Tuesday, 27 November 2012

Fenomena Artis di Panggung Politik: Oneng Mau Jadi Gubernur


Di antara pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yang bakal digelar Februari 2013 mendatang, ada nama Rieke Diah Pitaloka. Tapi kaum awam tak banyak yang mengenal nama itu. Berbeda halnya bila Oneng disebut, banyak yang akan langsung kenal.

Ya, Rieke tenar sebagai Oneng dalam sebuah sinetron Bajaj Bajuri. Di sitkom populer 2002-an, Rieke memerankan seorang istri yang lambat berpikir aliaso'on (blo'on).

Perempuan kelahiran Garut 38 tahun adalah calon gubernur yang dijagokan kubu PDI-P. Demi menepis imej yang melekat akibat perannya, usai menjalani pemeriksaan kesehatan di RS Hasan Sadikin Bandung akhir pekan lalu, satu-satunya calon Gubernur Jabar perempuan tersebut menyatakan, ingatan dan otaknya bagus.

"Ini menjadi bukti yang orang sangkakan selama ini, bahwa saya o'on (blo'on) dan tidak bisa apa-apa seperti Oneng di sinetron tidak benar," ucapnya.

Selain pemeriksaan kejiwaan, Rieke mengaku berhasil menjawab 540 soal pertanyaan selama 45 menit. Kendati namanya lebih banyak dikenal sebagai selebritas, sepak terjang Rieke sebagai politisi lebih terlihat.
Sebagai anggota DPR RI komisi IX, Rieke kerap terlihat vokal mengkritisi penanganan ketenagakerjaan atau masalah buruh. Ia juga merupakan salah satu anggota panitia khusus Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Yang terakhir, iklan "TKI On Sale" di Malaysia yang menghebohkan. Rieke menilainya persis seperti perbudakan di Amerika. Dia menganggap hal itu sebuah kemunduran, sebab Indonesia dianggap ras rendahan. "Sebuah arogansi yang menginjak-injak kemanusiaan," ujarnya. 
Rupanya, Rieke cukup sigap untuk mengikis imej negatif yang telanjur melekat dalam dirinya. Situs riekediahpitaloka.com berisi beragam hal "berat" tentang dirinya mulai dari karya sastra, pemikirannya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan wanita. Adapula dokumentasi dan hasil sosialisasinya ke berbagai daerah di Jawa Barat menjelang pemilihan Gubernur Februari 2013 mendatang.

Nama selebritas lain yang pernah menghiasi berita politik Indonesia adalah artis sensasional Julia Perez. Artis yang bernama asli Yulia Rachmawati pernah dicalonkan menjadi Wakil Bupati Pacitan, Jawa Timur pada 2010 silam. Saat itu artis yang dikenal dengan nama Jupe dicalonkan oleh delapan partai koalisi yakni Partai HANURA, PAN, Gerindra, PBB, Partai Patriot, PDP, PKPB, dan PKPI.

Suara-suara sumbang mengiringi kabar pencalonan artis seksi itu di kota kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Demi niatnya menjadi Wabup, Jupe sempat sowan ke Pacitan dan mendatangi satu ponpes dan Jupe Center di sana. Cita-cita Jupe akhirnya kandas setelah mengundurkan diri di tengah pro-kontra pencalonannya.

Plus Minus Artis-Politisi
Dua nama di atas hanya secuil dari seleb yang kemudian naik panggung politik di Indonesia. Dede Yusuf kini menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedy Mizwar yang menjadi calon Wakil Gubernur Jabar, Dicky Chandra pada pilkada Kabupaten Garut, Ayu Azhari, Desi Ratnasari, dan Syahrini yang dilirik dalam pilkada Sukabumi, hingga Andre "Stinky", Taulany dalam pilkada Tangerang Selatan.  

Keuntungan terbesar menjadi seorang selebritas adalah selalu paling cepat dikenali. Bila di politik, tentu hal ini memudahkan untuk menggiring banyak pemilih. Di sisi lain, citra keartisan bisa menjadi bumerang karena imej negatif.

Rieke misalnya. Di benak masyarakat, Rieke adalah Oneng yang lemot alias lamban berpikir. Sementara Julia Perez dikenal sebagai artis yang di hampir semua penampilannya mengenakan pakaian seksi. Dia bahkan membintangi iklan sebuah produsen kontrasepsi kondom, yang masih tabu di sebagian kalangan masyarakat Indonesia.

Di Balik Fenomena Artis dan Politik
Semarak artis yang masuk di panggung politik, menurut pengamat  politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mulai terjadi sejak Pemilihan Umum 2004 silam. Fenomena ini semakin mewabah pada 2009 dan terus berlanjut hingga kini.

Dia membeberkan, krisis kepemimpinan dan tidak berjalannya  kaderisasi partai politik untuk melahirkan pemimpin yang laku jual (marketable) mencipta adanya para politisi karbitan. "Bukti jelas adanya kegagalan demokrasi parpol, sistem pemilu dan kaderisasi parpol," ungkapnya kepadaVIVAlife.

Dia menegaskan, fenomena artis dalam pilkada yang banyak terjadi di daerah justru tak tampak dalam pilkada DKI Jakarta. Meski di awal, beberapa nama artis seperti Wanda Hamidah dan Tantowi Yahya disebut-sebut, namun tak ada yang benar-benar naik ke pentas pertarungan di ibukota.

Hal ini, menurut Siti, karena semakin maju penduduk suatu wilayah, akan semakin kritis terhadap pemimpin politiknya. Dan, parpol pun lebih teliti merekrut calon yang mewakili mereka. "Parpol lebih hati-hati, calon juga mengaca diri sendiri."

Siti memaparkan, dulu artis hanya ikut berpartisipasi untuk menghibur di pesta rakyat daerah maupun nasional. Tetapi sekarang banyak parpol yang justru merekrut artis untuk mempertahankan kredibilitas sebagai parpol besar.

"Jangan hanya untuk merebut kursi di legilatif atau jabatan di eksekutif sehingga menempatkan orang yang tak dapat dipertanggungjawabkan di masa depan, bahkan dapat merusak," ungkapnya.

Kalaupun mereka yang tak berkompeten menduduki jabatan strategis, Siti mengatakan, takkan memberi pengaruh apapun. "Datangnya tidak menggenapkan, perginya tidak mengganjilkan. Ada ataupun tidak ada tak berpengaruh sama sekali."

Implikasi selanjutnya yang lebih serius dari sosok yang tidak kredibel dalam posisi strategis akan merugikan rakyat. "Kalau seorang kader di DPR atau pemimpin tidak punya cita-cita, skill, punya argumen untuk program-programnya maka sulit menjalankan tugas yang dia emban," ucapnya.

Bukan hanya Indonesia yang mengalaminya. Negara tetangga Thailand juga mengalami hal yang mirip. Di Thailand, seringkali terjadi pergantian kepemimpinan  karena mosi tak percaya yang berujung pemakzulan. Bedanya dengan Indonesia, di Thailand yang berlaku sistem parlementer, para pengusaha lah yang banyak terjun ke politik.

Fenomena politik seperti ini, menurut Siti memang menjadi ciri khas demokrasi di negara-negara berkembang

No comments:

Post a Comment