Tuesday, 27 November 2012

Potret Suram Kemiskinan di Balik Megahnya Properti Hong Kong


Tinggal dalam rumah berukuran kecil dapat meningkatkan efisiensi, kesederhanaan, dan keberlangsungan alam. Beberapa organisasi non-profit dan kantor-kantor berita internasional yang menaruh perhatian besar pada keberlangsungan lingkungan cenderung mendorong penduduk dunia untuk tinggal dalam rumah nyaman, sehat, dan berukuran kecil.

Namun, gerakan menghimbau masyarakat menggunakan rumah-rumah kecil tersebut tampaknya tidak relevan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dan China. Pada negara-negara berkembang itu, berbagai cara mampu dilakukan oleh penduduknya untuk bertahan hidup.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat sisi lain kota-kota besar di Indonesia yang dihiasi oleh bedeng-bedeng semi permanen di sisi sungai atau di kolong-kolong jembatan. Sebagai reaksi atas rumah-rumah tidak layak huni tersebut, saat ini Indonesia, khususnya DKI Jakarta, tengah berusaha mengentaskan persoalan rumah-rumah kumuh tersebut. Setidaknya, tahun ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan 100 RW kumuh di Jakarta akan selesai dibenahi.

Berbeda dengan Indonesia, Reuters, Selasa (6/11/2012), melansir sebuah laporan yang mengungkapkan gaya hidup masyarakat miskin di Hong Kong, China. Mereka tinggal di antara gedung-gedung pencakar langit, sebagian properti-properti termahal di dunia, dan apartemen kelas atas.

Namun, kehidupan mereka tidak dalam suasana glamor Hong Kong. Para penduduk miskin itu justru tinggal di dalam area industri. Mereka menempati ruang-ruang kecil dalam gedung-gedung pabrik yang secara ilegal telah dialihfungsikan sebagai tempat tinggal. Pada sebuah gedung, setidaknya ada 30 orang menyewa ruangan sempit di dalam gedung tersebut.

"Dalam keadaan normal, tempat tinggal semacam ini tidak layak digunakan sebagai tempat tinggal bagi manusia. Namun, bagi sebagian orang, termasuk saya, tinggal di tempat ini hanya karena harga sewanya murah," kata salah seorang satu penyewa bernama Yu Wai-chan.

Saat ini ada sekitar 100.000 penduduk Hong Kong tinggal dalam tempat serupa seperti Yu Wai-chan. Sebenarnya, harga sewa untuk sebuah ruang sempit yang disewa oleh Yu dan ratusan ribu warga Hong Kong lainnya tidak tergolong murah. Dengan melonjaknya harga properti, harga sewa ruang-ruang tersebut juga melonjak hingga 20 % pada bulan lalu.

Ruang-ruang sewa berukuran sangat kecil itu sering disebut dengan "rumah tempat tidur". Harga sewa ruang-ruangan itu awalnya hanya sebesar 13 dolar AS. Saat ini, penduduk Hong Kong yang ingin tinggal di tempat tersebut harus merogoh kocek hingga 170 dolas AS atau sekitar Rp 1.600.000. Pemerintah setempat mengatakan, jika dihitung perkaki persegi, bahkan harga tersebut lebih mahal daripada harga sewa properti mewah.

No comments:

Post a Comment