Jumat pekan lalu itu, 16 November 2012, Kandil tengah berkunjung ke sebuah rumah sakit Shifa di kota Gaza bersama Perdana Menteri Palestina dari Hamas, Ismail Haniyeh. Mereka didatangi seorang lelaki yang menggendong bocah martir bernama Mahmoud Sadallah. Dia lalu menyerahkan mayat belia itu kepada dua petinggi negara itu.
Ayah Mahmoud, Iyad, tampak lunglai, menyandar di tembok sambil menangis sesenggukan. Bibi Mahmoud, Hanan Sadallah, mengatakan adalah Israel yang merenggut nyawa keponakannya.
"Yang saya lihat hari ini di rumah sakit, bocar yang terluka itu dan menjadi martir, yang darahnya masih menempel di tangan dan pakaian saya ini, adalah sesuatu yang tidak bisa dibiarkan," kata Perdana Menteri Kandil, sebagaimana dilansirWashington Post.
Keluarga Sadallah mengatakan bocah itu tengah bermain di sebuah gang dekat rumah ketika terbunuh. Bersama dia, tewas juga seorang pemuda berusia 20 tahunan. Tidak ada saksi mata yang menyaksikan tragedi itu. Namun, di tempat kejadian, terlihat bekas pecahan mortir di tembok dan kaca-kaca yang pecah berantakan.
Sepupu Mahmoud yang berusia 12 tahun, Fares, juga terluka. Pecahan mortir menancap di kakinya. "Sangat menakutkan. saya tidak bisa tidur semalaman," kata Fares, gemetar.
Selama lima hari serangan Israel terhadap Gaza, belasan anak tak berdosa tewas. MenurutReuters, hingga Minggu dini hari, 18 November, telah 47 orang kehilangan nyawa, di mana 12 di antaranya adalah anak-anak berusia 1-14 tahun. Lebih dari 300 orang terluka.
Sejak Rabu, Israel melancarkan Operasi Pilar Pertahanan dan meluncurkan 950 roket ke lebih dari 200 titik di wilayah Gaza. Negeri Zionis ini berdalih serangan ini adalah semata aksi balasan atas serangan roket Hamas yang menewaskan tiga serdadu Israel.
Sepupu Mahmoud yang berusia 12 tahun, Fares, juga terluka. Pecahan mortir menancap di kakinya. "Sangat menakutkan. saya tidak bisa tidur semalaman," kata Fares, gemetar.
Selama lima hari serangan Israel terhadap Gaza, belasan anak tak berdosa tewas. MenurutReuters, hingga Minggu dini hari, 18 November, telah 47 orang kehilangan nyawa, di mana 12 di antaranya adalah anak-anak berusia 1-14 tahun. Lebih dari 300 orang terluka.
Sejak Rabu, Israel melancarkan Operasi Pilar Pertahanan dan meluncurkan 950 roket ke lebih dari 200 titik di wilayah Gaza. Negeri Zionis ini berdalih serangan ini adalah semata aksi balasan atas serangan roket Hamas yang menewaskan tiga serdadu Israel.
Israel rupanya murka bukan buatan. Menteri Dalam Negeri Israel, Eli Yishai, sampai bersumpah akan menghancurkan seluruh infrastruktur Gaza, seperti jaringan listrik dan air, jalanan, transportasi dan komunikasi. "Tujuan dari operasi ini adalah mengembalikan Gaza ke Abad Pertengahan. Hanya dengan cara ini, Israel akan tenang selama 40 tahun," kata Yishai, berapi-api.
Bocah-bocah martir
Tragisnya, bocah-bocah seperti Mahmoud ikut jadi korban. Selama 24 jam pertama serangan Israel, lima orang tewas, di antaranya anak-anak. Salah satunya adalah Omar, 11 bulan, bocah warga kota Zaytoun, dekat perbatasan utara Israel.
Ayahnya, Jihad Misharwi, kaget bukan kepalang saat pulang menemui rumahnya telah rata dengan tanah. "Orang-orang bilang semua baik-baik saja. Saya minta mereka untuk menunjukkan di mana anak saya," kata Misharwi, dikutip Telegraph.
Dan ternyata situasinya sungguh tidak baik-baik saja. Misharwi mendapati Omar telah membujur di kamar mayat. Adik iparnya juga tewas, sementara putra sulungnya, Ali, 4, mengalami luka-luka.
Dan ternyata situasinya sungguh tidak baik-baik saja. Misharwi mendapati Omar telah membujur di kamar mayat. Adik iparnya juga tewas, sementara putra sulungnya, Ali, 4, mengalami luka-luka.
"Memangnya apa yang dilakukan anak saya? Kami tidak tergabung di faksi politik apapun. Tidak ada Hamas di wilayah ini, tidak ada tempat latihan militer, tidak ada roket yang diluncurkan," kata Mishrawi tersedu-sedan, sambil menggendong jenazah Omar.
Masih di kota ini, Naeema Dalloul terpaksa tinggal bersama 15 anggota keluarganya di satu kamar untuk berlindung. "Semua anak dan orangtua di keluarga kami berdesakan di satu tempat tidur ketika malam tiba," kata ibu tujuh anak ini, kepada ElectronicIntifada.net.Sebelumnya, Dalloul bersama anak-anaknya tinggal di kota Tal al-Hawa, sebelah barat Gaza. Namun kota ini digempur militer Israel sejak Rabu. Akhirnya, mereka sekeluarga memutuskan mengungsi.
Namun, keputusan ini ternyata tidak menguntungkan mereka. Pasalnya, tentara Israel mulai menembak sembarangan, membabi buta. "Serangan mereka mulai menyebar, tidak ada yang aman," katanya.
Kengerian yang sama dialami anak-anaknya. "Putri saya yang berusia empat tahun, Tala, bersembunyi di balik saya ketika serangan Israel terdengar," kata Dalloul.
Akibat perang berkepanjangan, bocah-bocah di Gaza menderita trauma hebat. Hussam Nunu, Kepala Komunitas Gaza untuk Program Kesehatan Mental, mengatakan setiap tahun hampir sepertiga dari 1.500 pasiennya adalah anak-anak.
Anak-anak ini umumnya menderita stres dan menjadi korban kekerasan. "Setelah serangan besar Israel empat tahun lalu, jumlah anak-anak yang mengalami post-traumatic stress disorder meningkat," katanya.
Kala itu, antara tahun 2008-2008, serangan Israel selama tiga minggu telah menewaskan 1.400 warga Palestina. Kebanyakan adalah warga sipil. Di seberang sana, hanya 13 tentara Israel yang kehilangan nyawa.
Masih di kota ini, Naeema Dalloul terpaksa tinggal bersama 15 anggota keluarganya di satu kamar untuk berlindung. "Semua anak dan orangtua di keluarga kami berdesakan di satu tempat tidur ketika malam tiba," kata ibu tujuh anak ini, kepada ElectronicIntifada.net.Sebelumnya, Dalloul bersama anak-anaknya tinggal di kota Tal al-Hawa, sebelah barat Gaza. Namun kota ini digempur militer Israel sejak Rabu. Akhirnya, mereka sekeluarga memutuskan mengungsi.
Namun, keputusan ini ternyata tidak menguntungkan mereka. Pasalnya, tentara Israel mulai menembak sembarangan, membabi buta. "Serangan mereka mulai menyebar, tidak ada yang aman," katanya.
Kengerian yang sama dialami anak-anaknya. "Putri saya yang berusia empat tahun, Tala, bersembunyi di balik saya ketika serangan Israel terdengar," kata Dalloul.
Akibat perang berkepanjangan, bocah-bocah di Gaza menderita trauma hebat. Hussam Nunu, Kepala Komunitas Gaza untuk Program Kesehatan Mental, mengatakan setiap tahun hampir sepertiga dari 1.500 pasiennya adalah anak-anak.
Anak-anak ini umumnya menderita stres dan menjadi korban kekerasan. "Setelah serangan besar Israel empat tahun lalu, jumlah anak-anak yang mengalami post-traumatic stress disorder meningkat," katanya.
Kala itu, antara tahun 2008-2008, serangan Israel selama tiga minggu telah menewaskan 1.400 warga Palestina. Kebanyakan adalah warga sipil. Di seberang sana, hanya 13 tentara Israel yang kehilangan nyawa.
"Sejak saat itu, kami sering melakukan banyak langkah pendekatan. Tapi, ketika serangan besar terjadi lagi seperti sekarang, tidak ada yang bisa dilakukan," kata Nunu, pasrah.
Namun, tak semua bocah menangis ketakutan. Kendati kematian mengintai di mana-mana. Banyak juga yang membuat mereka menjadi tak kenal kata takut.
Namun, tak semua bocah menangis ketakutan. Kendati kematian mengintai di mana-mana. Banyak juga yang membuat mereka menjadi tak kenal kata takut.
"Saya tidak takut roket yang ditembakkan Yahudi," kata Mohammed Bakr, 10 tahun, saat diwawancara di depan kamar mayat rumah sakit Shifa, pekan lalu.
Bakr dan sepupunya, Udai, 12 tahun, telah sering melihat mayat, terutama saat gempuran Israel empat tahun lalu. Orangtua keduanya tidak mampu melarang anak-anak ini menjauhi wilayah konflik.
Bakr dan sepupunya, Udai, 12 tahun, telah sering melihat mayat, terutama saat gempuran Israel empat tahun lalu. Orangtua keduanya tidak mampu melarang anak-anak ini menjauhi wilayah konflik.
"Orangtua memerintahkan kami tinggal di rumah, tapi kami tidak mau. Kami ingin melihat para martir," kata Mohammed, sambil tersenyum lebar
No comments:
Post a Comment