Tuesday 6 November 2012

Kontroversi Pilpres AS, Warisan Pendiri Bangsa

Pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat bisa jadi merupakan salah satu pemilu paling rumit di dunia. Di negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan berpendapat itu, sistem pemilunya malah mengadopsi sistem yang mengundang kontroversi.

Kontroversi itu terjadi akibat sistem pilpres AS yang menentukan pemenang dari jumlah suara electoral vote yang ditentukan oleh electoral college. Sistem ini merupakan warisan dari para pendiri negara AS saat menentukan sistem mereka. 

Sudah banyak kontroversi yang terjadi akibat adanya sistem electoral college ini. Salah satunya adalah pilpres tahun 1876 antara capres Rutherford B. Hayes dan Samuel Tilden, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Ohio dan New York. Ketika hasil pemilu telah diketahui, Tilden memimpin jumlah electoral vote 184-165 atas Hayes.

Namun saat itu ada 20 electoral vote di wilayah South Carolina, Oregon, Florida dan Lousiana yang masih bermasalah. Kedua belah pihak pun saling tuding telah terjadi kecurangan dalam pemilu tersebut. 

"Di Florida sangat sulit untuk menentukan siapa yang memenangkan pemilu secara adil. Beberapa kecurangan seperti perubahan tanda partai, pemilih yang memilih lebih dari sekali dan banyak lagi," ujar penulisi buku biografi Rutherford B. Hayes, Ari Hoogenboom, seperti yang dikutip dari findingdulcinea.com, Selasa (6/11/2012). 

Akhirnya untuk menentukan status terhadap 20 suara yang tersisa itu, dilakukan sebuah voting yang dilakukan oleh House of Representatives alias DPR AS. Dalam voting itu, 15 orang anggota komite yang ditunjuk memberikan hasil voting, dan dari voting itu memberikan suara 8-7 untuk kemenangan Hayes. Sehingga 20 electoral vote yang berada di wilayah yang bermasalah itu diberikan kepada Hayes.

Artinya, Hayes memenangkan pilpres AS dengan perolehan electoral vote 185-184. Banyak pihak yang menyebut bahwa keputusan itu merupakan kesepakatan politik antara dua partai, yang saat itu, AS juga sedang terlibat perang saudara. 

Kontroversi lain pada pemilu AS adalah pemilu tahun 1824 yang disebut sebagai pemilu paling bermasalah dan paling korup dalam sejarah AS. Pada pemilu tahun itu diikuti oleh dua kandidat kuat, yaitu John Quincy Adams dari partai Republik dan Andrew Jackson dari partai Republik (saat itu merupakan masa di mana hanya ada partai Republik sebagai satu-satunya parpol).

Saat penghitungan suara, Andrew Jackson diketahui memperoleh 41,3 persen atau sekitar 151.271 popular vote, sementara John Quincy Adams memperoleh popular vote sebanyak 113.122 atau sekitar 30,9 persen suara. 

Meskipun saat itu Andrew Jackson memperoleh suara lebih banyak, baik itu popular vote maupun electoral vote, dia belum bisa dilantik menjadi presiden. Menurut UU AS pada saat itu, setiap calon harus memenuhi syarat mayoritas suara, dan apabila tidak ada mayoritas suara maka akan dipilih dua yang mempunyai suara terbanyak yaitu, Andrew dan John Quincy.

Masalah tersebut akhirnya harus diselesaikan melalui mekanisme yang ditentukan oleh DPR. Salah satu calon, Henry Clay gagal memperoleh electoral vote untuk melaju ke putaran kedua. Clay yang juga menjabat sebagai Ketua DPR saat itu akhirnya memberikan dukungan untuk John Quincy. 

Akhirnya melalui sebuah pemilihan, yang diketahui selanjutnya sarat akan kesepakatan-kesepakatan politik, John Quincy terpilih menjadi Presiden AS ke-6 dengan 13 suara, diikuti Andrew Jackson dengan 7 suara. Setelah diangkat menjadi presiden, Quincy kemudian mengangkat Henry Clay sebagai Menteri Luar Negeri, yang membuat tuduhan terjadinya kolusi pada pemilu tersebut semakin kencang. 

Pemilu AS juga diwarnai kontroversi pada tahun 1888. Saat itu, dua kandidat yang sedang bertarung adalah Grover Cleveland dan Benjamin Harrison. Cleveland diketahui mempunyai 93,000 popular vote dan unggul dari Benjamin Harrison.

Namun saat penghitungan suara untuk electoral vote, Grover Cleveland kalah 233-168 dari Harrison. Ternyata diketahui, beberapa negara bagian yang mendukung Cleveland pada saat itu, electornya tidak memilih Cleveland. Misalnya, di New York dan Indiana. 

Kontroversi yang mungkin paling diingat orang adalah pilpres 2000, saat capres dari partai Demokrat, Al Gore berhadapan dengan capres dari partai Republik, George Bush. Al Gore berhasil memenangkan hati rakyat dengan merebut suara (popular vote) lebih banyak daripada Bush. Menurut laporan di sejumlah negara bagian, kedua capres bersaing dengan sangat ketat. Florida menjadi wilayah yang disorot pada saat itu. 

"Di Palm Beach, sejumlah besar suara yang ada didiskualifikasi. Suara-suara tersebut dianggap tidak sah karena diduga yang melakukan pengisian pada kertas suara adalah bukan orang yang berhak," demikian diberitakan media CNN kala itu. 

Melihat hal itu, kubu Bush melakukan penghitungan ulang dan akhirnya mereka melihat mereka unggul 300 suara dari jumlah total 6 juta suara. Bush pun meminta engadilan untuk intervensi dan melakukan penghitungan ulang. Pengadilan Tinggi Florida akhirnya memerintahkan untuk dilakukan penghitungan ulang secara manual. Mahkamah Agung pun kemudian ikut menangani masalah ini dan akhirnya menentukan standar baru untuk mencari pemenang di pemilu ini. 

Menurut lembaga politik Eagleton, dengan adanya standar baru yang ditetapkan ini, membuat beberapa wilayah di negara bagian kesulitan untuk melakukan proses penghitungan ulang. Saat itu, batas waktu yang diberikan oleh Mahkamah Agung AS adalah hingga 12 Desember.

Akhirnya setelah dilakukan penghitungan ulang, para electoral college bertemu, dan Bush menerima 271 suara dibandingkan dengan Al Gore yang hanya memperoleh 266 suara. Al Gore pun harus mengaku kalah pada Bush meski dirinyalah yang berhasil merebut popular vote lebih banyak dibanding Bush.

Banyak pihak yang menyebut sistem electoral college tersebut tidak merefleksikan keinginan atau aspirasi rakyat AS yang sebenarnya. Sebabnya, saat konvensi electoral college berlangsung, banyak hal bisa terjadi. Ini dikarenakan tidak ada ketentuan yang mewajibkan elector memberikan pilihan yang sama dengan amanat partai dan konstituennya.

Dalam electoral college, negara bagian boleh meminta ataupun tidak meminta para elector memilih berdasarkan hasil pilpres. Jadi setiap elector bisa saja memilih capres yang berbeda dari capres pilihan mayoritas rakyat di tingkat negara bagian.

Namun para pendukung sistem electoral college berargumen bahwa sistem pemilu langsung yang memperbolehkan rakyat memilih langsung presiden dan wakil presiden mereka, tidak adil bagi kesejahteraan rakyat. Karena nantinya wilayah yang padat penduduk yang memiliki suara lebih banyak, akan lebih diperhatikan daripada wilayah yang sedikit penduduknya dengan suara yang lebih sedikit.

No comments:

Post a Comment