Tuesday 18 December 2012

Salah Aceng atau Salah Nikah Siri?

Oleh : Muhamad Isna Wahyudi

Selama beberapa pekan terakhir, perhatian publik dan media massa tertuju pada sosok Bupati Garut, Aceng Fikri, yang menikahi gadis secara siri dan menceraikannya hanya dalam waktu empat hari. Perceraian itu pun dilakukan melalui sms.

Sontak perilaku Aceng pun menuai protes dan kritik dari banyak kalangan, bahkan terjadi demo yang menuntut Aceng lengser.

Memang perilaku Aceng merupakan bentuk kesewenang-wenangan terhadap kaum perempuan. Namun ada hal yang perlu direnungkan yaitu mengapa Aceng dapat berbuat demikian?

Tentu saja karena Aceng menikahi perempuan itu secara siri, yaitu tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang, sehingga perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Akibatnya, tidak ada perlindungan hukum atas perkawinan tersebut, baik terhadap hak dan kewajiban pasangan, maupun keturunan yang lahir dari perkawinan itu.

Di sinilah nikah siri menjadi sumber kesewenangan kaum laki-laki dan ketertindasan kaum perempuan sebagai pihak yang paling banyak dirugikan.

Perilaku Aceng yang menikahi perempuan secara siri bukan tanpa dukungan, karena nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat muslim di Indonesia masih memandang nikah siri sebagai sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut hukum negara.

Nilai-nilai yang demikian tentu sangat dipengaruhi oleh dominasi kaum laki-laki yang menjadi ustad, kyai, dan ulama sebagai sumber otoritas lain disamping kekuasaan negara dalam mengatur masyarakat. Kaum laki-laki sebagai pihak yang diuntungkan dalam nikah siri bisa jadi telah melestarikan nikah untuk mengeksploitasi kaum perempuan secara seksual. Oleh karena itu, perlu tinjauan ulang apakah nikah siri masih sah menurut agama.

Selain itu, orang tua yang cenderung mempermudah perkawinan anak perempuannya karena alasan beban ekonomi telah menjadi faktor lain yang mendukung budaya nikah siri.

Menakar Ulang Nikah Siri

Kedudukan nikah dalam Al-Qur’an adalah sebagai mitsaqan ghalidzan atau ikatan yang kokoh (Q.S. An-Nisa [4]: 21). Sebagai ikatan yang kokoh maka setiap pasangan yang menikah dituntut untuk berkomitmen dalam menjaga kelangsungan perkawinan. Inilah mengapa dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.

Meskipun nikah memiliki kedudukan sebagai ikatan yang kokoh, tetapi Al-Qur’an tidak memerintahkan pencatatan akad nikah. Berbeda dengan masalah akad hutang-piutang dalam mana Al-Quran memerintahkan para pihak yang melakukan akad hutang-piutang untuk mencatatnya (Al-Baqarah [2]: 282). Mengapa demikian? Di sinilah perlunya kita memahami ketentuan tersebut dengan mengkaji konteks sosial budaya masyarakat Arabia pada saat pewahyuan Al-Qur’an.

Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Arabia pada saat pewahyuan Al-Qur’an merupakan masyarakat kesukuan. Sebuah suku terdiri dari beberapa klan yang terikat berdasarkan hubungan darah, dan sebuah klan terdiri dari beberapa keluarga yang masing-masing keluarga tinggal di tenda-tenda.

Nah, dalam kondisi yang demikian itu, maka masyarakat masih bersifat komunal dalam mana nilai-nilai kebersamaan masih begitu kuat dan kepala suku memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap anggota sukunya. Selain itu, ada kecenderungan bahwa pasca perkawinan, anggota suku cenderung untuk hidup menetap di daerahnya, baik karena keterbatasan sarana transportasi maupun mata pencaharian yang tidak menuntut mobilitas bahkan untuk menetap di daerah lain.

Dalam situasi yang seperti ini, maka masyarakat masih memiliki fungsi kontrol terhadap status perkawinan setiap anggotanya. Masyarakat masih dapat menjadi saksi atas ikatan perkawinan setiap anggotanya.

Inilah mengapa Rasulullah menganjurkan agar setiap akad nikah diselenggarakan pesta perkawinan meski dengan seekor kambing. Tujuannya tidak lain adalah agar dipersaksikan oleh masyarakat. Dalam konteks seperti ini tentu pencatatan perkawinan belum menjadi sebuah tuntutan bagi masyarakat pada saat itu, yang mungkin mempengaruhi para ulama fikih klasik dalam merumuskan syarat perkawinan.

Berbeda dengan akad hutang-piutang, sejak awal Al-Quran memerintahkan agar para pihak yang terlibat melakukan pencatatan. Hal ini karena dalam akad hutang-piutang biasanya hanya diketahui oleh pihak debitur dan kreditur, sehingga untuk menjamin adanya kepastian hukum atas hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam akad hutang-piutang, akad tersebut harus dicatat dengan benar. 

