MAHKAMAH Konstitusi (MK) membuat gebrakan lagi. Dalam sidang putusan yang berlangsung kemarin, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan sejumlah organisasi massa (ormas) dan masyarakat untuk menguji Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Permasalahan konstitusional yang diujikan dalam UU Migas antara lain mengenai kedudukan dan wewenang Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Menyangkut hal itu, di dalam keputusannya, MK menyatakan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas seperti diatur dalam UU No 22/2001 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.
Keputusan tersebut jelas bagaikan petir di siang bolong. Sangat mengejutkan karena itu berarti pemerintah harus membubarkan BP Migas.
Padahal, sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah pada 2002, BP Migas memiliki tugas strategis antara lain membina dan mengawasi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di dalam menjalankan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas Indonesia.
Karena begitu berkuasanya lembaga itu di hulu, mereka kerap menjadi tudingan ketika produksi minyak tidak tercapai. BP Migas juga menjadi sorotan ketika kontraktor minyak asing semakin mendominasi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Migas, selama periode 2001-2011, sebanyak 74% kegiatan usaha hulu migas dilakukan perusahaan asing.
Persentase perusahaan nasional hanya mencapai 22% dan konsorsium 4%.
Tidak mengherankan apabila UU Migas kemudian diberi cap membuka liberalisasi pengelolaan migas yang menurut konstitusi seharusnya sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi kemakmuran masyarakat.
Karena itu, tidak kurang mulai tokoh sekaliber Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin hingga Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan menganggap perlu membawa UU tersebut ke MK.
Saat ini, godam MK telah dipukulkan. MK telah mengambil keputusan. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, pemerintah dan DPR harus segera merespons putusan MK sebagai bagian dari sikap taat berkonstitusi. Di samping itu, perlu juga memberikan kepastian bagi para investor dan kontraktor yang sudah berada di hulu migas negara ini.
Ketidakpastian berpotensi membahayakan kondisi migas secara nasional. Apalagi di tengah terus turunnya produksi minyak secara nasional yang hingga akhir tahun ini diprediksi hanya akan mencapai 870 ribu barel per hari (bph).
Jumlah tersebut merupakan produksi minyak terendah sejak 1970 dengan lifting pada kisaran 853 ribu bph. Kerja keras menanti di sektor hulu.
Dengan demikian, kini bukan saatnya hanya berputar-putar dan memberikan komentar serta wacana atas keputusan MK. Respons cepat, tepat, dan cerdas sangat ditunggu untuk tegaknya kedaulatan energi RI.
No comments:
Post a Comment