Sekali lagi ingin ditegaskan bahwa uraian ringkas yang telah dikemukakan di atas, kiranya sudah cukup memberikan pemahaman bahwa pemahaman tentang sejarah sekelompok manusia, suku bangsa, begitu pula suatu bangsa-termasuk wilayah yang dihuninya-adalah sangat perlu karena dapat memberikan makna yang tidak terukur besarnya bagi kelompok sosial atau bangsa yang bersangkutan. Namun, perlu pula dikemukakan di sini bahwa menyusun uraian sejarah yang representatif bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak hal yang dapat menjadi penghambatnya. Di antara hambatan yang banyak itu, adalah kurangnya data atau dokumen yang mampu memberikan bahan-bahan yang diperlukan untuk penyusunan sejarah, merupakan hambatan terbesar yang lazim dihadapi oleh penyusun sejarah.
Hal yang dikatakan di atas ini berlaku pula dalam upaya penyusunan sejarah Bali, terutama Sejarah Bali Kuno. Berkaitan erat dengan keadaan tersebut, maka perlu ditekankan di sini bahwa gambaran ringkas tentang Sejarah Bali Kuno yang disajikan berikut ini, memang betul-betul ringkas, bahkan pada beberapa bagiannya masih memiliki masalah yang belum terpecahkan sebagai akibat kurangnya data yang diperlukan. Kendati demikian, dalam kaitan dengan masalah pokok yang ingin diungkap dalam kitab ini, uraian ringkas tentang Sejarah Bali Kuno tersebut, tetap diharapkan mampu memberikan pemahaman yang berguna bagi pembacaannya. Mereka yang ingin mendapat sajian uraian Sejarah Bali Kuno yang lebih lengkap, sudah tentu wajib mencarinya pada sumber lain.
• Bali Sebelum Tahun 800
Tonggak awal rentangan masa Bali Kuno, adalah abad VIII. Atas dasar itu maka periode sebelum tahun 800 sesungguhnya tidak termasuk masa Bali Kuno. Gambaran umum periode tersebut diharapkan dapat menjadi landasan pemicaraan mengenai masa Bali Kuno, sehingga terwujud uraian lebih utuh. Gambaran periode sebelum tahun 800 itu meliputi masa prasejarah Bali dan berita-berita asing tentang Bali, khususnya yang berasal dari Cina.
Babakan masa prasejarah Bali pada dasarnya sesuai dengan babakan masa prasejarah Indonesia secara keseluruhan. Babakan itu meliputi tingkat-tingkat kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan (baik yang tingkat sederhana maupun tingkat lanjut), masa bercocok tanam, dan masa perundagian atau kemahiran teknik.
Peninggalan-peninggalan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana ditemukan di desa Sembiran dan pesisir timur serta tenggara Danau Batur. Peninggalan-peninggalan itu berupa kapak perimbas, kapak genggam, pahat genggam, dan serut (Soejono, 1962 : 34-43 ; Heekeren, 1972 : 46). Tahap kehidupan berikutnya, yakni masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, meninggalkan bukti-bukti di Gua Selonding, Gua Karang Boma I, Gua Karang Boma II yang terletak di perbukitan kapur Pecatu (Kabupaten Badung). Bukti-bukti itu antara lain berupa alat-alat dari tulang dan tanduk rusa, serta sisa-sisa makanan, yakni kulit-kulit kerang dan siput laut, serta gigi babi rusa (Sutaba, 1980 : 15). Bukti-bukti yang serupa ditemukan juga di Goa Gede Nusa Penida (Suastika, 2005 : 30-31).
Pada masa bercocok tanam, jumlah penduduk Bali telah bertambah dan persebarannya semakin meluas. Peninggalan benda-benda budaya mereka ditemukan di Palasari, Pulukan, Kediri, Kerambitan, Bantiran. Kesiman, Ubud, Payangan, Pejeng, Selulung, Selat, Nusa Penida, dan beberapa desa di Kabupaten Buleleng. Benda-benda itu pada umumnya berupa alat-alat dan perkakas yang digunakan sehari-hari, misalnya kapak dan pahat batu persegi empat panjang. Artefak-artefak tersebut di dapat sebagai temuan lepas, dalam arti, bukan merupakan hasil ekskavasi yang sistematik (Sutaba, 1980 : 19 ; cf. Suastika, 1985 : 30-33).
Masa perundagian merupakan babakan terakhir dari masa prasejarah. Benda-benda temuan dari masa ini antara lain berupa nekara (di Pejeng, bebitra, dan Peguyangan), tajak, gelang kaki dan tangan, cincin, anting-anting, ikat pinggang, dan pelindung jari tangan (Sutaba, 1980 : 23-25). Peninggalan-peninggalan lain yang berasal dari masa ini adalah cetakan nekara dari batu di desa Manuaba dan sejumlah sarkofagus yang ditemukan di desa Nongan, Bajing, Bedulu, Mas, Tegallalang, Plaga, Ambyarsari, Poh Asem, Tigawasa, dan Cacang (Sutaba, 1980 : 25-26).
Telah diketahui bahwa sarkofagus adalah salah satu sarana atau wadah penguburan. Wadah penguburan yang lain ada pula berupa tempayan. Tradisi penguburan dengan sarkofagus dan tempayan muncul bersamaan dengan tradisi megalitik di Indonesia, termasuk di Bali. Penguburan dengan tempayan adalah cara penguburan sekunder, yakni penguburan yang dilakukan setelah mayat lebih dahulu dikuburkan di tempat lain (penguburan primer). Dapat ditambahkan bahwa di situs prasejarah Gilimanuk ditemukan pula cara penguburan sekunder tanpa menggunakan wadah. Di situ, pada saat penguburan primer, mayat orang dewasa dan kanak-kanak dikubur dengan posisi membujur atau terlipat. Kemudian, tulang-tulangnya yang tertentu dikumpulkan untuk dikubur kembali di dalam tanah (penguburan sekunder) tanpa menggunakan wadah (Soejono, 1977 : 191-192, 223-227). Sarkofagus dan peninggalan-peninggalan lain yang berasal dari tradisi megalitik kian hari semakin banyak ditemukan. Peninggalan-peninggalan itu antara lain berupa bangunan suci yang terdiri atas susunan batu, menhir, teras berundak (di Selulung, Batukaang, Tenganan Pegringsingan, Sembiran, dan Trunyan), tahta batu, arca menhir, lesung batu, palung batu, dan batu dakon (di Gelgel), serta arca-arca sederhana yang melambangkan nenek moyang ditemukan di Poh Asem, Depaa, dan Pura Besakih di dea Keramas (Covarrubias, 1972 : 26 ; 167-168 ; Sutaba, 1980b : 30 ; 1982 : 107-108 ; 1995 : 88-93 ; Mahaviranata, 1982 : 119-127 ; Oka, 1985 : 118-129).
Kemampuan menghasilkan benda-benda budaya yang telah disebutkan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan aspek-aspek sosial ekonomi, sosial budaya (termasuk religi), teknologi, dan sebagainya yang dicapai masyarakat prasejarah. Beberapa hal mengenai aspek-aspek itu dikemukakan berikut ini.
Para ahli tampaknya sepakat menyatakan bahwa kehidupan bercocok tanam merupakan “tonggak sejarah” kemajuan peradaban umat manusia yang sangat penting. Di antara mereka, bahkan ada yang menyatakan bahwa perubahan ke tahap kehidupan itu merupakan revolusi pertama dan sangat besar dalam sejarah peradaban umat manusia. Menurut H.R. van Heekeren, nenek moyang pendukung kebudayaan ini di Indonesia, termasuk yang di Bali, sudah menyebar dari tanah daratan Asia Tenggara. Mereka memasuki wilayah kepulauan lebih kurang pada tahun 1500-1000 sebelum masehi, setelah menempuh perjalanan panjang melalui darat, sungai, dan laut (1955 : 40-42).
Kehidupan bercocok tanam mendorong mereka bertempat tinggal tetap dan membangun perkampungan dengan organisasi yang semakin teratur. Mereka telah mengenal perdagangan, paling tidak dengan sistem tukar barang-barang in natura. Kehidupan religi mereka semakin berkembang. Pelaksanaan upacara-upacara berlandaskan konsep magis (sympathic magic) menjelang kegiatan berburu (Kosasih, 1985 : 159), merupakan salah satu hal yang mengawali perkembangan kehidupan religi mereka. Mereka juga telah meyakini adanya “kehidupan” setelah kematian, dalam arti, mereka meyakini bahwa arwah nenek moyang mempunyai kemampuan mengatur, melindungi, dan memberkahi orang-orang yang masih hidup, atau sebaliknya menghukum keturunannya jika ternyata berbuat salah. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan perlakuan masyarakat terhadap jasad orang yang meninggal atau upacara-upacara penguburan yang diselenggarakan.
Kemajuan dalam pelbagai aspek kehidupan yang dicapai pada masa bercocok tanam berkembang semakin subur dan cepat pada masa perundagian, yakni yang merupakan tahap akhir masa prasejarah dan sekaligus merupakan saat-saat penjelang masa sejarah Bali. Dalam bidang teknologi, penduduk Bali pada waktu itu2 telah mampu melakukan peleburan bijih-bijih logam, pengecoran logam dalam rangka pembuatan suatu benda,3 serta menghiasi benda-benda ciptaannya dengan motif-motif tertentu. Kemampuan-kemampuan itu menunjukkan betapa tingginya tingkat kemajuan dalam bidang piroteknologi (pyrotechnology) yang telah dicapai.4 Hal itu dikatakan demikian, karena semua pekerjaan tersebut memerlukan panas dengan temperatur yang sangat tinggi.
Jumlah penduduk yang semakin bertambah memungkinkan desa-desa tumbuh semakin banyak dan berkembang semakin pesat. Kehidupan bergotong royong kian diperlukan, diversifikasi dalam pelbagai aspek kehidupan, baik yang berkenaan dengan mata pencaharian hidup maupun tugas dan fungsi seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat, kian berkembang pula. Kelompok-kelompok sosial dengan keterampilan tertentu, misalnya yang terampil dalam bidang arsitektur, seni pahat, seni tabuh, dan seni tari, semakin dibutuhkan oleh masyarakat dan serta merta mempercepat terwujudnya masyarakat yang heterogen. Lebih jauh, mudah dipahami bahwa dalam masyarakat heterogen yang telah digambarkan terdapat pelbagai kepentingan pihak-pihak tertentu yang perlu dikoordinasikan agar tercapai tujuan hidup bermasyarakat secara optimal. Keadaan ini menuntut kehadiran pemimpin atau pemimpin-pemimpin yang berwibawa. Dengan kata lain, tokoh pemimpin, yang mungkin pada mulanya sebagai primus inter pares, menjadi semakin penting. Hal itu sekaligus mencerminkan bahwa masyarakat pada waktu itu telah mengenal stratifikasi sosial, walaupun dalam wujud yang masih bersifat embrio. Keberadaan hal itu, selain dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari adanya pemimpin tertinggi dan kepala masing-masing kelompok sosial, sistem penguburan juga memberikan petunjuk yang sangat berarti. Tampaknya, hanya orang-orang yang semasa hidupnya menempati kedudukan terhormat saja dikubur dalam sarkofagus atau tempayan. Sebaliknya, mayat orang kebanyakan dikubur secara biasa dalam tanah.
