Foto : Wikispaces.com |
Sebuah masalah yang terus tumbuh di Afrika adalah jutaan senapan serbu AK-47 diselundupkan selama tahun 1990-an dan berada di tangan anak-anak dan remaja secara ilegal. Bahkan polisi setempat mengalami kesulitan berurusan dengan hal ini. Misalnya, pada 10 November lalu, 32 polisi Kenya tewas ketika disergap oleh suku Turkana yang bersenjata AK-47, RPG, dan senapan mesin. Suku Turkana mencuri ternak dari tetangga mereka suku Samburu dan selalu waspada terhadap kemungkinan adanya polisi yang mencari mereka. Kedua suku itu telah saling mencuri ternak satu sama lain, dan memperebutkan hak air dan penggembalaan untuk generasi mereka selanjutnya.
Mencuri ternak awalnya hanya sebuah kegiatan "iseng" belaka, namun setelah pada tahun 1990-an mereka dikenalkan dengan senapan-senapan serbu murah, mencuri ternak menjadi sumber utama kekerasan dan kegiatan di sub-Sahara Afrika. Faktanya, hal semacam ini sekarang telah banyak membunuh manusia daripada perang dan pemberontakan, namun kurang mendapat perhatian.
Sebagian besar, sumber dari kekacauan ini disebabkan mudahnya akses untuk mendapatkan AK-47 yang murah. Akibatnya pencurian ternak, yang sudah menjadi "tradisi" masa lampau, telah banyak menumpahkan darah. AK-47 telah "kutukan" bagi Afrika sebagaimana penyakit kesehatan yang sejak dulu sudah menggerogoti Afrika. Tidak hanya di negara-negara yang kita sering dengar, seperti Somalia, Kenya, Uganda, Angola, Kongo, dan Sudan namun masih banyak lagi.
Ketersediaan senjata api yang murah dan banyak telah menjadikan tingkat pembunuhan di Afrika Selatan, per kapita, sepuluh kali dari Amerika Serikat. Di Kenya barat saja ada lebih dari seribu kematian akibat bentrokan antar suku di beberapa tahun terakhir. Kekerasan telah menyebabkan ribuan orang meninggalkan rumah mereka dan kolapsnya pemerintahan daerah di banyak wilayah. Mengirimkan tambahan polisi dan tentara sepertinya belum mampu menyelesaikan penyebaran dan penyimpanan AK-47 ini. Sipil pengguna AK-47 sangat rapi dalam menyembunyikan senjatanya dan bala bantuan pemerintah kesulitan untuk menemukannya. Pada akhirnya, bala bantuan polisi dan tentara pergi dan AK-47 tetap ada. Organisasi bantuan asing telah mempekerjakan banyak sipil bersenjata untuk mengawal misi bantuan dan keamanan dari ancaman kelompok-kelompok bersenjata. Namun tetap saja, hal ini tidak membuahkan hasil.
Kedatangan jutaan AK-47 ke Afrika diawali dari surplusnya beberapa juta senapan serbu AK-47 ketika Perang Dingin telah berakhir, yang akhirnya dibuang ke Afrika pada tahun 1990-an. Puluhan juta AK-47 yang dikumpulkan oleh pemerintah Komunis selama bertahun-tahun tiba-tiba dijual ketika kediktatoran jatuh dan terpecah belah antara tahun 1989-1991. Semua karena pasar senjata kala itu mengalami titik jenuh. Yang tersisa hanyalah pasar Afrika namun itupun harus dijual dengan murah. Bayangkan, dalam suatu transaksi, bisa saja Anda mendapatkan sebuah AK-47 dengan harga 20 dolar saja.
Akibat dari AK-47 yang murah, anak-anak usia 10-14 tahun pun dijadikan tentara. Sebuah perkembangan baru dari senjata tradisional (tombak, pedang, busur) yang memerlukan otot. Sekarang, jika Anda bisa mengangkat dan menarik pelatuk AK-47 yang beratnya 4,5 kg, maka Anda sudah bisa menjadi pembunuh. Fenomena tentara anak-anak telah mengubah segalanya, para panglima perang menculik anak-anak dan mencuci otak mereka dengan cepat untuk dijadikan tentara.
Puluhan juta penduduk Afrika meninggalkan rumah mereka untuk menghindari teror, dan banyak dari pengungsi yang meninggal karena kelaparan atau penyakit. Serba salah, bertahan adalah mati dan mengungsi juga sama dengan menjemput kematian. Ini merupakan ketakutan terbesar yang menggangu masyarakat dan perekonomian, yang mana mereka selalu dihadapkan dengan laras AK-47 yang murah. Tentara anak-anak tidak memiliki daya akurasi yang baik dalam menembak, namun jika mereka sudah dekat dengan Anda, sama saja, mereka bisa menimbulkan kengerian yang tidak terbayangkan.
Di Afrika, Senjata adalah "Budaya"
Masuknya AK-47 yang murah turut andil dalam menciptakan "budaya senjata" di Afrika, yang telah menyebabkan peningkatan produksi senjata buatan lokal. Di Nigeria, misalnya, ada "senapan Awka," dinamai sesuai nama kota Awka, yang telah mengembangkan tradisi senjata api buatan tangan sejak tahun 1960-an, saat itu adalah masih bagian dari Republik separatis Biafra.
Foto: thecuttingedgenews.com |
Para pemberontak Biafra memerlukan senjata dari Awka, yang telah menjadi pusat pengerjaan logam selama lebih dari seribu tahun, mengerahkan banyak pekerja logam untuk membuat senjata api. Pembuatan senjata berlanjut setelah perang, terutama untuk memasok pemburu, gangster, dan siapa pun yang membutuhkan senjata api ilegal untuk alasan apapun. Yang paling murah adalah pistol tembakan tunggal kaliber 10,4 mm, harganya 25 dolar dan senapan 20 putaran kaliber 15.6mm dengan harga 40 dolar. Senapan ini biasanya digunakan oleh para preman atau orang biasa untuk melindungi rumahnya. Jangan tanya soal keakuratannya, senapan Awka ini hanya akurat untuk jarak hingga 4 meter saja. Sangat tidak direkomendasikan untuk berburu.
Para pembuat senjata Awka juga membuat senapan khusus laras ganda dan tunggal untuk berburu dengan harga sekitar 80-250 dolar. Ada juga revolver 9mm buatan tangan seharga 100 dolar. Perlu Anda ketahui, pengguna senjata buatan Awka memiliki resiko bahaya yang sama dengan target yang akan ditembak karena kurangnya fitur keselamatan alias cenderung meledak di tangan ketimbang memuntahkan peluru ketika pelatuk ditarik.
Akhir kata, fenomena Ak-47 ini memang kurang mendapat perhatian dunia. Tidak banyak usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal ini. Anak-anak pun sudah bersenjata, masih adakah tempat aman di Afrika?.
No comments:
Post a Comment