Namun saat ini kondisi masyarakat telah berubah. Terdapat pergeseran bentuk keluarga dalam masyarakat, dari keluarga besar (extended family) menjadi keluarga kecil (nuclear family) yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. 

Selain itu, tingkat mobilitas manusia semakin tinggi seiring dengan adanya revolusi industri dan perkembangan sarana transportasi dan komunikasi. Dalam konteks seperti ini, maka masyarakat tanpa disadari sebenarnya telah kehilangan perannya untuk melakukan fungsi kontrol atas ikatan perkawinan anggota-anggotanya.

Konsep negara-bangsa yang menggejala hampir di semua negara muslim pasca era kolonialisme juga telah memberikan otoritas bagi negara untuk melindungi hak-hak setiap warga negara dengan melakukan penertiban administrasi kependudukan termasuk dalam hal perkawinan.

Di sinilah pencatatan perkawinan menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi pasangan yang menikah maupun anak-anak yang lahir dari pekawinan itu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pencatatan nikah menjadi salah satu syarat syah nikah.

Bahaya Nikah Siri

Memang setiap perkawinan, baik 'sirri' maupun resmi, senantiasa mengandung kemungkinan terjadinya perceraian, tindak kekerasan, maupun penelantaran keluarga. Namun nikah sirri lebih banyak menimbulkan masalah sosial dari pada nikah resmi.

Dalam nikah sirri, kaum perempuan akan kehilangan akses terhadap hak-hak dalam keluarga yang dilindungi hukum karena perkawinan mereka tidak memiliki kekuatan hukum.

Jika mereka memiliki Kutipan Akta Nikah, mereka dapat membawa masalah keluarga mereka ke Pengadilan Agama yang menangani masalah-masalah keluarga. Melalui Pengadilan Agama kaum perempuan memiliki kesempatan untuk mengajukan perceraian, untuk menangani masalah pengasuhan anak, dan pembagian harta bersama.

Selain itu orang tua perlu menunjukkan Kutipan Akta Nikah untuk memperoleh Akta Kelahiran anak yang menyatakan bahwa anak tersebut adalah anak dari seorang suami dan istri. Sebaliknya, jika orang tua tidak dapat menunjukkan Kutipan Akta Nikah maka anak tersebut hanya dihitung sebagai anak dari seorang ibu dan anak tersebut akan kehilangan akses untuk mendapatkan hak waris dari ayahnya.

Selain itu, dalam realitasnya, perkawinan sirri banyak dilakukan oleh kaum laki-laki untuk menikahi perempuan lain tanpa harus mengajukan permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama. Alasan yang sering digunakan adalah dari pada zina lebih baik nikah sirri, padahal mereka telah memiliki saluran yang halal yaitu istri pertama yang syah.

Dalam hal ini sebenarnya mereka tidak istiqomah/setia terhadap istri pertama, bahkan tanpa sadar sebenarnya mereka lebih menuruti hawa nafsu, karena tidak ada jaminan bahwa dengan nikah sirri dapat mengendalikan nafsu mereka untuk tidak menikahi sirri perempuan lain, sehingga bisa jadi jumlah istri sirri mereka melebihi batas maksimal yang dibolehkan agama Islam. 

Kita bisa bayangkan bagaimana seandainya banyak perempuan yang dinikahi sirri, kemudian mereka melahirkan keturunan, namun setelah itu mereka ditelantarkan oleh suami mereka, tentu hal ini akan menimbulkan masalah sosial yang lebih besar karena akan banyak anak-anak yang tidak jelas garis keturunannya, dan menjadi lost generation.

Jika di antara tujuan syariah adalah untuk melindungi keturunan, sementara nikah sirri tidak dapat memberikan perlindungan hukum yang pasti terhadap keturunan, maka jelas nikah sirri tidak lagi syar’i (sesuai syariah).

Langkah awal yang harus ditempuh dalam menekan nikah siri adalah dengan memperbaharui pemahaman di kalangan masyarakat luas mengenai status hukum nikah sirri. Selama ini pemahaman yang berlaku di kalangan masyarakat muslim Indonesia adalah bahwa nikah sirri sah secara agama, tetapi tidak sah secara negara.

Selama pemahaman yang demikian itu tetap dipertahankan oleh masyarakat muslim Indonesia dan selama masih ada ulama maupun kyai yang berkenan membantu pelaksanaan nikah sirri, maka nikah akan selalu muncul.

Selain itu, pemerintah, dalam hal ini KUA harus mampu memberikan pelayanan prima kepada para pasangan yang akan menikah, sehingga tidak ada alasan lain bagi mereka untuk tidak menikah secara resmi, bahkan jika perlu ada perkawinan prodeo bagi mereka yang terbukti tidak mampu secara ekonomi maupun sistem pelayanan perkawinan keliling bagi para pasangan yang tinggal di daerah-daerah terpencil. 

*) Muhamad Isna Wahyudi, SHI, MSI, Hakim Pengadilan Agama Kotabumi, Lampung

No comments:

Post a Comment