Hal lain yang perlu dikemukakan ialah masalah religi. Pelbagai peninggalan tradisi megalitik, misalnya tahta batu, dolmen, menhir, arca yang bercorak megalitik, dan hiasan kedok muka pada beberapa sarkofagus mencerminkan bahwa perkembangan religi pada masa itu telah maju. Pemujaan terhadap arwah leluhur yang bersemayam di puncak-puncak gunung atau tempat-tempat suci lain dan kekuatan-kekuatan alam tertentu yang diyakini dapat mempengaruhi kehidupan mereka berkembang semakin subur, Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari benda-benda peninggalan tradisi megalitik itu sampai dewasa ini masih disucikan dan digunakan sebagai media memohon kesejahteraan masyarakat (Sutaba, 1995 : 88).
Hal yang menarik perhatian pula ialah sejumlah tahta batu diberikan nama khas Bali, misalnya Pelinggih Bhatara Puseh, Bhatara Dalem, Jero Wayan, Jero Nongan, Pesimpangan Batu Belig, dan Pesimpangan Tamba Waras (Kusumawati, 1989 : 107-222 ; Sutaba, 1995 : 101-102). Lebih jauh mengenai kekhasan Bali, R.P. Soejono menunjuk pola hias kedok muka pada beberapa sarkofagus serta sistem kubur sekunder dengan tata letak bagian-bagian rangka yang sangat teratur dan betul-betul tidak ada persamaannya di tempat lain. Dikatakannya bahwa hiasan kedok muka itu, selain berfungsi dekoratif, juga melambangkan kekuatan gaib yang berfungsi melindungi roh orang yang meninggal dari gangguan roh-roh jahat (1977 : 30-169 ; 246-270 ; 1993 : 7). Selain itu, beliau juga terkesan dengan pahatan yang menggambarkan alat vital wanita dan kerbau pada sarkofagus yang ditemukan di Ambiarsari dan Munduk Tumpeng. Dalam kaitan dengan pahatan-pahatan tersebut, khususnya yang terdapat pada sarkofagus di Munduk Tumpeng, beliau menyatakan bahwa hal itu memperkuat pemahaman mengenai fungsi sarkofagus tipe itu, yakni untuk menopang pencapaian tujuan hidup setelah seseorang lepas dari lingkaran kelahiran kembali (rebirth). Roh orang itu akan diangkut oleh kerbau yang berfungsi sebagai kendaraan bagi roh orang yang meninggal agar sampai di alam arwah dengan selamat dan cepat. Dengan kata lain, sarkofagus Munduk Tumpeng memiliki makna ganda, yakni kelahiran kembali dan kehadiran dengan selamat di alam para leluhur (19… : 183).
Mudah dipahampi bahwa sejalan dengan perkembangan atau kemajuan dalam bidang religi akan muncul pula tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan khusus dalam bidang spiritual, misalnya para pemimpin upacara-upacara magis-religius. Kedudukan mereka terhormat dan peranannya sangat besar. Kedudukan dan peranannya seperti itu menyebabkan mereka menjadi tokoh-tokoh yang amat disegani oleh masyarakat (cf. Bertling, 1974 : 11-15).
Gambaran di atas diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa manusia Bali pada akhir masa perundagian, atau menjelang masa sejarah, telah mencapai tingkat kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, religi, teknologi, dan sebagainya yang relatif maju dan kompleks. Dengan bekal itulah, mereka menyongsong kehadiran pengaruh budaya-budaya asing berikutnya, yang sebagaimana akan diketahui, dengan arus terkuat berasal dari daratan India.
Keterangan-keterangan tentang Bali yang terdapat dalam sumber-sumber Cina perlu dikemukakan pula di sini. Nama-nama dalam kitab Cina, yang oleh sementara orang pernah diidentifikasikan sebagai Bali, adalah P’o-li, Dva-pa-tan, dan Mali. Toponim P’o-li dikenal sejak pemerintahan dinasti Liang (502-556). P’o-li dikatakan terletak di sebuah pulau di sebelah tenggara Kanton Groeneveldt, 1960 : 80). Nama P’o-li juga terbaca dalam kitab sejarah dinasti Sui 9581-617). Di sana disebutkan bahwa jika seseorang berlayar dari Gau-chi (Annam Utara) ke arah selatan, maka akan sampai di Chih-tu, kemudian di Tan-tan, dan akhirnya di P’o-li (Groeneveldt, 1960 : 82), Keterangan seperti itu terbaca pula dalam kitab sejarah baru dinasti T’ang (618-908), dengan sedikit tambahan yang menyatakan bahwa di sebelah timur P’o-li terletak Lu-cha dengan adat-istiadat sama dengan P’o-li (Groenveldt, 1960 : 83-84 ; Slametmulyana, 1981 : 126).
Informasi tentang P’o-li yang berbeda jika dibandingkan dengan keterangan-keterangan di atas terdapat dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang (618-908). Penulis kitab itu mencatat bahwa P’o-li merupakan batas sebelah timur kerajaan Ho-ling. Lebih jauh, Ho-ling (Ka-ling) dikatakan terletak di sebuah pulau di lautan sebelah selatan. Di sebelah timur Ho-ling terletak P’o-li, di sebelah barat To-po-teng, di sebelah utara Chen-la (Kamboja), dan di sebelah selatan adalah lautan (Groenveldt, 1960 : 12 cf. Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Informasi tentang P’o-li yang berbeda jika dibandingkan dengan keterangan-keterangan di atas terdapat dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang (618-908). Penulis kitab itu mencatat bahwa P’o-li merupakan batas sebelah timur kerajaan Ho-ling. Lebih jauh, Ho-ling (Ka-ling) dikatakan terletak di sebuah pulau di lautan sebelah selatan. Di sebelah timur Ho-ling terletak P’o-li, di sebelah barat To-po-teng, di sebelah utara Chen-la (Kamboja), dan di sebelah selatan adalah lautan (Groenveldt, 1960 : 12 cf. Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Sesungguhnya, identifikasi P’o-li dengan Bali sangat diragukan, bahkan tidak disetujui oleh kebanyakan ahli. Identifikasi P’o-li dengan Bali pernah dikemukakan oleh P. Pelliot. Akan tetapi, ditambahkannya pula bahwa P’o-li mungkin identik dengan Kalimantan. Pendapat yang menyatakan bahwa P’o-li terletak di Kalimantan, atau sama dengan Kalimantan, dikemukakan juga oleh E. Bretschneider dan Dato Sir Roland Braddel (Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Ahli-ahli sebagian besar mengemukakan bahwa P’o-li terletak di wilayah Sumatra. Menurut G. Schlegel, P’o-li identik dengan Asahan di pantai timur laut Sumatra Utara, dan menurut W.P. Groeneveldt, P’o-li berada di pantai utara Sumatra. Hsu Yu-ts’iao mengindentifikasi negeri P’o-li dengan Pantai di pantai timur laut Sumatra dan V. Obdeyn menyatakan P’o-li terletak di pulau Bangka. Menurut J.L. Moens, P’o-li pada aad VI sama dengan Palembang, Sedangkan P’o-li pada abad VII adalah untuk menyatakan sebuah kerajaan yang terletak di Jawa. Dapat ditambahkan bahwa menurut G.E. Gerini, P’o-li terletak di pantai barat Semenanjung Malaya (Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Pendapat-pendapat yang telah dikemukakan cenderung menyatakan bahwa P’o-li merupakan kerajaan besar, atau paling tidak terletak di wilayah yang luas. Kecenderungan itu sesuai dengan gambaran yang di dapat dari kitab sejarah dinasti Sui. Menurut penulis kitab itu, panjang kerajaan P’o-li dari timur ke barat adalah selama empat bulan perjalanan, dan dari utara ke selatan selama 45 hari perjalanan (Groeneveldt, 1960 : 82). Apabila memang benar P’o-li merupakan kerajaan besar, maka tidak sesuai dengan Bali yang relatif kecil. Toponim yang lebih cocok diidentifikasikan dengan Bali, menurut bagian lain pendapat Groeneveldt, adalah Dva-pa-tan yang terbaca dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang. Negeri itu dikatakan terletak di sebelah selatan Kamboja dalam jarak dua bulan pelayaran, atau di sebelah timur Ho-ling (Ka-ling). Adat istiadatnya sama dengan Ho-ling. Di sana, tiap bulan padi sudah dapat dituai, dan penduduk menulis pada daun rontal. Jika ada orang mati, mayatnya diberi perhiasan emas, ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar disertai dengan bau-bauan yang harum (Groeneveldt, 1960 : 12-58). Di dalam kitab Chu-fan-chih bagian Su-chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali. Lebih jauh, penulis kitab Yao-i-chin-lue mencatat nama P’eng-li yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Pali atau Mali (Sumadio, dkk., 1990 : 282).
• Bali Tahun 800-882
Dokumen tertua ditemukan di Bali, dalam hal ini di Pejeng, ialah prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta pada tablet-tablet tanah liat yang semula tersimpan di dalam stupika-stupika (stupa-stupa kecil) dari tanah liat. Prasasti-prasasti itu berupa mantra-mantra agama Buddha yang terkenal dengan nama ye-te-mantra. Prasasti-prasasti sejenis ini ditemukan juga di Pura Pegulingan Basangambu, Tampaksiring dan situs Kalibukuk Buleleng. Bunyi teksnya sebagai berikut.
“Ye dharmā hetu-prabhawā
Hetun tesān tathāgato hyawadat
Tesāñca yo nirodha
Ewamwādi mahāśramanah” (Goris, 1948 : 3).
Artinya :
“Keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh Tathagata (Buddha), Tuan mahatapa itu telah menerangkan juga apa yang harus diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu”5
Mantra sejenis itu tertulis pula di atas pintu Candi Kalasan (di Jawa Tengah) yang berasal dari abad VIII atau tahun 700 Śaka (778). Berdasarkan kesamaan tipe aksara mantra-mantra di kedua tempat itu, maka mantra-mantra agama Buddha di Pejeng diduga berasal dari abad VIII pula (Goris, 1949 : 3-4 ; cf. Budiastra, 1980/1981 : 36-38).
