. Tim menyasar rukun warga (RW) di lima wilayah administrasi kota Jakarta dan juga wilayah Kepulauan Seribu. Mirip strategi tim Jokowi.  Di level RW ada para koordinator posko. Jumlahnya, alamak, sampai 300 ribu orang. “Kami bentuk posko RW, relawan sampai ke RT dan TPS. Tapi kenapa tidak terasa ya?" kata Ketua Media Center Foke-Nara, Muhammad Kahfi Siregar.
Kahfi memakai istilah “tidak terasa” karena selisih suara mereka dengan Jokowi-Ahok hanya berkurang sedikit, dari 300 ribu menjadi 240 ribu. Baginya, ini mengherankan. Seharusnya, kata Kahfi,  suara datang dari pasangan yang dulu diusung PKS dan Golkar. Masalah selisih 300 ribu suara akan kelar. "Kalau loyal pasti meningkat suaranya," ucapnya. Tapi fakta lapangan berkata lain.
Dukungan partai rupanya tak berpengaruh. Lingkaran Survei Indonesia membenarkan soal dukungan partai tak berpengaruh terhadap perolehan suara. “Jadi bisa saja didukung oleh partai kecil. Namun kalau personal figur tinggi, maka suara yang diperoleh akan tinggi," ujar Direktur Eksekutif Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia Toto Izul Fatah, Kamis, 20 September 2012.
Tapi Direktur Komunikasi Publik Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi tak sepakat.  Dukungan partai, kata dia, sebenarnya masih efektif. Pemilih Hidayat Nur Wahid misalnya, sebagian besar mengalihkan dukungan ke Foke-Nara setelah Partai Keadilan Sejahtera secara resmi mendukung pasangan ini. Begitu juga Partai Persatuan Pembangunan, yang baru belakangan mendukung Foke-Nara, 80 persen konstituennya memilih Foke-Nara.
Namun, kata Burhan, pemilih partai memang tidak linear dengan pilihan di pilkada. Di PKS misalnya, tingkat pendidikan pemilih mereka juga menentukan. “Ini yang menjelaskan PKS masih bocor ke Jokowi. Jangankan Foke, HNW saja tidak 100 persen dipilih PKS,” kata Burhan.
Isu SARA tak bekerja?
Lembaga Survei Indonesia juga menemukan, Foke sebenarnya berhasil mendongkrak suaranya. “Ini suatu pembelajaran bahwa Foke naik karena ada isu SARA,” kata Burhan yang juga mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu.  SARA adalah akronim untuk suku, agama, ras dan antargolongan.
Isu SARA ini bukan hanya mempertahankan loyalitas pendukung Foke, tapi juga mengeruk suara dari 9,7 persen undecided voters yang ditemukan dalam survei terakhir Lembaga Survei. Bahkan ada pemilih di putaran pertama mendukung Jokowi, kemudian beralih mendukung Foke, tapi ini tidak terlalu signifikan. Dukungan signifikan diperoleh Foke dari bekas pendukung HNW.
“Tapi di Jakarta ini, dengan kelas menengah yang tinggi,” kata Burhan, “isu SARA itu tak dipilih 100 persen oleh warganya.”
Keunggulan Jokowi-Ahok, kata Burhan, lebih ditunjang oleh evaluasi atas kepemimpinan Foke. Jadi bukan melulu soal agama atau etnis, meski sebagian besar nonmuslim, etnis Jawa dan etnis China memilih Jokowi. Sementara yang muslim, memang sedikit lebih banyak memilih Foke daripada Jokowi.
Direktur Eksekutif Indo Barometer (IB), Muhammad Qodari, melihat isu SARA juga bukan blunder bagi Foke-Nara. Jika blunder, kata Qodari, dukungan Foke-Nara yang di putaran pertama hanya 34 persen tentu berkurang.
"Sebetulnya berhasil meningkatkan suara, tapi tidak mempengaruhi mayoritas,” kata Qodari. Patut disyukuri, kata Qodari, mayoritas pemilih Jakarta cukup rasional. Mereka lebih melirik kualitas calon, rekam jejak, kemampuan, dan integritas. Isu SARA pun tidak berubah atau termanifestasi menjadi ketegangan sosial atau kerusuhan.
Suka tak suka, isu SARA ini sebetulnya berdampak serius juga. Pasangan Jokowi, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, mengakui isu SARA memiliki efek. Saat dia maju di pemilihan Gubernur Bangka Belitung, isu SARA efektif mengangkat suara antara 5 sampai 10 persen. “Ditambah intimidasi, tambah 5 persen lagi,” kata Ahok. Dan Ahok berharap di Jakarta tidak setinggi itu efeknya. “Kita mulai Jakarta barulah, jangan ngomongin SARA lagi,” katanya.
Meski isu SARA terbukti mendongkrak suara Foke, tapi toh Jokowi tetap lebih unggul. Ini diakui berkat strategi mereka dari awal. "Strategi Jokowi-Ahok pada putaran kedua juga sama saja seperti di putaran pertama,” kata Ketua Tim Media Center Foke-Nara, Kahfi Siregar, mengakui. “Kelebihan mereka, tema merakyatnya cukup mengena: pemimpin yang merakyat," katanya.
Tentu, pemimpin merakyat dan “ndeso” itu menjadi tandingan dari apa yang ditampilkan oleh Foke. Publik mungkin tak puas dengan  gaya kepemimpinan Foke. Jokowi menunggangi ketidakpuasan masyarakat. “Jokowi adalah harapan baru. Meski masyarakat juga tahu belum tentu Jokowi bisa menyelesaikan masalah,” ujar Burhan.(np)

1 comment: