Saturday 1 December 2012

INILAH ORANG ORANG TERKAYA BARU VERSI MAJALAH FORBES 2012

Sudhamek
Sejak kecil Sudhamek akrab dengan ejekan. Itu karena namanya terdengar aneh di telinga. Tapi Sudhamek kecil juga ingat pesan ayahnya: “Jadilah tuanmu sendiri dalam hidup ini.” Dia lalu bangkit, dan menjadi lelaki yang penuh percaya diri.
Lebih setengah abad lalu, Sudhamek kecil tinggal di perkampungan nelayan miskin di Rembang, Jawa Tengah. Keluarganya tak kaya, meskipun tak juga terlalu miskin. Tak semua kebutuhan Sudhamek terpenuhi. Dia, misalkan, jarang menyantap daging ayam. Kalau pun ada, anak bungsu dari 11 bersaudara itu, kebagian potongan kecil.
Meski begitu, seperti diungkapkannya kepada Dino Patti Djalal dalam buku “Life Stories: Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang”, Sudhamek bersyukur tak kurang asupan protein. Dia hidup di tepi pantai, tempat bertumpuknya ikan laut segar dan murah.
Di bangku sekolah Sudhamek kerap tertekan. Ia bercerita, nama Sudhamek yang aneh itu sungguh bak sebuah hiburan bagi temannya. Misalnya, setiap pagi tatkala guru memanggil nama murid sesuai daftar hadir, maka meledaklah tawa seisi kelas setiap giliran nama Sudhamek disebut. Semua itu membuat  dia minder. Prestasinya di sekolah pun jeblok.
Tapi siapa mengira, nama itu juga membawa hoki baginya. Dengan nasihat sang ayah, Sudhamek bangkit, meski hidupnya penuh liku. Kini, Sudhamek AWS, adalah Chief Executive Officer GarudaFood Group. Namanya masuk jajaran 40 orang terkaya di Indonesia versi majalah bisnis terkemuka dunia,Forbes, 2012.
Daftar Forbes itu disusun lewat ukuran kepemilikan saham, dan informasi keuangan keluarga, individu, bursa efek, analis, serta sumber lainnya. Sudhamek adalah nama baru di daftar itu. Sejumlah nama taipan Indonesia sudah tercantum sejak tahun lalu.
Dengan kekayaan US$760 juta, Sudhamek  bertengger di posisi ke-38 dalam daftar Forbes. Dia kini adalah raja makanan ringan,  di bawah bendera GarudaFood. Di tangannya, bisnis warisan ayahnya itu menghasilkan merek terkenal seperti Kacang Garuda, dan makanan ringan Gerry.
Titik balik
Dari hidup tertekan sejak masa kanak-kanak, Sudhamek memilih menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Babak baru hidupnya dimulai ketika dia pindah ke Salatiga, Jawa Tengah. Ke kota itulah Sudhamek merantau melanjutkan kuliah.
Ia masuk Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana. Dia mengaku, itu pilihan tak sengaja. Sudhamek kaget ketika nilai kuliahnya di fakultas ekonomi itu bagus. Ia mulai jatuh cinta pada ilmu ekonomi.  Sudhamek merasa dirinya tak sebodoh yang ia bayangkan.
Pelan tapi pasti, Sudhamek berubah. Ia mulai mengembangkan diri.
Kepercayaan dirinya tumbuh. Dari Sudhamek cilik yang pemalu, ia menjadi mahasiswa gaul yang fasih berbicara di depan publik. Dia juga pecinta buku. Kata Sudhamek, buku adalah guru terbaiknya.
Kunci suksesnya pun sederhana. Dia percaya pada “will power”, semacam kekuatan kehendak untuk berbuat. Ia memang tak pernah menjadi murid terpandai. Namun, kata Sudhamek, karena kekuatan kehendak itu, dia bisa menyabet dua gelar sarjana sekaligus, untuk ilmu ekonomi  dan hukum. “Will power” itu lalu menjadi sumber energi bagi Sudhamek.
Lulus kuliah, Sudhamek bekerja di PT Gudang Garam, Kediri. Belasan tahun ia belajar manajemen, dan kepemimpinan mengelola korporasi. Semua pelajaran itu rupanya sangat berguna ketika ia mengambil alih bisnis warisan ayahnya, PT Tudung, yang awalnya bergerak di bisnis tepung tapioka.
Di bawah Sudhamek, perusahaan yang dirintis sang ayah, Darmo Putro, itu berubah nama menjadi PT Tudung Putrajaya (TPJ). Bisnis intinya adalah kacang garing. Awalnya, TPJ menjual kacang garing tanpa merek. Namun mulai 1987, mereka menjual kacang produksinya dengan merek ‘Kacang Garing Garuda.’
Itulah cikal bakal GarudaFood. Kacang Garuda meledak di pasaran. Bisnis utama GarudaFood adalah kacang kulit oven (roasted peanut). Kesuksesan Kacang Garuda membuat GarudaFood berekspansi ke bisnis makanan lain: biskuit dan jeli. Inovasi dilakukan, sehingga produknya unggul dari para pesaing.
Ada untungnya bisnis makanan. Saat Indonesia digilas krisis moneter pada 1998, GarudaFood justru bertahan. Ini karena mereka menguasai 60-70 persen pangsa pasar. Bahkan , kini GarudaFood merambah pasar dunia.
Sudhamek, yang dulu anak kecil minder bernama aneh itu, kini meraih berbagai penghargaan. Antara lain Ernst & Young Indonesia Entrepreneur of The Year 2004, dan The Most Admired CEO 2004, 2005, 2006, 2007.

Liem Hariyanto Wijaya 

Lelaki itu dari Fujian. Merantau ke Kalimantan, ketika provinsi di selatan China itu ikut dikurung amarah nasionalis versus komunis. Di Kalimantan dia kerja serabutan. Dari kuli hingga berdagang. Upah dari kerja tak tentu itu ditabung. Begitu cukup dia mendirikan toko kelontong. Itu tahun 1915.
 
Lim Tju King, nama pria ini, barangkali tak pernah menyangka Toko Kelontong itu bakal mengurita dalam rupa-rupa usaha, lalu anaknya melambung ke jajaran orang terkaya Indonesia. Pekan ini, Majalah terkemuka Forbes, menaruh Lim Hariyanto Wijaya, si pewaris Toko Kelontong itu di urutan 30 dalam daftar orang kaya di Indonesia. Total kekayaannya U$ 1,03 miliar. Sekitar Rp9,4 triliun.
 
Sepeninggal sang ayah, Hariyanto memang melebarkan sayap bisnisnya. Dari perkayuan hingga manufaktur. Dia mewarisi bakat dan nyali bisnis sang ayah. Tahun 1983, dia merambah bisnis kayu lapis. Lalu merambah bisnis lain. Dari kelapa sawit, hingga properti.
 
Induk bisnis sawit itu kemudian melantai di bursa saham Singapura. Pasar menyambut gembira. Pundi keluarga ini kemudian kian menjulang.

Majalah Forbes mencatat bahwa penyumbang terbesar kekayaan mereka adalah bisnis perkebunan kelapa sawit. Di bisnis ini mereka bernaung di bawah bendera Bumitama Agri Ltd. Perusahaan inilah yang April 2012 lalu, terjun di bursa Singapura itu.
 
Kantor berita Reuters melaporkan bahwa saat listing di Singapura, perusahaan itu diharapkan akan mengeruk  U$175,8 juta. Mereka menawarkan 297,6 juta saham.
 
Tapi Hariyanto kini sudah senja. Usianya sudah 85 tahun. Kemudi perusahaan sudah berpindah ke anak-anaknya. Saat peluncuran saham di Singapura itu, anak kandung Lim sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Bumitama Agri Ltd., Lim Gunawan Hariyanto, dengan penuh haru mengatakan, "Ini adalah hari bersejarah bagi Bumitama.”
 
Gunawan berharap debut perdana di Bursa Efek Singapura ini disambut baik para investor. Bermodal tanah yang luas di Indonesia, dia yakin perusahaan ini sanggup melayani permintaan minyak sawit dunia yang terus melesat.
 
Selain modal tanah yang luas, semangat kerja dan integritas yang mendarah daging berpuluh tahun juga jadi modal utama mereka. "Dengan nilai-nilai inti integritas, moralitas dan kemampuan, kami akan terus membangun fondasi yang kuat," kata  Lim Gunawan.
 
Harga saham Bumitama Agri saat dijual pertama kali di Singapore Stock Exchange seharga U$0,745 per lembar atau sekitar Rp8.000. Harga saham itu kemudian melejit. Naik sekitar 45 persen dari harga perdana. Saham naik, kapitalisasi pasar Bumitama Agri juga melejit. Bulan Oktober 2012, kapitalisasi pasarnya mencapai U$1,5 miliar. Sekitar Rp14 triliun.
 
Jaya di Kelapa Sawit
 
Sebelum terjun ke bisnis kelapa sawit, keluarga ini sempat terjun ke bisnis batu bara dan pertambangan emas. Bisnis batu bara itu mulai dirintis tahun 1988. Bisnis itu terhitung sukses.
 
Bermitra dengan Rio Tinto —perusahaan tambang asal Australia— mereka kemudian mendirikan Kelian Equatorial Mining. Porsi  Rio Tinto memang lebih besar. Rio memiliki 90 persen sementara Harita Grup milik keluarga ini 10 persen. Tapi mereka kemudian menutup tambang, yang mulai beroperasi pada tahun 1992 itu,  pada tahun 2005. Sebabnya, cadangan emas menurun.

Pada tahun 1996, Harita Grup mendirikan Bumitama Agri setelah mengakusisi lahan seluas 17.500 hektare di Kalimantan Tengah. Perkebunan itu mulai berbisnis pada tahun 1998. Semula usaha ini berjalan lambat.

Barulah pada tahun 2002,  Bumitama mulai melebarkan sayap  secara agresif. Pada tahun 2007, Bumitama sudah memiliki 50 ribu hektar. Pada tahun 2010, jumlah lahan bertambah lagi 50 ribu hektar lagi. Dan pada Maret 2012, Bumitama sudah memiliki 118.00 hektare yang sudah ditanami kelapa sawit.
 
Pohon kelapa sawit memiliki siklus hidup sampai 25 tahun. Usia 0-3 tahun pohon kelapa sawit masih dianggap muda. Dan usia ideal adalah 7-18 tahun. Setelah usia itu, minyak yang dihasilkan akan merosot.

Minyak mentah kelapa sawit (CPO) sekarang dikomsumsi secara luas. Minyak ini digunakan untuk membuat biskuit, kue, margarin, es krim dan produk kosmetik. Tingkat permintaannya di dunia adalah  73 persen dari seluruh produk.

Indonesia dan Malaysia adalah produsen terbesar CPO. Kedua negara ini menyumbang 85 persen pasokan dunia.

Kini Bumitama menguasai 190.000 hektare tanah. Dari jumlah itu, sudah 118.000 hektare yang ditanam kelapa sawit  di Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pada tahun 2011, perkebunan memproduksi 1.065 juta buah tandan sawit segar. Dengan kata lain hasil per hektar kebun mencapai 16,3 metrik ton.

Untuk CPO, pada tahun 2009 Bumitama menghasilkan 216.000 metrik ton. Tahun 2011 meningkat menjadi 254.000 metrik ton. Rata-rata pertumbuhan produksi itu adalah 24,6 persen.

Dari segi keuangan, kinerja Bumitama Agri juga impresif. Pada tahun 2009, pendapatannya telah mencapai U$138 juta atau Rp1,4 triliun. Pada 2010, pendapatan naik  menjadi U$216 juta atau Rp1,9 trilun. Dan tahun 2012 mencapai U$320 juta atau Rp2,8 triliun.  Rata-rata pertumbuhan adalah 53,4 persen.

Sementara dari segi keuntungan juga terus naik. Pada tahun 2009 keuntungan bersih Bumitama baru U$24 juta atau Rp278 milyar. Pada tahun 2011, keuntungan bersih naik menjadi U$39 juta atau Rp402 milyar. Dan tahun 2011, keuntungan bersih Bumitama menjadi U$67 juta atau Rp 757 milyar. Kenaikan keuntungannya adalah 67 persen.

Demikianlah. Peluh berpuluh tahun itu telah menaruh Lim Hariyanto Wijaya Sarwono  dalam daftar orang terkaya Indonesia.