Di desa Pejeng ditemukan pula fragmen-fragmen prasasti berbahasa Sansekerta dengan huruf Bali Kuno. Keadaannya sudah sangat tua. Di antara bagian-bagian yang masih terbaca antara lain manuśasana… (pada fragmen d), …mantramārgga… (pada fragmen g), …śiwas (…) ddh … (pada fragmen h), yang secara lengkap kiranya berbunyi … śiwasiddhanta …, dan …sakalabhuwanakrt … (pada fragmen k), yakni nama lain untuk Wiśwakarman. Hal-hal itu memberi petunjuk bahwa isi prasasti tersebut pada umumnya bersifat keagamaan, dalam hal ini agama Hindu sekte Śiwa ; bahkan agama itu rupanya telah bersifat mantris atau tanris (Stutterheim, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen tersebut di atas tidak ada yang berangka tahun. Stutterheim, setelah melakukan studi komparatif antara huruf fragmen-fragmen prasasti itu dengan huruf prasasti-prasasti di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dapat menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu ada yang berasal dari masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX (Stutterheiom, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen tersebut di atas tidak ada yang berangka tahun. Stutterheim, setelah melakukan studi komparatif antara huruf fragmen-fragmen prasasti itu dengan huruf prasasti-prasasti di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dapat menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu ada yang berasal dari masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX (Stutterheim, 1929 : 59). Jika dugaan itu benar, maka berarti, di daerah Pejeng (Gianyar) pada waktu itu, agama Buddha dan agama Hindu sekte Siwa telah mempunyai pemeluk masing-masing, yang hidup saling menghormati dengan penuh toleransi.
Rentangan waktu tahun itu disebut pula periode Singhamandawa, karena hampir seluruh prasasti dari periode itu dikeluarkan di Panglapuan (panglapwan) di Singhamandawa. Pada bagian awal periode tersebut, yaitu tahun 882-914, terbit tujuh buah prasasti berbahasa Bali kuno, yakni prasasti Sukawana AI (804 Saka), Bebetin AI (818 Saka), Trunyan AI (833 Saka), Trunyan B (833 Saka), Bangli, Pura Kehen A, Gobleg, Pura Desa I (836 Saka), dan Angsri A. Ketujuh prasasti itu tidak memuat nama raja atau pejabat yang mengeluarkannya (Goris, 1954a : 53-62).
Prasasti pertama pada intinya berisi tentang pengembalian fungsi kesucian ulan (semacam bangunan suci keagamaan) di wilayah perkebunan di bukit Citamani (sekarang Kintamani). Tampaknya, ulan itu sempat digunakan sebagai tempat lalu-lalang bagi orang-orang yang pulang pergi ke kebun atau sawah ladangnya. Kebijakan yang ditempuh penguasa ialah menyuruh Senapati danda, bhiksu Siwakangsita, Siwanirmala, dan Siwaparjna membangun pertapaan yang dilengkapi pasanggrahan (satra) di bagian lain bukit Cintamani. Selanjutnya, orang-orang yang lalu-lalang di daerah itu agar tidak lagi menggunakan jalan setapak yang melewati kompleks ulan melainkan melalui jalan di kompleks pertapaan. Batas-batas wilayah pertapaan ditetapkan. Prasasti ini juga memuat ketetapan pembebasan para bhiksu dari tugas dan pajak-pajak tertentu, serta aturan pembagian harta warisan. Berdasarkan prasasti itu, dapat diketahui bahwa di bawah pucuk pemerintahan paling sedikit ada empat jabatan tinggi kerajaan, yaitu sarbwa, dinganga, nayakan, makarun, dan manuratang ajna. Jabatan-jabatan ini tetap bertahan selama periode Singhamandawa, yakni ketika prasasti-prasasti dikeluarkan di panglapuan di Singhamandawa (882-942). Setelah itu, jabatan-jabatan tinggi kerajaan rupanya semakin meningkat jumlahnya.
Prasasti Bebetin AI berkenaan dengan desa (banwa) bharu, atau secara lebih lengkap kuta di banwa bharu, yang bermakna desa bharu yang berbenteng. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa pada suatu ketika desa itu diserang atau dirusak oleh perampok. Banyak penduduk mati terbunuh atau terluka dan banyak pula yang mengungsi ke desa-desa tetangga. Setelah keadaan aman, merekapun kembali ke desa bharu. Demi kelengkapan desa, khususnya dalam bidang spiritual, raja menyuruh pejabat nayakan pradhana yaitu kumpi ugra dan bhiksu Widya Ruwana untuk memimpin pembangunan kuil Hyang Api, dengan batas-batas wilayah yang telah ditentukan. Prasasti ini memuat pula aturan-aturan pembagian harta warisan dan ketetapan mengenai tugas atau kewajiban serta hak-hak penduduk yang berdiam di sana.
Desa bharu rupanya terletak di pesisir pantai utara Pulau Bali,6 dan merupakan salah satu pelabuhan yang ada pada waktu itu. Dugaan terakhir ini didasarkan atas adanya ketentuan yang mengatur saudagar-saudagar dari luar yang berdagang di sana dan perahu-perahu yang mengalami kerusakan termuat dalam prasasti itu. Bagian teks prasasti Bebetin AI mengenai hal itu, sebagaimana terbaca pada lembaran Iib.3-4 berunyi sebagai berikut.
”… anada tua banyaga turun ditu, paniken (baca : paneken) di hyangapi, parunggahna, ana mati ya tua banyaga, perduan drbyana prakara, ana cakcak lancangna kajadyan papagerrangen kuta …” (Goris, 1954a : 55).
Artinya :
”…Jika ada saudagar berlabuh (turun) di sana, barang-barang persembahannya supaya dihaturkan kepada kuil Hyang Api, (jika) ada mati (di antara) saudagar itu, segala harta miliknya agar dibagi dua, (jika) perahunya rusak, supaya dijadikan pagar untuk memperkuat benteng, …”
Isi kedua prasasti berikutnya, yaitu prasasti Trunyan AI dan Trunyan B, khususnya pada lembaran Ib-IIa.4, pada dasarnya sama. Keduanya mengenai izin yang diberikan kepada penduduk desa Turunan untuk mendirikan bangunan suci bagi Bhatara Da Tonta. Selanjutnya, penduduk wajib membayar iuran dan melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu untuk keperluan bangunan suci itu. Sebagai imbangannya, mereka dibebaskan dari pajak-pajak serta kewajiban-kewajian tertentu yang lazim ditunaikan bagi raja.
Pada bagian lain prasasti Trunyan AI dinyatakan bahwa jika ada utusan raja melakukan persembahyangan di sana pada bulan Asuji, utusan itu wajib diberikan makanan dan minuman. Prasasti itu menyinggung pula upacara di kuil Guha Mangurug Jalalingga serta kewajiban-kewajiban penduduk desa Hasar, Halang Guras, Pungsu, dan Panumbahan dalam kaitan dengan upacara-upacara di kuil Sang Hyang di Turunan (Bhatara Da Tonta) dan Guha Mangurug Jalalingga.
Bagian lebih lanjut, prasasti Trunyan B antara lain memuat perihal iuran yang wajib dibayar oleh penduduk desa Air Rawang di sebelah timur teluk Danau Batur untuk keperluan upacara Sang Hyang di Turunan. Di sana disebutkan pula bahwa setiap bulan Bhadrawada (Agustus-September), Bhatara Da Tonta harus disucikan dengan air Danau Batur, kemudian dibedaki kuning, serta dihiasi dengan cincin bepermata dan anting-anting. Petugas yang berwenang melaksanakan hal-hal itu adalah Sahayan Padang dari desa Air Rawang. Pada bagian akhir prasasti Trunyan B terbaca kalimat kutukan yang ringkas (Goris, 1954a : 58-59).
Prasasti Pura Kehen A berkenaan dengan bangunan suci (dang udu) Hyang Karimama yang berada di desa Simpat Bunut. Bangunan suci itu tampaknya sempat kurang terurus. Dalam rangka memulihkan fungsinya, raja menugasi bhiksu Siwarudra, Anantasuksma, dan Prabhawa serta penduduk desa Simpat Bunut agar melakukan perbaikan serta perluasan (pamasamahyan) pertapaan di Hyang Karimama itu. Batas-batasnya kemudian ditetapkan. Para bhiksu yang berdiam di sana walaupun pada prinsipnya wajib tunduk pada aturan yang berlaku, juga tetap mendapat hak istimewa (previlise), misalnya para bhiksu tidak boleh diwajibkan ikut bergotong royong mengangkut kayu dan bambu, tidak boleh dilibatkan dalam masalah-masalah jual beli, pemungutan pajak, dan pencelupan benang. Dalam prasasti itu juga ditentukan bahwa pertapaan di Hyang Karimama dibolehkan memiliki cabang di desa lain, asalkan tidak lebih dari 20 buah (Goris, 1954a : 60-61).
Penguasa tertinggi pada periode Singhamandawa memberikan perhatian sangat besar terhadap bidang spiritual keagamaan. Hal itu dapat diketahui antara lain berdasarkan isi kelima prasasti yang telah dibicarakan dan isi prasasti Gobleg, Pura Desa I yang berangka tahun 836 Saka. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa bangunan suci di Bukittunggal yang bernama Indrapura, yang berada dalam wilayah desa Air Tabar, agar diperbaiki dan diperluas sesuai dengan rencana. Raja menugasi sejumlah tokoh untuk memimpin pelaksanaannya. Prasasti ini juga memuat aturan pembagian harta warisan dan keringanan dari tugas-tugas tertentu yang didapat oleh penduduk.
Prasasti Angsri A keadaannya sangat aus. Dari bagian yang terbaca dapat diketahui antara lain nama bangunan suci Hyang Api dan Hyang Tanda. Kedua bangunan suci itu mendapat persembahan bagian harta warisan keluarga yang putus keturunan (Goris, 1954a : 62).
Berdasarkan hasil pembacaan terhadap prasasti-prasasti yang berasal dari masa Bali Kuno selanjutnya dapat diketahui dua puluh tokoh raja atau ratu dan seorang rajapatih yang pernah menduduki pucuk pemerintahan di Bali. Di antaranya, ada yang memerintah sendiri dan ada pula yang memerintah bersama-sama dengan tokoh lain, yakni suami, permaisuri, atau ibu surinya. Urutan pemerintahan mereka secara kronologis dapat dilihat pada lampiran 1 karya tulis ini dan uraian ringkas mengenai masa pemerintahan masing-masing pucuk pemerintahan itu disajikan sebagai berikut.
Nama raja Bali Kuno yang tercantum pertama kali dalam prasasti adalah Sri Kesari Warmadewa. Prasasti-prasasti atas nama raja itu, atau yang dapat diidentifikasikan demikian, adalah prasasti Blanjong (835 Saka),dan prasasti Penempahan,8 dan prasasti Malet Gede (835 Saka)9. Keadaan ketiga prasasti itu telah aus. Banyak bagiannya tidak terbaca lagi secara utuh, termasuk nama raja yang disebut di dalamnya. Bagian nama raja yang terbaca pada isi A.4 prasasti Blanjong adalah … sri kesari … sedangkan pada sisi B.13 terbaca … sri kesariwarmma (dewa) (Goris, 1954a : 64-65). Bagian nama raja dalam prasasti Penempahan yang masih terbaca adalah … sri ke … dan pada prasasti Malet Gede berbunyi … sri kaesari … (Kartoatmodjo, 1977 : 150-151 ; cf. Damais, 1959 : 964).
Dalam jajaran raja-raja Bali Kuno, Sri Kesari Warmadewa merupakan raja pertama yang menggunakan unsur warmadewa sebagai bagian gelarnya. Berdasarkan kenyataan itu maka dapat dikatakan bahwa Sri Kesari merupakan cikal-bakal dinasti (vamsakara) Warmadewa di Bali. Raja-raja dari dinasti ini, sebagaimana akan diketahui, berkuasa di Bali paling sedikit selama satu abad, yakni sejak awal abad X sampai dengan awal abad XI.
Hal lain yang menarik perhatian ialah ketiga prasasti tersebut pada hakikatnya menggambarkan kemenangan raja Sri Kesari terhadap musuh-musuhnya. Sebagai akibat prasasti-prasasti itu telah aus, hanya dua di antara musuh-musuh itu dapat diketahui, yakni di Gurun dan di Suwal (Goris, 1954a : 65). Perlu ditambahkan bahwa lokasi Gurun dan Suwal sampai dewasa ini belum diketahui secara pasti. Di antara para ahli, ada yang berpendapat bahwa Gurun mungkin sama dengan Lombok dewasa ini. Pendapat lain menyatakan bahwa Gurun mungkin identik dengan Nusa Penida (Goris, 1954b : 243 ; cf. Kartoatmodjo, 1977 : 152).
Raja Sri Kesari Warmadewa diganti oleh Sang Ratu Sri Ugrasena. Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942). Masa pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan masa pemerintahan Pu Sindok di Jawa Timur (Goris, 1948 : 5). Ada sebelas prasasti, semuanya berbahasa Bali Kuno, dikeluarkan oleh raja Ugrasena, yakni prasasti-prasasti Banjar Kayang (837 Saka), prasasti Les, Pura Bale Agung (837 Saka), Babahan I (839 Saka), Sembiran AI(844 Saka), Pengotan AI (846 Saka), Batunya AI (855 Ska), Dausa, Pura Bukit Indrakila AI (857 Saka), Serai AI (858 Saka), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI (864 Saka), prasasti Tamblingan Pura Endek I (-), dan Gobleg, Pura Batur A (Goris, 1954a : 8-11 ; 63-72).
Berdasarkan prasasti-prasasti itu dapat diketahui sejumlah kebijakan penting dilakukan oleh raja Ugrasena. Beberapa di antaranya dikemukakan berikut ini. Keringanan dalam pembayaran pajak diberikan kepada desa Sadungan dan Julah, karena desa itu belum pulih benar dari kerusakan akibat diserang perampok. Dengan alasan sama, bahkan desa Kundungan dan Silihan dibebaskan dari kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja juga berkenan menyelesaikan perselisihan antara para wajib pajak di wilayah perburuan dengan pegawai pemungut pajak, yakni dengan menetapkan kembali secara jelas jenis dan besar pajak yang mesti dibayar oleh penduduk (Goris, 1954a : 63-68 ; 70-71).
Berkaitan erat dengan aspek kehidupan beragama, Raja Ugrasena memberikan izin kepada penduduk desa Haran dan Parcanigayan untuk memperluas pasanggrahan dan bangunan suci Hyang Api yang terletak di desanya masing-masing. Keberadaan penduduk desa Tamblingan sebagai jumpung Waisnawa ”sekte (?) Waisnawa”, serta kaitannya dengan bangunan suci Hyang Tahinuni, juga mendapat perhatian raja. Prasasti Gobleg, Pura Batur A yang memuat hal itu teksnya tidak lengkap sehingga rincian ketetapan mengenai sekte tersebut tidak sepenuhnya dapat diketahui (Goris, 1954a : 68-72).
Dapat ditambahkan bahwa pada tahun 839 Saka (917), sebagaimana tercatat dalam prasasti Babahan I yang tersimpan di desa Babahan (Tabanan), raja Ugrasena mengadakan perjalanan ke Buwunan (sekarang Bubunan) dan ke Songan 10. Dalam kunjungan itu, raja memberikan izin kepada kakek (pitamaha), di Buwunan dan di Songan melaksanakan upacara bagi orang yang mati secara tidak wajar, jika saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan batas-batas wilayah pertapaan yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.
Setelah mangkat, diduga Ugrasena dicandikan di Air Madatu dan dikenal dengan sebutan sang ratu siddha dewata sang lumah di air madatu (cf. Goris, 1954b : 211). Epitet ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra Warmadewa yang ditemukan di desa Kintamani. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa raja Tabanendra, bersama-sama dengan permaisurinya, menyuruh sejumlah tokoh agar memugar atau memperluas pasanggarahan di Air Mih yang dibangun pada masa pemerintahan raja dengan epitet tersebut di atas (Goris, 1954a : 76).
Jika epitet itu memang benar untuk Raja Ugrasena setelah mangkat, maka tindakan raja dan permaisurinya tersebut di atas menunjukkan betapa hormatnya mereka kepada Ugrasena. Lebih lanjut, hal itu dapat digunakan sebagai dasar pendapat yang menyatakan bahwa walaupun Sang Ratu Sri Ugrasena tidak secara eksplisit menggunakan bagian gelar warmadewa, baginda pun tergolong anggota dinasti Warmadewa.
• Bali Tahun 955-1343
Pada periode ini diketahui sejumlah raja yang pernah memerintah Bali, tetapi belum ditemukan nama ibu kota yang menjadi pusat pemerintahannya. Raja pertama pada periode ini adalah Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama-sama dengan permaisurinya, yaitu Sri Subhadrika Dharmadewi, tahun 877-889 Saka (955-967) Mereka menggantikan raja Ugrasena.
Ada empat prasasti yang memuat pasangan gelar suami-istri itu, yakni prasasti-prasasti Manik Liu AI (877 Saka), Manik Liu BI (877 Saka), Manik Liu C (877 Saka), dan Kintamani A (899 Saka) 11. Keempat prassati itu tidak lengkap. Tiga yang pertama, selain ditemukan di tempat yang sama juga berkenaan dengan masalah pokok yang sama, yaitu pemberian izin oleh raja kepada Samgat Juru Mangjahit Kajang, dan anak bandut yang berdiam di desa Pakuwwan dan Talun (Goris, 1954a : 74-75). Mereka dibebaskan dari tugas bergotong royong dan pelbagai pajak, kecuali pajak rot. Isi pokok prasasti Kintamani A, yang menurut Goris berkaitan dengan prasasti Kintamani B, telah disinggung di depan, yakni berkenaan dengan perintah Raja Tabanendra Warmadewa kepada sejumlah tokoh agar menangani pemnugaran pesanggarahan di Air Mih. Dalam Prasasti Kintamani B disebutkan pula bahwa pasanggrahan di Dharmarupa merupakan cabang pasanggrahan di Air Mih (Goris, 1954a : 77).
Raja berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja ini dapat diketahui dari sebuah prasasti, yaitu prasasti Manukaya (882 Saka) (Stutterheim, 1929 : 68-69 ; Goris 1954a : 75-76 ; Damais, 1955 : 224-225). Dalam prasasti itu dimuat perintah raja untuk memugar Tirtha di (Air) Mpul (sekarang Tirtha Empul di Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat derasnya aliran air. Setelah pemugaran itu, diharapkan kedua telaga yang ada menjadi kuat dan bertahan lama.
Hal yang menarik perhatian ialah ternyata prasasti Manukaya terbit pada masa pemerintahan Tabanendra Warmadewa bersama permaisurinya. Masalah ini belum dapat dijelaskan dengan bukti-bukti yang akurat. Berkenaan dengan hal itu, L.C. Damais menegaskan bahwa pembacaan angka tahun 882 Saka sudah benar (Goris, 1965 : 180). Untuk sementara, yang dapat dikemukakan di sini ialah terbitnya “prasasti sisipan” itu tampaknya berlangsung dalam suasana damai, dalam arti tidak dilatarbelakangi oleh sifat permusuhan, peristiwa kudeta, atau semacamnya. Dugaan itu dikemukakan karena belum terdapat petunjuk adanya perselisihan internal di antara anggota dinasti yang telah berkuasa.
Pada tahun 897 Saka muncul raja yang bergelar Sang Ratu Sri Janasadhu Warmadewa. Gelar ini terbaca dalam prasasti Sembiran AII (897 Saka) (Brandes, 1889 : 46-48 ; Goris, 1954a : 77-79 ; Damais, 1955 : 226). Itulah satu-satunya prasasti atas nama baginda. Prasasti tersebut kembali mengenai desa Julah kuno. Menurut prasasti itu, penduduk Julah yang kembali dari pengungsiannya diizinkan memperbaharui isi prasastinya. Selanjutnya, ketentuan dalam prasasti itu harus dipatuhi dan jangan diubah-ubah lagi. Dalam prasasti itu antara lain ditetapkan bahwa jika ada kuil, pekuburan, pancuran, permandian, prasada, dan jalan raya di wilayah itu mengalami kerusakan, supaya diperbaiki serta dibiayai secara bergilir oleh penduduk desa Julah, Indrapura, Buwundalm, dan Hiliran. Jika pertapaan di Dharmakuta diserang oleh perampok, supaya seluruh penduduk Julah keluar rumah lengkap dengan senjata untuk menolong pertapaan itu (kapwa ta ya turun tangga saha sanjata, tulungen to patapan di dharmakuta) (Goris, 1954a : 78-79).
Raja Janasadhu Warmadewa diganti oleh Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi Satu-satunya prasasti sebagai sumber sejarah ratu ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Saka) (Goris, 1954a : 79-80 ; Damais, 1955 : 226-227). Ratu ini memberi izin kepada penduduk desa Air Tabar, yang merupakan pamong kuil Indrapura di Bukittunggal di wilayah desa Air Tabar, untuk memperbaharui prasastinya (mabharin pandaksayan na).
Ratu ini tidak menggunakan identitas dinasti Warmadewa. Keadaan ini mengundang timbulnya sejumlah pendapat. Berdasarkan terpakainya kata Sri Wijaya dalam gelar sang ratu, P.V. van Stein Callenfels (1924 : 30) berpendapat bahwa kemungkinan ratu itu berasal dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan adanya perluasan kekuasaan Sriwijaya ke Bali. Pada mulanya, Goris menyetujui pendapat itu.
Pada tahun 1950, dalam artikelnya yang berjudul ”De Stamboom van Erlangga”, J.L. Moens menghubungkan ratu itu dengan kerajaan Jawa Timur (1950 : 138). Damais secara lebih tegas mengemukakan bahwa ratu itu adalah putri Pu Sindok yang bernama Sri Isana Tunggawijaya.12 Pendapatnya itu didasarkan pada adanya jabatan-jabatan wadihati, makudur, dan pangkaja yang disebutkan dalam prasasti ratu itu, di samping sejumlah jabatan tinggi yang telah lazim di Bali. Ketiga jabatan itu adalah khas Jawa (1952 : 85-86 ; 1955 : 227).
Ratu Sri Wijaya Mahadewi diduga mangkat pada tahun 911 Saka (989). Tampuk pemerintahan di Bali kemudian dipegang oleh pasangan Sri Gunapriyadharmapatni dan Sri Dharmodayana Warmadewa.
