Sebongkah gula merah banyak bisa kita temui di seluruh daerah di Indonesia. Di seantero pelosok Tanah Air, banyak warga yang membuat gula merah secara sendiri-sendiri di dapur rumah, dengan peralatan seadanya.
Hal ini juga yang dilakukan Musringah, warga asli di Desa Krendetan, Kecamatan Begelen, Kabupaten Purwerejo, beberapa tahun yang lalu.
Namun, ia sadar jika produk gula merah yang dibuatnya secara tradisional hanya bisa mendatangkan keuntungan yang biasa saja. Padahal, di tempatnya tinggal pohon kelapa amatlah melimpah.
"Saya berfikir, kalau hanya dijadikan gula merah seperti biasa saja, keuntungannya juga akan biasa saja. Lagipula, dulu itu harga gula merah amat murah sekali," ujarnya ketika ditemui VIVAnews di Jakarta.
Di tempatnya tinggal, harga gula merah yang tidak diolah paling mahal hanya mencapai Rp8 ribu saja per kilo. Akhirnya, Musringah memutuskan untuk belajar cara mengolah gula merah agar bisa mempunyai nilai lebih.
Tujuan Musringah, akhirnya tertuju ke Kulonprogo, di mana gula merah yang biasa dijual dalam batokan diubah menjadi layaknya gula pasir. "Kami mulai belajar membuatnya di sana dan ternyata kami juga bisa membuatnya," kenangnya.
Setelah itu, Musringah mencoba memproduksinya sendiri di rumah. Tenyata, belajar saja tidak cukup. Persoalan lain yang kerap kali dihadapi sektor usaha kecil menengah, yaitu permodalan, juga menghadang dirinya.
Tidak kurang akal, akhirnya dia mengajak 19 orang temannya untuk membentuk kelompok usaha bersama (KUB). Saat itu, karena tidak punya modal yang besar tiap anggota hanya mampu menyumbang Rp50 ribu per orangnya.
"Kami hanya bisa mengumpulkan Rp50 ribu per orang. Nanti, anggota akan menabung lagi kalau memang punya uang lebih," ujarnya.
Namun, kini Musringah harus menghadapi kendala lagi karena yang aktif dalam KUB yang dipimpinnya hanyalah 6-7 orang. Padahal, menurutnya, saat ini KUB pimpinannya sudah mengekspor gula merah kristal ini ke Amerika, Eropa, dan Malaysia.
Musringah mengaku belum puas. Sebab, pihaknya masih menggunakan perantara untuk mengekspor produknya keluar negeri. Ini berarti ia masih harus membagikan keuntungan dengan pengepul. "Tiap dua minggu sekali ada pengepul dari Yogyakarta yang datang untuk mengambil gula ke tempat kami," katanya.
Sekali menjemput, biasanya pengepul bisa membawa sekitar satu kuintal gula dengan harga Rp1,7 juta, yang artinya dijual Rp17 ribu per kilonya. Namun, harga Rp17 ribu bukanlah harga mati karena harga gula berubah sesuai dengan permintaan yang ada. Malah, kadang bisa mencapai Rp12.500 per kilogramnya.
Musringah pun mengaku walaupun kelompoknya sudah melakukan ekspor, namun pendapatan yang didapatkan masih belum pasti. Hal ini disebabkan pemasok yang diandalkannya untuk mengirimkan bahan baku masihlah belum profesional.
"Jadi, kadang mereka mengirim, tetapi ada kalanya karena malas bekerja mereka tidak mengirimkan apa-apa kepada kami," ujarnya.
Hal inilah yang dinilai Musringah sebagai penghambat kemajuan dari usaha yang baru dirintis bersama teman-temannya setahun belakangan ini. Malah, ia mengungkapkan banyak orang yang datang ke tempatnya untuk meminta agar gula yang diberi nama gula semut ini bisa diekspor ke negara mereka.
Namun, tawaran tersebut terpaksa ditangguhkannya karena belum ada kepastian mengenai produksinya. "Kami takut, kalau sudah meneken komitmen nanti pasokannya berkurang, nanti kami juga yang repot," dia mengakui.
Musringah mengisahkan suatu waktu ada importir yang datang ke tempatnya dan menawarkan untuk membantu permodalan. Tapi, hal itu harus ditolaknya karena alasan yang sama.
Soal omzet, Musringah mengakui pemasukannya masih tidak menentu. "Tapi yang pasti dari ekspor itu tiap bulannya kami mendapat Rp17 juta."
No comments:
Post a Comment