Yang dibicarakan tentu saja jeroan KPK. Dalam rapat dengan eks penyidik KPK dari Polri ada yang curhat mengenai perbedaan perlakuan. Ada penyidik yang menjadi anak emas pimpinan KPK dan ada pula yang diperlakukan sebagai anak perak.
Juga mengenai penetapan tersangka. Ada 'pemaksaan' seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal belum cukup bukti.
Selain itu, mekanisme penyadapan dikeluhkan. Menurut mantan penyidik KPK itu, penyadapan dikeluarkan sebelum terbitnya surat perintah penyidikan alias sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Hal lainnya ialah pimpinan KPK tidak solid.
Lain halnya curhat eks penyidik KPK dari kejaksaan. Mereka antara lain mengatakan tidak ada penetapan tersangka tanpa ada proses ekspose. Dalam ekspose pun penyidik dan jaksa ikut di dalamnya.
Penjelasan eks penyidik KPK dari Polri dan kejaksaan memang berbeda. Perbedaan itu jelas menunjukkan dinamika yang ada di KPK.
Kita yakin tidak semua curhat eks penyidik KPK dari Polri itu mengada-ada atau sekadar ingin menajamkan konflik antara Polri dan KPK. Namun, kita percaya apa yang disampaikan para penyidik itu ada pula benarnya. Para mantan penyidik KPK itu adalah perwira yang tentu saja tidak ingin reputasi mereka jatuh. Apalagi kedatangan mereka ke DPR didampingi Kepala Bareskrim Polri Komjen Sutarman, perwira tinggi bintang tiga.
Dari semua keluh kesah yang disampaikan eks penyidik KPK itu, kita berkesimpulan bahwa perlu ada lembaga pengawas terhadap KPK. Sebuah lembaga superbody tanpa ada lembaga pengawas berpotensi mendorong lembaga itu bertindak suka-suka.
Institusi penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian mempunyai badan pengawas. Ada Komisi Kepolisian Nasional dan ada pula Komisi Kejaksaan. Untuk para hakim pun ada Komisi Yudisial.
Namun, mengapa KPK dengan sejumlah kewenangan istimewa itu tidak memiliki lembaga pengawas?
Jika ada lembaga pengawas, kita yakin KPK tidak lagi suka-suka menebar janji yang menjadi mirip teror. Kita tentu masih ingat KPK menyatakan akan ada menteri aktif menjadi tersangka. Akan ada ketua partai politik menjadi tersangka. Atau pernyataan KPK bahwa Wakil Presiden Boediono berperan dalam pemberian bailoutBank Century sebesar Rp6,7 triliun.
Pernyataan-pernyataan KPK itu menjadi bola liar sekaligus menimbulkan rasa tidak tenteram. Malah bisa jadi, karena pimpinan sudah mengumbar janji, kasus yang belum matang pun dipaksa naik status menjadi penyidikan agar pimpinan tidak kehilangan muka.
Padahal, semestinya sebagai lembaga penegak hukum KPK berbicara atas dasar fakta hukum. KPK berbicara siapa yang menjadi tersangka dan apa barang buktinya. Bukan menjanjikan ada tersangka atas kasus yang masih dalam status penyelidikan.
No comments:
Post a Comment