Dalam prasasti Pucangan dikatakan bahwa Gunapriyadharmapatni, yang semula bernama Mahendradatta, adalah putri Sri Makutawangsawardhana, cucu perempuan pasangan Sri Isana Tunggawijaya dan Sri Lokapala, atau cicit Pu Sindok. Mahendradatta kemudian nikah dengannya adalah Udayana, seorang pangeran yang lahir dari keluarga raja (dinasti) yang masyhur. Dari pasangan itu lahirlah Erlangga atau Airlangga (Kern, 1917 : 93). Berdasarkan keterangan itu, dapat diketahui bahwa Mahendradatta adalah seorang putri berasal dari Jawa Timur, keturunan dinasti Isana. Jika dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti-prasasti Bali tahun 911-923 Saka yang menyatakan bahwa Sri Gunapriyadarmapatni memerintah bersama-sama dengan suaminya, yaitu Sri Dharmadoyana Warmadewa, maka dapat diketahui bahwa tokoh terakhir inilah yang dimaksud dengan Udayana dalam prasasti Pucangan. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan dinasti termasyhur dalam prasasti itu adalah dinasti Warmadewa. Kendati demikian, masih ada sejumlah pendapat mengenai asal-usul Udayana.
Menurut F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja. Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan sang putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian menikah dengan Mahendradatta (1984 : 554-556 ; 1961 : 96-97). Moens tidak setuju dengan hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom van Erlangga”yang terbit pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis Udayana. Pertama, Udayana yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara Isana (Sindok) dengan putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua, Udayana yanng merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan Ratnawati (selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di Jawa Timur dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda. Udayana II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Moens juga mengemukakan bahwa Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua kalinya dengan Udayana II (1950 : 124). Pada dasarnya, Goris menyetujui pendapat Moens tentang adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau menambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991) sebagai hasil, pernikahan Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah di Bali (1948 : 7 ; 1957 : 19).
Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali. Tadi telah disinggung bahwa dalam prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan menikah dengan Udayana, seorang pangeran dari dinasti termasyhur. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana itu adalah Sri Dharmodayana Warmadewa. Lagi pula, seperti telah diketahui, dinasti Warmadewa memang telah berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa, yaitu sejak tahun 835 Saka (914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya. Berdasarkan kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu menegaskan kedinastian serta daerah asal Udayana yang memang sudah sangat dikenal pada waktu itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa seorang asing yang merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima dengan mudah dalam jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa. Lagi pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut, khususnya dari putra mahkota yang mempunyai hak sah atas takhta dan mahkota kerajaan Bali adalah hal yang mustahil.
Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula keterangan-keterangan dalam prasasti Pucangan dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana, suami Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom (1956 : 119) yang dikemukakan jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens.
Telah dikatakan bahwa praasti-prasasti pasangan ”suami-istri” itu terbit tahun 911-923 Saka (989-1001). Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan A (916 Saka), Sading A (923 Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II (Goris, 1954a : 80-88).
Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu. Dikatakan bahwa desa itu, yang telah disebutkan dalam prasasti Bebetin A (818 Saka), kembali mengalami perampokan sehingga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat lemah. Pasangan suami- istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah kewajiban kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diberikan juga kepada penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru). Hal itu dapat diketahui dari prasasti Serai AII.
Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu memuat izin pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan yang terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa induknya, yakni Kdisan. Desa Bwahan, yang tampaknya semakin berkembang, diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra i kawakannya). Segala kewajiban supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan aman, penduduk desa Bantiran disuruh kembali ke desanya. Hak dan kewajibannya diatur dan mereka diizinkan membuka lahan untuk memperluas sawah ladangnya.
Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A (Goris, 1954a : 88-94 ; Damais, 1955 : 185). Rupanya Gunapriyadharmapatni mangkat tidak lama sebelum tahun 933 Saka. Prasasti ini diberikan kepada desa Air Hawang (sekarang desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja Udayana dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba, yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu memenuhi pembayaran pajak-pajak serta cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut bergotong royong atau kerja bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon pengurangan atau keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa Air Hawang), raja mengutus Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang Acarya Bhacandra dan Senapati Kuturan, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya kemudian didiskusikan, dibahas, atau dianalisis dalam sidang paripurna para pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi lebih dari itu. Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja menyetujui permohonan wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti mengenai proses persidangan itu berbunyi :
“…tuwulwi ta sira kabaih mapupul, malapkna kinabehan, tan pingsan pingrwa, winantah winalik blah, hana pwantuk ning malapkna, an kasinggihan sapanghyang nikang anak thani, …” (Goris, 1954a : 89).
Artinya :
“… kemudian beliau sekalian berkumpul, bersidanng bersama-sama, tidak sekali dua kali, diperdebatkan dan dibahas, maka tercapailah hasil persidangan, yakni dipenuhinya hal-hal yang menjadi permohonan penduduk desa itu, …”
Selain prasasti-prasasti yang telah disebutkan, masih ada lima buah prasasti singkat (short inscription) yang terbit atau diduga terbit sebelum Udayana turun taktha, yaitu prasasti-prasasti Besakih, Pura Batumadeg (nomor lama 908), Ujung Pura Dalem (nomor lama 357) berangka tahun 932 Saka, Gunung Penulisan A (933 Saka), Gunung Penulisan B, dan Sangsit B (nomor lama 437) berangka tahun 933 Saka (Goris, 1954a : 46, 94, 105-107 ; Damais, 1955 : 229).
Prasasti Besakih, Pura Batu Madeg sesunguhnya berangka tahun 1393 Saka tetapi di dalamnya disebutkan sebuah prasasti lebih tua yang memakai candra sangkala nawasanga-apit-lawang (929 Saka). Prasasti bertahun 929 Saka itulah yang terbit pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Penduduk setempat menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni sebutan untuk tokoh Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calon Arang (Goris, 1965 : 23 ; cf. Poerbatjaraka, 1926 : 115-145).
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah? Mengenai hal ini, Goris berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu Baradah mengunjungi Bali untuk pertama kali.13 Kunjungan itu mungkin dalam kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran Anak Wungsu, atau kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung berpendapat bahwa Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra bungsunya yaitu Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun 929 Saka betul-betul mengenai urusan yang sangat penting (Goris, 1957 : 20). Setelah mangkat, Gunapriyadharmapatni dicandikan di Burwan, dan Udayana yang diduga mangkat tidak lama setelah tahun 933 Saka dicandikan di Banu Wka.
Mereka diganti oleh Ratu Sri Ajnadewi yang mengeluarkan prasasti Sembiran AIII pada tahun 938 Saka (Brandes, 1889 : 48-49 ; Damais, 1955 : 229-230). Sampai kini belum terdapat petunjuk jelas mengenai hubungan ratu ini dengan pendahulunya, begitu pula hubungannya dengan tokoh lain. Dalam mengupayakan penjelasannya, akan dilihat kembali bagian berbahasa Jawa Kuno pada prasasti Pucangan. Dari bagian itu diketahui bahwa pada tahun 938 Saka (1016) kerajaan yang diperintah Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur diserang oleh raja Wurawari sehingga mengalami malapetaka mahahebat (pralaya). Serangan itu bertepatan dengan saat diselenggarakan upacara pernikahan Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh. Dikatakan lebih lanjut bahwa Jawa pada waktu itu bagaikan lautan api dan banyak orang terkemuka gugur dalam peristiwa tersebut. Airlangga, yang berumur 16 tahun, dapat menyelamatkan diri dengan lari ke hutan diiringi pengikutnya yang sangat setia, yaitu Narottama (Sumadio dkk., 1990 : 173).
Tahun pralaya itu ternyata bertepatan dengan munculnya Ratu Sri Sang Ajnadewi sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Berdasarkan kenyataan ini, dapat dikembangkan uraian hipotetik sebagai berikut. Mudah dipahami bahwa ketika dilangsungkan upacara pernikahan Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh, Udayana sebagai seorang ayah, yakni ayah Airlangga, hadir di keraton Jawa Timur. Bahkan mustahil baginda ikut gugur dalam peristiwa pralaya yang telah disebutkan, dan hal itu sekaligus mengakibatkan taktha kerajaan Bali lowong secara tiba-tiba. Putra mahkota Bali pada waktu itu, yaitu Marakata, kemungkinan masih terlalu muda untuk dinobatkan sebagai raja. Pendapat itu didasarkan atas pertimbangan bahwa jika Airlangga pada tahun 1016 baru berumur 16 tahun, maka Marakata sebagai adiknya, setua-tuanya baru berumur 15 tahun, bahkan kenyataannya boleh jadi lebih muda dari itu.
Untuk memecahkan masalah lowongnya takhta kerajaan Bali, keluarga istana rupanya sepakat mengangkat seorang wali, yaitu Ratu Sri Sang Ajnadewi. Perwalian itu berlangsung sampai tidak lama sebelum Marakata mengeluarkan prasasti yang pertama pada tahun 944 Saka (1022). Apakah wali itu berasal dari Jawa Timur ataukah keluarga istana Bali? Memang dapat dipahami, jika wali itu berasal dari dan diangkat oleh keluarga istana Jawa Timur, namun kemungkinan itu sangat kecil. Kemungkinan itu dikatakan demikian karena mudah pula dipahami bahwa kondisi kerajaan di Jawa Timur pada waktu itu masih sangat lemah, situasinya masih sangat kacau, bahkan mungkin masih dalam suasana berkabung. Jika dugaan itu benar, maka kemungkinan lain yang dapat dikemukakan ialah Sri Sang Ajnadewi adalah anggota dinasti yang sedang berkuasa di Bali. Mungkin bibi Marakata atau tokoh lain yang memang pantas menduduki posisi sebagai wali.
Prasasti Sembiran A III yang dikeluarkan oleh ratu itu kembali mengenai desa Julah. Dikatakan bahwa desa ini diserang lagi oleh penjahat. Banyak penduduk mati, ditawan musuh, atau mengungsi ke desa lain. Penduduk semula sebanyak 300 kepala keluarga, tersisa hanya 50 kepala keluarga. Oleh karena itu, sang ratu pun memberikan keringanan kepada mereka dalam hal kerja gotong royong dan pembayaran beberapa jenis drwyahaji. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan bangunan sakral di Dharmakuta pun dikurangi pula (Goris, 1954a : 95). Dapat ditambahkan bahwa secara harfiah drwyahaji berarti “milik raja”(Zoetmulder, 1982a : 416). Akan tetapi, menurut konteksnya istilah itu bermakna pendapatan kerajaan yang berasal dari pajak, cukai, denda, iuran, dan sebagainya, yang kemudian digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran kerajaan.
Telah dikatakan bahwa Marakata, gelar lengkapnya Paduka Haji Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa, mengeluarkan prasastinya yang pertama yakni prasasti Batuan, pada tahun 944 Saka. Prasasti-prasasti lain yang memuat gelar raja itu ialah prasasti Sawan A I = Bila I (nomor lama 353) yang berangka tahun 945 Saka, Tengkulak A (945 Saka), dan Bwahan B (947 Saka)14.
Prasasti pertama diberikan kepada penduduk desa Baturan (sekarang Batuan di Kabupaten Gianyar). Wakil-wakil desa itu menghadap raja serta menyampaikan bahwa semenjak masa pemerintahan raja almarhum yang dicandikan di Er Wka (yang dimaksud adalah Udayana), penduduk desa Baturan ditugasi memelihara kebun raja di Er Paku dan kuil di desa Baturan. Raja Marakata memaklumi betapa beratnya tugas-tugas itu, maka sebagai imbalannya, penduduk pun dibebaskan dari pajak-pajak tertentu dan diizinkan lepas dari desa Sukhawati (sekarang Sukawati).
Isi pokok prasasti Sawan A I pada dasarnya sama dengan isi pokok prasasti Batuan, yang permohonan penduduk mengenai pengurangan beban drwyahaji dan tugas bergotong royong. Permohonan itu diajukan wakil-wakil desa Bila karena merasa cukup berat memenuhi kewajiban-kewajiban semula sebagai akibat warganya berkurang secara drastis, yakni dari semula 50 kepala keluarga menjadi hanya 10 kepala keluarga. Permohonan itu disetujui oleh raja Marakata. Prasasti Sawan A I juga memuat ketetapan tentang pembagian harta warisan, perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh pegawai kerajaan yang berkunjung ke desa Bila, dan kewajiban penduduk bagi pegawai itu.
Prasasti Tengkulak A menyatakan bahwa pada tahun 945 Saka, wakil-wakil desa Songan Tambahan menyampaikan kepada raja Marakata bahwa sejak masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana Warmadewa, mereka ditugasi menyelenggarakan atau memelihara katyagan (asrama pendeta) Amarawati di tepi sungai Pakrisan. Sejak titah turun, penduduk desa itu belum pernah diberikan prasasti yang memuat rincian kewajiban serta hak mereka. Supaya segala sesuatunya menjadi jelas, sehingga mereka dapat meneruskan pengabdian kepada raja dan ratu almarhum, begitu pula kepada raja yang tengah memerintah, maka mereka memohon kepada Raja Marakata agar berkenaan menganugerahkan prasasti kepada mereka. Raja pun memenuhi permohonan itu. Dalam prasasti itu ditegaskan bahwa penduduk supaya tetap melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana sediakala (magehakna sapurbwastitinya nguni) (Ginarsa, 1961 : 5).
Berdasarkan prasasti Buwahan B (947 Saka) dapat diketahui bahwa penduduk desa Bwahan kekurangan lahan tempat menggembalakan ternak dan mencari kayu api. Wakil-wakil desa itu memohon agar diizinkan membeli sebidang hutan dekat desanya, yang semula digunakan sebagai tempat berburu oleh raja. Dikatakan bahwa raja mengabulkan permohonan tersebut. Lebih lanjut ditegaskan, agar Nayakan Buru (pejabat yang mengurusi masalah perburuan) tidak mengganggu gugat kegiatan penduduk di wilayah yang telah dibeli itu.
Masih ada sejumlah prasasti singkat yang terbit pada masa pemerintahan raja Marakata, yaitu prasasti-prasasti Kesian, Pura Sibi I (945 Saka), Kesian, Pura Sibi II (948 Saka), Kesian Pura Sibi III (948 Saka), Kesian, Pura Sibi IV dan Bangli, Pura Kehen B (nomor semula 356) tanpa angka tahun.15 Oleh karena data historis dalam masing-masing prasasti itu relatif kurang berarti bagi penggambaran aktivitas atau kebijakan raja Marakata maka pembicaraan prasasti-prasasti itu tidak diperpanjang di sini.
Dalam gelar Marakata yang telah disebutkan di depan, tidak terdapat unsur warmadewa tetapi ada unsur dharmawangsa yang mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Berdasarkan kenyataan itu, apakah berarti Marakata tidak termasuk anggota dinasti Warmadewa? Keraguan itu menjadi hilang dengan adanya keterangan dalam prasasti Tengkulak A. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa Marakata adalah putra raja Almarhum yang dicandikan di Air Wka (yakni Sri Dharmodayana Warmadewa). Keterangan itu juga berarti bahwa Marakata tergolong anggota dinasti Warmadewa. Bagian teks prasasti mengenai hal itu berbunyi :
“… mangkai pwan menget ikanag karaman i songan tambahan sapanambahan, an wka haji dewata sang lumah ring air wka sajalu stri, prasiddha kumalilirig kulit kaki, siniwi ring desa banten molih tekang karaman maprarthana ri bhatara, yata hetunya papulung rahi manambah i paduka haji, umajaraken sakramanya nguni mwang pagehnyanugraha haji dewata, … (Ib.5-IÏa.2)” (Ginarsa, 1961 : 4).
Artinya :
”… kini ingatlah para tetua desa Songan Tambahan yang terikat dalam satu kesatuan pemujaan, bahwa putra raja almarhum yang icandikan di Air Wka beserta permaisurinya, telah berhasil mewarisi (takhta kerajaan) dari garis keturunan, laki-laki, dimuliakan di wilayah Banten (Bali). Supaya mereka dapat melanjutkan pengabdian kepada betara (di Air Wka) maka mereka bersama-sama menghadap paduka raja, mempermaklumkan segala sesuatu yang mereka laksanakan pada masa-masa lalu, dalam upaya mengukuhkan anugrah (baca : titah) raja yang telah almarhum,…”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut garis keturunan dari pihak ayah, Marakata termasuk dinasti Warmadewa. Akan tetapi, kenyataannya unsur warmadewa tidak digunakan dalam gelar raja itu. Sebaliknya dalam gelar itu terdapat unsur dharmawangsa, yang sebagaimana telah dikatakan, mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Keadaan demikian dapat dipahami, jika diingat bahwa ibu suri Marakata, yakni Gunariyadharmapatni adalah putri Jawa Timur. Bukan mustahil Gunariyadharmapatni bersaudara kandung dengan Dharmawangsa Teguh, atau paling tidak berkerabat dekat. Unsur dharma yang terdapat dalam nama masing-masing tokoh itu dapat digunakan sebagai faktor penunjang pendapat di atas.
Dalam menanggapi gelar Marakata yang tanpa unsur warmadewa, lebih jauh dapat dikemukakan bahwa hal itu tidak mesti dipandang sebagai bukti bahwa Marakata mengingkari dirinya termasuk dinasti Warmadewa. Sebagai putra Udayana, tentu baginda menyadari kedudukannya dalam dinasti itu. Penggunaan unsur dharmawangsa dalam gelarnya, agaknya hanya masalah pilihan belaka.
Raja Marakata diganti oleh adiknya, yaitu Anak Wungsu yang memerintah tahun 971-999 Saka (1049-1077). Gelarnya sebagai raja, begitu pula nama kecil tokoh ini sesungguhnya tidak diketahui secara pasti, kecuali hendak diyakini bahwa Anak Wungsu juga merupakan nama kecil tokoh itu. Secara harfiah anak wungsu berarti ”anak bungsu”, jadi hanya menyatakan urutan kelahiran belaka. Dalam hal ini, tokoh itu adalah anak bungsu suami-istri Udayana dan Gunapriyadharmapatni. Pernyataan mengenai hal tersebut terbaca dalam sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh Anak Wungsu. Dalam prasasti Pandak Bandung (933 Saka) misalnya, terbaca bagian yang berbunyi ”… ”paduka haji, anak wungsunirakalih bhatari lumah i burwan, bhatara lumah i banu wka, …”(Stein Callenfels, 1926 : 14), yang artinya ”… paduka raja anak bungsu baginda berdua (suami-istri), yaitu ratu yang dicandikan di Burwan dan raja yang dicandikan di Banu Wka, …”
Dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti Pucangan yang menyatakan bahwa Airlangga adalah putra suami-istri tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa suami-istri itu berputra tiga orang, yakni Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Hal ini juga berarti bahwa Airlangga dan Anak Wungsu, seperti halnya Marakata, termasuk dinasti Warmadewa pula.
Raja Anak Wungsu memerintah Bali cukup lama, bahkan terlama di antara raja-raja pada zaman Bali Kuno, yakni selama tidak kurang dari 28 tahun. Ada 31 buah prasasti dikeluarkannya, atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya. Sembilan belas di antara prasasti-prasasti itu memuat ”gelar” seperti disebutkan, yang lainnya tanpa muatan ”gelar” , baik karena prasasti yang bersangkutan tidak lengkap atau karena tergolong prasasti singkat. Masa pemerintahannya yang lama serta prasasti yang dikeluarkan cukup banyak dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa raja itu memerintah dengan bijaksana dan kerajaan dalam keadaan stabil. Dugaan itu ditunjang pula oleh sejumlah ungkapan yang terbaca dalam prasasti, yang pada intinya menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wungsu dalam melaksanakan pemerintahan.
Dalam beberapa prasasti dikatakan bahwa Anak Wungsu adalah raja yang penuh belas kasihan (gong karunya pwa pinaka swabhawa paduka haji) dan selalu memikirkan kesempurnaan serta kemakmuran kerajaan yang diperintah atau dilindunginya (nityasa kumingking sakaripurnnakna nikanang rat rinaksanira atau nityasa kumingking … subhiksa nikang rat rinaksanira). Oleh karena Anak Wugsu sangat menjunjung tinggi serta mengagungkan ajaran agama atai kebajikan (sangka ri kadharmestan paduka haji) maka baginda diibaratkan sebagai penjelmaan dharma (kebajikan) (saksat dharmam urti/saksat dharmatmajam urti/tuhutuhu dharmam urti) yang senantiasa memikirkan kesempurnaan atau terpeliharanya bangunan-bangunan suci keagamaan (nityasa kumingking sakaripurnnakna sang hyang sarbwa dharma) (cf.Sumadio dkk., 1990 : 301-302). Dapat dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan itu mungkin bersifat hiperbolis, namun unsur kebenaran yang terkandung di dalamnya, yakni bagian yang bersifat realistis, patut mendapat perhatian yang wajar.
Telah dikatakan bahwa ada 31 buah prasasti berasal dari masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Jika isi pokok prasasti-prasasti itu diulas satu per satu, walaupun secara ringkas, maka akan menghasilkan uraian panjang yang dalam beberapa hal dapat bersifat pengulangan. Untuk menghindari hal itu, di bawah ini disajikan klasifikasi prasasti-prasasti itu berdasarkan sambandha-nya atau alasan yang melatarbelakangi dikeluarkannya prasasti yang bersangkutan. Ada enam alasan yang telah diketahui, yakni sebagai berikut.
1. Adanya permohonan penduduk, dengan perantara wakil-wakilnya, agar prasasti semula yang berupa ripta 16 diubah menjadi prasasti tembaga (tampraprasasti). Permohonan demikian berasal dari wakil-wakil penduduk desa (karaman) Turunan, Cintamani, Batwan, Pa (r) canigayan, Julah, para wajib pajak (anak mabwathaji), di Silihan dan Landungan, warga desa yang bertugas menjahit pakaian (mangjahit kajang) di Buyan, Anggas, serta Taryungan, dan wakil-wakil penduduk desa Bila.17
2. Adanya permohonan membuka lahan baru untuk dijadikan perdikan (sima). Permohonan semacam itu diajukan oleh wakil-wakil desa Lutungan, tokoh-tokoh pendiri (purusakara) subak Rawas, dan wakil-wakil desa Bwah.18
3. Adanya pejabat memungut rwyahaji melebihi ketentuan yang tercantum dalam prasasti. Hal ini diketahui dari laporan wakil-wakil pajak di daerah perburuan. Dikatakan bahwa para pemimpin dalam bidang-bidang tertentu (nayaka) dan para pengawas (caksu paracaksu) melakukan pungutan melebihi ketentuan dalam prasasti yang dianugrahkan raja almarhum. Wakil-wakil penduduk memohon agar masalah itu diluruskan oleh Raja Anak Wungsu. 19
4. Adanya permohonan agar ketetapan yang tercantum dalam prasasti semula ditambahi atau dilengkapi. Wakil-wkail penduduk desa Bharu (banwa Bharu) mengajukan permohonan ini dengan tujuan supaya kewajiban dan hak mereka menjadi lebih jelas.26
5. Adanya permohonan agar penduduk dianugrahi prasasti sebagai pegangan pelaksanaan hak dan kewajiban. Penduduk desa (karaman) Sukhapura telah sejak lama dituasi menyelenggarakan sebuah kompleks percandian (sanghyang dharma), tetapi belum dianugrahi prasasti. Supaya tugas-tugas mereka jelas, maka mereka memohon agar Raja Anak Wungsu berkenaan mencantumkan dalam sebuah prasasti.27
6. Adanya permohonan agar penduduk lazim menghaturkan bahan-bahan mentah untuk keperluan upacara dan menjamu pejabat atau petugas tertentu. Permohonan ini diajukan oleh wakil-wakil desa Gurguran karena mereka kekurangan tenaga untuk memasak bagi keperluan-keperluan tersebut di atas.22
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua permohonan tersebut di atas dikabulkan oleh Raja Anak Wungsu, setelah melalui tahapan pertimbangan serta pembahasan yang seksama. Dalam prasasti yang bersangkutan dicantumkan pula ketetapan mengenai berbagai aspek kehidupan, misalnya aspek sosial ekonomi, sosial budaya, dan keagamaan.
Raja Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu yang memerintah tahun 1001-1010 Saka ( 1078-1088). Gelar lengkap raja ini berbunyi Sri Maharaja Sri Walaprabhu, terbaca dalam prasasti Babahan II (nomor lama 501). Goris menduga Prasasti Ababi A (nomor lama 447) dan Klandis (nomor lama 448) adalah juga dikeluarkan oleh raja Walaprabhu (1954a : 26 ; 1965 : 33). Perlu diperhatikan bahwa raja-raja Bali Kuno, raja inilah yang pertama menggunakan gelar maharaja setelah ratu Sri Wijaya Mahadewi yang sudah dibicarakan di depan.
Aktivitas pemerintahan raja ini dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut.
Dalam prasasti Klandis dinyatakan bahwa raja Walaprabhu mengizinkan desa Pakwan lepas dari desa Bangkala tetapi harus tetap menunaikan pembayaran drwyahaji sebagaimana sediakala. Betapa keagungan wibawa raja itu dapat diketahui dari ucapan-ucapan yang menggambarkan bahwa baginda bagaikan perwujudan dharma (kebajikan) yang melindungi dunia (saksat niran dharmmatmajam urti jagatpaloka), sebagai tempat rakyat berlindung (saranasraya ring praja), dan laksana satu-satunya payung yang meneduhi seluruh wilayah Pulau Bali (pinakekachatra ning balidwipamandala) (Tuuk dan Brandes, 1885 : 619-624).
Prasasti Ababi A dianugerahkan kepada karaman i Hara Babi sedangkan prasasti Babahan II, seperti halnyan prasasti Babahan I, berkenaan dengan dharma i ptung. Kedua prasasti itu tidak lengkap sehingga data sejarah yang dapat diketahui sangat sedikit.
Setelah Sri Walaprabhu, yang naik takhta kerajaan Bali adalah Paduka Sri Maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmidhara Wijayotunggadewi. Gelar ini terbaca dalam prasasti-prasasti : Pengotan B I (1010 Saka), dan Pengotan B II (1023 Saka). 23
Goris, dalam membahas gelar yang cukup panjang itu, mengemukakan hal-hal berikut.
1. Indukirana = cahaya bulan purnama
2. Guna-dharmma = turunan dari Gunapriyadharmapatni, yakni ibu Airlangga
3. Hendak mengaku Wijaya = turunan raja Palembang (Sri Wijaya), dan
4. Hendak mengaku Uttungga, yakni turunan raja Sindok di Jawa Timur (1948 : 10).
Tampaknya, Goris hendak menyatakan bahwa sejumlah unsur gelar itu secara implisit mengandung muatan politis, khususnya yang dikemukakan dalam tiga butir terakhir. Konsep dasar jalan pikiran Goris kiranya dapat diterima, tetapi secara operasional menghubungkan unsur wijaya dengan kerajaan Sriwijaya di Palembang, sebagaimana dinyatakan dalam butir ketiga, sepantasnya mendapat pertimbangan lebih cermat. Ada dua hal akan diajukan sebagai bahan pertimbangan, yang serta merta menunjukkan kekurangkuatan hipotesis Goris itu.
Pertama, sampai kini belum terdapat bukti jelas mengenai hubungan politik kerajaan Bali Kuno dengan Sriwijaya di Sumatra. Kedua, seperti telah diketahui, unsur Sriwijaya digunakan pula dalam gelar Ratu Sri Wijaya Mahadewi. Stein Callenfels, yang menghubungkan ratu ini dengan kerajaan Sriwijaya, telah dibantah oleh Damais. Dengan alasan yang tepat, Damais mengidentifikasikan bahwa ratu ini adalah putri dari Jawa Timur (1952 : 85-86). Sejalan dengan pendapat Damais itu, dengan mengesampingkan pendapatnya yang menjurus kepada penyamaan dengan putri Sindok serta ditunjang isi butir kedua dan keempat kutipan di depan, maka Sakalendukirana pun tidak perlu dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya tetapi dengan keluarga besar dinasti Isana di Jawa Timur.
Salah satu kebijakan Ratu Sakalendukirana ialah memberikan prasasti kepada pejabat Nayakanjalan. Prasasti itu diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan tugas dan kewajiban oleh penduduk di bawah kewenangan pejabat tersebut. Sejumlah rincian ketetapan tercantum di dalam prasasti itu, misalnya mengenai drwyahaji untuk samgat surih, upacara yang dilaksanakan pada waktu bulan mati (pjah lek), dan iuran untuk keperluan upacara besar (mahabanten).
Ratu Sakalendukirana diganti oleh Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa. Baginda berkuasa tahun 1037 : 1041 Saka (1115-1119) dengan mengeluarkan prasasti-prasasti Gobleg, Pura Desa III (1037 Saka), Angsari B (1041 Saka), Ababi, Tengkulak D dan Prasasti Tamblingan, Pura Endek III.24 Sebagian di antara prasasti-prasasti itu sudah aus dan tidak terbaca lagi.
Berdasarkan permohonan wakil-wakil pamong dharma (sejenis bangunan suci) di Air Tabar dapat diketahui bahwa raja memberikan izin kepada mereka memperbaharui (umanari) prasastinya. Izin itu diberikan karena prasasti semula yang tertulis pada daun rontal (ripta) telah rusak dan tidak terbaca lagi (awuk munggwing ripta tan wnang winaca). Selanjutnya, raja menekankan supaya isi prasasti itu dipatuhi oleh segenap penduduk sebagaimana mestinya. Semua hal itu disebutkan dalam prasasti Gobleg, Pura Desa III.
Pada tahun 1041 Saka, sesuai dengan isi pokok prasasti Angsari B, raja Suradhipa memberikan prasasti kepada dharma di Sukhamerta yang termasuk wilayah desa Latengan. Segala ketetapan yang tercantum di dalamnya supaya ditaati oleh penyelenggara pertapaan di kompleks dharma di Sukhamerta. Pertapaan ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Tabanendra Warmadewa.
Setelah berakhir masa pemerintahan raja Suradhipa, secara beruntun memerintah di Bali empat orang raja yang menggunakan unsur jaya dalam gelarnya, yaitu (1) Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150), (2) Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155), (3) Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181), dan (4) Paduka Sri Maharaja Haji Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjaryya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200). Birokrasi pemerintahan keempat raja inilah yang akan dibahas dalam karya tulis ini. Berdasarkan hal itu maka uraian mengenai aktivitas atau kebijakan yang dilaksanakan oleh raja-raja tersebut tidak diperpanjang pada bagian ini.
Hubungan kekeluargaan di antara mereka tidak diketahui secara pasti. Walaupun demikian, berdasarkan kelaziman dalam sistem pergantian kepala negara suatu kerajaan tradisional serta digunakannya unsur jaya dalam gelar masing-masing raja itu maka kemungkinan besar hubungan antara raja yang satu dan penggantinya merupakan hubungan ayah dengan anaknya. Kalau tidak demikian, paling tidak mereka dipertalikan oleh hubungan kekeluargaan yang sangat dekat.
Perlu diperhatikan bahwa masa pemerintahan keempat raja itu hampir sezaman dengan masa pemerintahan raja-raja Jayabhaya (1057 -1079 Saka), Sarweswara (1081 Saka), Aryeswara (1091-1093 Saka), Kroncaryadhipa atau Gandra (1103 Saka), Kameswara (1104-1107 Saka), dan Kertajaya atau Srengga (1116-1127 Saka) di kerajaan Kadiri di Jawa Timur (cf. Damais, 1952 : 66-71 ; Sumadio dkk., 1990 : 267-272, 306). Hal yang menarik perhatian pula, sebagaimana telah dikatakan, ialah adanya unsur jaya digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno dan paling sedikit pada dua nama raja Kadiri tersebut di atas. Adanya unsur yang sama itu rupanya bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga menunjukkan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka. Kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka diperkuat oleh keterangan dalam kitab Bharatayuddha. Dalam kitab itu dikatakan bahwa raja Jayabhaya sempat meluaskan kekuasaannya ke Indonesia bagian timur dan tidak ada pulau yang sanggup mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya (Krom, 1956 :154-155 ; Warna dkk., 1990 : 2-3).
Sejak berakhirnya kekuasaan Ekajayalancana sampai dengan akhir masa Bali Kuno, masih terjadi lima kali pergantian raja. Secara berturut-turut dinobatkan Sri Wirama (1126 Saka), Adidewalancana (1182 Saka), Sri Mahaguru (1246-1247 Saka), Walajayakrrttaningrat (1250 Saka), dan Sri Astasura Ratnabhumibanten (1259-1265 Saka).