Allexander Tedja
Majalah bisnis terkemuka, Forbes, merilis 40 daftar orang terkaya 2012. Total kekayaan para taipan di Tanah Air itu diperkirakan mencapai US$88,6 miliar atau Rp841,7 triliun (kurs Rp9.500).
Dibandingkan tahun lalu, total kekayaan mereka naik empat persen dari sebelumnya US$85,1 miliar. Kenaikan itu antara lain karena faktor pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang fantastis.
Para pengusaha tersebut bergerak di sektor perbankan, perkebunan kelapa sawit, rokok, pertambangan, makanan ringan, properti, hingga media televisi.
Dari 40 nama tersebut, mencuat nama-nama baru, salah satunya Alexander Tedja, pemilik pusat perbelanjaan terbesar di Jawa Timur. Ia menempati posisi ke-36 dengan kekayaan US$790 juta atau Rp7,5 triliun. Alexander menggelembungkan pundi-pundinya dari megaproyek properti di Surabaya dan Jakarta melalui Pakuwon Group.
Beberapa proyek yang digarap perseroan, yang menjadi perusahaan publik melalui penawaran perdana saham (initial public offering/IPO) tahun 1989, dengan nama PT Pakuwon Jati Tbk (kode saham PWON), itu antara lain, superblok Tunjungan City di Surabaya serta Gandaria City dan Kota Kasablanka di Jakarta.
Di Surabaya, siapa yang tak kenal dengan Alexander Tedja. Bermula ketika ia mendirikan perseroan pada 20 September 1982, dengan ia jeli melihat potensi sebidang tanah di Jalan Basuki Rahmat, Surabaya. Di kemudian hari, tanah tersebut ternyata bisa memberikan manfaat dan mendatangkan nilai komersial yang tinggi.
Proyek Plaza Tunjungan I yang mulai beroperasi 1986 merupakan batu loncatan untuk menapaki jalan panjang perusahaannya menjadi salah satu pemain properti berskala nasional. Pria yang saat ini berusia 67 tahun itu kemudian mengembangkan Plaza Tunjungan II dan Menara Mandiri pada 1991, serta kawasan hunian Pakuwon City pada 1994. Berbagai proyek Pakuwon  turut mewarnai pembangunan kota Surabaya.
Pada 1996, Pakuwon menyelesaikan pembangunan dan memulai operasi proyek komersial Plaza Tunjungan III, serta Sheraton Surabaya Hotel dan Tower. Pada saat yang bersamaan, Kondominium Regensi, juga resmi beroperasi.  Sehingga tercapailah cita-cita bapak dari empat anak, hasil pernikahannya dengan Melinda, tersebut dalam mewujudkan proyek superblok Tunjungan City.
Superblok tersebut merupakan proyek yang pertama kali ada di Indonesia.  Superblok Tunjungan City juga semakin lengkap dengan hadirnya Plaza Tunjungan IV, yang beroperasi pada 2002.
Lima tahun berikutnya,  saat ulang tahun perak, Pakuwon masuk Jakarta dengan mengakuisisi 83,3 persen saham PT Artisan Wahyu, pengembang superblok Gandaria City di Jakarta. Selain membangun superblok Gandaria City, perseroan kini mengembangkan proyek Kota Kasablanka.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghada, menilai kesuksesan Tunjungan Plaza, secara umum menjadi model pengembangan grup Pakuwon di Ibukota Jakarta.
Ia memperkirakan, proyek superblok Gandaria City dan Kota Kasablanka, berpotensi mendulang kocek yang menggiurkan bagi perseroan karena terletak di lokasi yang cukup baik.
"Kota Kasablanka mempunyai lokasi yang strategis, karena terletak di daerah perluasan Rasuna Said, Kuningan, yang masuk dalam kawasan pusat bisnis (central business district/CBD) Jakarta," ujarnya kepada VIVAnews, Jumat 30 November 2012.
Pakuwon Jati, kata Ali, memiliki strategi yang tepat dalam memilih lokasi proyek-proyek properti. Perseroan tidak mengincar lahan atau tanah di kawasan CBD Jakarta, yang harganya terbilang fantastis. Mereka mencari lokasi, lebih ke posisi yang dekat dengan CBD, yang tentunya harga tanahnya masih murah.
"Dengan CBD yang padat, dengan sendirinya wilayah pengembangan properti akan melebar ke wilayah-wilayah terdekatnya, sehingga dapat menciptakan center of growth baru," kata Ali.
Mungkin, dia menambahkan, kecermatan dalam memilih lokasi dan strategi yang tepat membuat perseroan, termasuk Presiden Komisaris Pakuwon Jati, Alexander, berhasil meningkatkan kekayaannya dari tahun ke tahun. Bahkan berhasil mendorongnya masuk jajaran orang kaya baru di Indonesia.
"Saat ini, Pakuwon masih fokus pada proyek yang ada, tapi infonya sedang mencari lahan baru yang berpotensi menambah pendapatan perseroan," tuturnya.
Kekayaan Alexander Tedja sepertinya akan semakin meningkat, seiring adanya perkawinan anak-anaknya dengan raja-raja bisnis di Indonesia. Dia menikahkan putri keduanya, Irene Tedja, dengan Prjna Murdaya, yang merupakan anak orang terkaya ke-19 di Indonesia versi majalah Forbes, Murdaya Poo dan Siti Hartati Murdaya.
Eddy K Sariatmadja
Jejak sukses Eddy K Sariatmadja, taipan media dengan bendera SCTV bisa dirunut sekitar empat tahun silam. Saat itu publik dikagetkan tukar guling PT London Sumatera Plantations Tbk milik keluarga Sariatmadja, dan PT Indosiar Karya Mandiri milik keluarga Salim Grup.