Sri Wirama, lengkapnya Bhatara Parameswara Sri Wirama tercantum dalam prasasti Bangli, Pura Kehen C (1126 Saka) (Stein Callenfels, 1926 : 56-59). Dalam prasasti itu disebutkan tiga tokoh historis sebagai berikut.
1. Bhatara Guru Sri Adikuntitekata, yakni permaisuri raja yang telah almarhum. Goris juga menyebut tokoh ini dengan Bhatara Guru I (1965 : 43).
2. Bhatara Parameswara Sri Wirama, yang juga disebut Sri Bhanadhirajalancana, putra (wija) Sri Adikuntiketana.
3. Bhatara Sri Dhanadewiketu, yaitu permaisuri (rajawanita) Sri Dhanadhirajalancana.
Berdasarkan keterangan dalam butir ketiga, khususnya kata rajawanita, yang digunakan untuk menyebut istri Sri Wirama, maka berarti raja yang sesungguhnya adalah Bhatara Parameswara Sri Wirama. Kendati demikian, yang bertitah langsung kepada penduduk adalah Sri Adikuntiketana (Stein Callenfels, 1926 : 56). Titah tu disampaikan kepada wakil-wakil desa Bangli (karaman i bangli) sewilayah desanya, agar mereka tidak mengungsi lagi ke desa lain. Sebaliknya, mereka diperintahkan supaya kembali ke desanya serta menyelenggarakan asrama (mandala) Lokasarana yang sempat sepi dan tidak terurus. Dalam prasasti itu dicantumkan pula aturan tentang hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh penduduk Bangli.
Antara Raja Sri Wirama (1126 Saka) dan raja berikutnya, yaitu Bhatara Parameswara Hyang ning Hyang Adidewalancana (1182 Saka) terdapat masa kosong (power vacuum) selama tidak kurang dari 56 tahun. Belum terdapat petunjuk yang jelas mengapa hal itu terjadi.
Tidak banyak dapat dikemukakan mengenai raja Adidewalancana. Baginda mengeluarkan sebuah prasasti, yaitu prasastiBulihan B (1182 Saka), yang dianugrahkan kepada wakil-wakil desa Bulihan (karaman i bulihan) (Goris, 1954a : 41-42). Selain itu beliau juga mengeluarkan prasasti Pangsan yang dianugrahkan kepada pariman i nungnung.
Setelah masa pemerintahan raja Adidewalancana, terdapat lagi masa tanpa raja selama lebih kurang 64 tahun, yakni tahun 1182-1246 Saka (1260-1324). Pada periode itu terbit hanya dua buah prasasti, yaitu prasasti Pengotan E (1218 Saka) dan Sukawana D (1222 Saka), atas nama Kbo Parud (putra Ken Demung Sasabungalan). Tokoh itu berkedudukan sebagai rajapatih, bukan sebagai raja (Goris, 1948 : 11 ; 1954a : 42). Keadaan ini kemungkinan besar ada kaitannya dengan keterangan yang dapat disimak 32 dari isi pupuh 42 bait 1 kitab Nagarakrtagama. Di sana dikatakan bahwa pada tahun 1206 Saka (1284) Raja Krtanagara (dari Singhasari) berhasil menaklukkan Bali serta menawan raja-raja Bali (Pigeaud, 1960a : 32 ; 1960b : 48 ; Slametmulyana, 1979, 294). Dalam sumber itu tidak disebutkan nama atau gelar raja Bali yang ditawan. Dengan alasan yang kurang jelas, Ginarsa menduga bahwa raja itu adalah Adidewalancana (1968 : 27). Dugaan itu akan menjadi benar apabila raja itu memerintah paling sedikit selama 24 tahun setelah menerbitkan prasastinya yang berangka tahun 1182 Saka (1260).
Kedudukan Kbo Parud sebagai rajapatih boleh jadi berlangsug sampai setelah Krtanagara dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kadiri, bahkan mungkin sampai pada masa-masa awal kerajaan Majapahit. Kedudukannya itu tampaknya baru berakhir setelah Bhatara Guru II (Bhatara Sri Mahaguru) dinobatkan sebagai raja di Bali pada tahun 1256 Saka (1324), atau beberapa tahun sebelum penobatan itu. Hal ini sekaligus menyatakan bahwa Bali selama itu berada di bawah pengawasan kerajaan yang tengah berkuasa di Jawa Timur.
Identifikasi Raja Bhatara Guru II atau Bhatara Sri Mahaguru sesungguhnya masih mengandung permasalahan. Ada tiga buah prasasti dikeluarkan oleh raja itu, tetapi memuat gelarnya secara tidak konsisten. Dalam prasasti Srokadan (1246 Saka)25 baginda disebut Paduka Bhatara Guru yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni Paduka Aji (baca : Haji) Sri Tarunajaya. Dalam prasasti Cempaga C (1246 Saka) disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Mahaguru (Stein Callenfels, 1926 : 50). Dan dalam prasasti Tumbu (1247 Saka) disebut Paduka Sri Maharaja, Sri Bhatara Mahaguru, Dharmmotungga Warmadewa (baca : Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa) (Goris, 1965 : 45).
Bhatara Guru II rupanya mangkat sebelum tahun 1250 Saka (1328). Dugaan itu dikemukakan karena pada tahun 1250 Saka, sebagaimana tertera dalam prasasti Selumbug (Stein Callenfels, 1926 : 68-70), yang memerintah di Bali adalah Paduka Bhatara Sri Walajayakrtaningrat. Raja ini memerintah bersama-sama dengan atau dibantu oleh ibunya yang bergelar Paduka Tara Sri Mahaguru. Mengingat kata tara (baca : tara) dapat berarti ”janda atau duda”, di samping juga berarti ”suami atau istri” (Damais, 1959 : 690), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Paduka Tara Sri Mahaguru kemungkinan besar adalah janda almarhum Bhatara Guru II.
Selain itu, kiranya dapat disepakati bahwa kata tarunajaya pada hakikatnya bermakna sama dengan walajaya. Kendatipun demikian, masih diperlukan kehati-hatian sebelum menyamakan tokoh Tarunajaya dalam prasasti Srokadan dengan Walajayakrtaningrat dalam prasasti Selumbung. Kehati-hatian itu diperlukan karena Tarunaja dikatakan sebagai cucuk sang suami (yaitu Bhatara Guru II) dan Walajayakrtaningrat dikatakan sebagai putra sang permaisuri (yaitu paduka Tara Sri Mahaguru). Pernyataan terakhir ini menjadi lebih kuat, jika Bhatara Guru II dan Paduka Tara Sri Mahaguru pada mulanya memang merupakan pasangan suami-istri.
Atas dasar gambaran yang telah disajikan, dengan singkat dapat dikatakan bahwa bagaimanapun juga hubungan kekeluargaan mereka berdua belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Sumber-sumber sejarah yang muncul pada masa-masa mendatang diharapkan dapat menerangkan hal itu.
Dari prasasti Selumbung yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa Raja Walajayakrtaningrat beserta ibunya memberikan anugrah prasasti kepada tetua desa Salumbung (karaman ing salumbung). Dalam prasasti itu ditetapkan pelbagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh penduduk bagi bangunan suci Sang Hyang Candri ring Linggabhawana. Penganugerahan prasasti itu disaksikan pula oleh para pejabat tinggi kerajaan.
Raja Walajayakrttaningrat dan ibunya digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabumibanten (baca : Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten). Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Saka (Goris, 1954a : 44 ; Damais, 1955 : 99). Prasasti ini mencatat bahwa pada tahun 1259 Saka raja menetapkan pelbagai drwyahaji yang mesti dibayar oleh penduduk di wilayah pertapaan Langgaran. Batas-batas wilayah pertapaan dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan yang menyaksikan penganugerahan prasasti itu disebutkan pula di dalamnya. Pada bagian akhir prasasti terdapat sumpah kutukan (sapatha) yang pada intinya mengharapkan agar orang-orang yang melanggar ketetapan dalam prasasti itu mendapat mala petaka setimpal.
Dapat ditambahkan bahwa di Pura Tegeh Koripan (di puncak Gunung Penulisan) tersimpan sebuah arca yang bagian belakang arca itu terdapat prasasti yang terdiri atas sembilan baris tulisan dan keadaannya telah sangat aus. Pada baris ke delapan terdapat bagian yang berbunyi ”…t (asu) raratnabumi…” (Stutterheim, 1929 : 79). Belakangan, Damais membaca bagian itu sebagai berbunyi ”(–)—stasura ratnabumi banta,…”(1955 : 129) dan Goris membaca astasura-ratna bumi-banten (1954a : 44). Di atas prasasti terdapat candra sangkala berupa empat gambar, yakni paling depan tidak jelas karena sudah pecah, berikutnya gambar mata (dengan nilai 2), puluhannya parasu (kapak) yang bernilai 5, dan terakhir tidak terang, mungkin gunung (bernilai 7) atau laut (bernilai 4). Berdasarkan data itu, maka angka tahun prasasti tersebut mungkin 1254 atau 1257 Saka (Stutterheim, 1929 : 79). Di pihak lain, menurut perhitungan yang diterapkannya, Damais berpendapat bahwa prasasti itu berangka tahun 1352 Saka (1439) (1955 : 129-130). Jika arca tempat prasasti itu berangka tahun 1352 Saka (1430) (1955 : 129-130). Jika arca tempat prasasti itu ditulis adalah arca perwujudan Astasura Ratnabhumibanten, yang dibuat sekitar upacara sraddha-nya, maka pendapat Damais lebih beralasan.
Enam tahun setelah Astasura Ratnabhumibanten mengeluarkan prasasti Langgahan (1259 Saka), yakni pada tahun 1265 Saka (1343) ekspedisi tentara Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada menyerang Bali. Penyerangan itu berhasil menaklukkan Bali. Goris menyatakan bahwa dengan takluknya Bali kepada Majapahit maka berakhirlah kerajaan Bali Kuno yang merdeka (1965 : 47).
Kontak perang antara Bali dan Majapahit agaknya didahului dengan suasana tidak harmonis. Betapa tidak senangnya pihak Majapahit terhadap raja Bali dapat diketahui dari hasil goresan pena Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakrtagama. Pupuh 49 bait 4 kitab itu menggambarkan sebagai berikut :
”muwah rin sakabdesu masaksi nabhbhi,
Ikan bali nathanya dussila niccha
Dinon in bala bhrasta sakweh nasa
Ars salwir i dusta mandoh wisathta,”
(Pigeaud, 1960a : 36).
Artinya :
”Selanjutnya pada tahun Saka panah-musim-mata-pusat (1265 Saka), kepada raja Bali yang rendah budi dan hina dina dikirimlah tentara untuk membasmi, hancurlah semuanya, ketakutan semua penjahat (lalu) lari menjauh (cf. Slametmulyana, 1979
No comments:
Post a Comment