Keluarga Sariatmadja harus melepas mayoritas saham perusahaan perkebunan kelapa sawit dan karet, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, ke keluarga Salim untuk mendapat saham Indosiar. Meski banyak kendala, transaksi dua keluarga besar ini pun kelar.

Pada 13 Mei 2011, keluarga Sariatmadja resmi mengendalikan Indosiar, dan kini menguasai 84,7 persen saham. Ini adalah tonggak penting yang mendongkrak kekayaan keluarga Sariatmadja sehingga kini masuk peringkat ke-40 dari daftar 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes 2012.

Adalah Eddy Sariatmadja, 59, salah satu penggagas megatransaksi itu. Dia putra pertama Mohamad Soeboeb Sariatmadja, pemilik grup media SCTV. Setelah menguasai Indosiar, Forbes mencatat kekayaan Keluarga Sariatmadja kini sekitar US$730 juta, atau sekitar Rp7 triliun.

Sebenarnya, kekayaan ini bukan murni dari SCTV dan Indosiar. Keluarga Sariatmadja sudah terlebih dulu membangun usaha sejak 1983 melalui PT Elang Komputer. Sebagai anak tertua, Eddy lah yang menjadi motor penggerak bisnis ini.

Elang Komputer bergerak di bidang distribusi komputer. Lama-lama, perusahaan ini memperoleh kepercayaan menjadi distributor tunggal Compaq. Nama perusahaannya pun berubah menjadi PT Elang Mahkota Teknologi, atau kerap disebut Emtek.

Meraih gelar MSc pada 1980 dan B.Eng pada 1978 dari Universitas New South Wales, Sydney, Australia dalam bidang teknik, membuat Eddy piawai mengendalikan bisnis ini. Grup Emtek berkembang menjadi kelompok perusahaan modern dan terintegrasi. Grup ini memiliki tiga divisi utama, yaitu media, telekomunikasi dan solusi teknologi informasi, serta konektivitas.

Divisi media meliputi dua saluran televisi tidak berbayar, SCTV dan Indosiar, serta satu televisi lokal, O-Channel. Konon, SCTV bisa meraup pemirsa lebih dari 160 juta di lebih dari 240 kota di seluruh Indonesia. Kepemilikan saham keluarga Sariatmadja di stasiun ini melalui PT Omni Intivision, PT Indosiar Karya Media Tbk, dan PT Surya Citra Media Tbk.

Bisnis televisi ini lumayan gurih bagi Eddy Sariatmadja. Tengok saja PT Surya Citra Media (SCMA), perusahaan pemilik stasiun televisi SCTV. Pada 2011, perusahaan itu membukukan laba bersih Rp 382,63 miliar di semester  pertama, dengan pendapatan bersih Rp 1,115 triliun.

Dalam menjalankan konglomerasi ini, Eddy dibantu dua adik laki-lakinya, Fofo dan Darwin Sariatmadja.

Saham meroket
Sejak kabar bergabungnya Indosiar ke Grup Emtek bertiup,  saham PT Surya Cita Media Tbk pun merangkak naik. Pada awal 2009 hanya sekitar Rp300-400. Tapi pada akhir Oktober tahun itu melonjak hingga 2.650 persen, menjadi sekitar Rp11.000.

Namun, pada akhir Oktober perusahaan memecah nilai saham 1:5 menjadi sekitar Rp2.200. Tentu saja, kapitalisasi SCTV melonjak tajam sepanjang empat tahun terakhir ini, dan mengangkat kekayaan keluarga Sariatmadja yang mengendalikan 85,5 persen melalui Emtek.

Begitu juga saham Indosiar yang saat di bawah Grup Salim tidur, juga langsung bangkit. Harga saham yang hanya sekitar Rp20-25, langsung meroket menjadi Rp6.100 pada Juli 2011. Terpaksa, saham yang mahal ini dipecah menjadi seperlima pada akhir September.

Aksi korporasi besar ini juga membawa saham induk usahanya, Emtek, terus melambung. Sejak kali pertama diperdagangkan pada 12 Januari 2010 sebesar Rp720 kini telah melonjak 580 persen lebih. Tentu, rezeki bisnis televisi ini kian memperbesar pundi kekayaan Eddy Sariatmadja.

No comments:

Post a Comment