Tuesday, 20 November 2012

Konflik di Gaza Bisa Ganggu Ekonomi Dunia. Harga minyak di pasar internasional sudah mulai naik

Konflik bersenjata antara Israel dengan kelompok Hamas di Jalur Gaza dalam lebih dari lima hari terakhir tidak saja menimbulkan banyak korban jiwa, terutama di kalangan warga sipil. Konflik itu pun turut menghantam perekonomian Israel dan Palestina.
Serangan udara Israel ke Gaza November 2012
Tidak hanya itu, muncul kekhawatiran di kalangan media massa dan pengamat bahwa - seperti konflik sebelumnya di Timur Tengah - serangan Israel di Gaza berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi dunia.
Harga minyak di pasar internasional sudah mulai naik, walau belum signifikan. Namun, kenaikan harga minyak terjadi saat ekonomi global masih belum pulih sepenuhnya dari resesi dan permintaan justru bakal bertambah menjelang musim dingin di AS dan Eropa serta negara-negara lain pada akhir tahun. 

Apalagi sudah muncul pula seruan dari milisi yang disegani Israel, Hisbullah, kepada negara-negara Arab agar mengurangi produksi minyak mereka, atau menaikkan harganya di pasar dunia. Ini dianggap cara efektif untuk membuat para konsumen utama yang merupakan sahabat Israel, seperti AS dan Eropa, agar bisa menekan negara zionis menghentikan serangan ke Gaza.   

Konflik ini - yang disebut Israel sebagai operasi militer Pillar of Defense untuk menghantam kelompok Hamas di Gaza yang bersenjatakan roket - sudah menimbulkan keresahan di kalangan pelaku  industri wisata, baik di Israel maupun Palestina.

Banyak turis yang kini berpikir dua kali untuk mengunjungi kota-kota wisata di dekat zona perang, seperti Yerusalem di Israel dan Betlehem di Tepi Barat, Palestina. Menurut kantor berita Reuters, sejumlah hotel di Israel dan maskapai penerbangan El Al dalam beberapa hari terakhir mengalami pembatalan pesanan kamar maupun jadwal penerbangan dari para turis.

Jumlah pembatalan kunjungan ini akan terus bertambah bila konflik berlanjut. "Konflik yang berlanjut di kawasan selatan bakal memukul industri pariwisata, yang merupakan salah satu andalan pendapatan di wilayah itu," kata Menteri Pariwisata Israel, Stas Misezhnikov pada Minggu waktu setempat. Pemerintah negara zionis itu mengaku bahwa sektor wisata hanya menyumbang 2-3 persen dari pertumbuhan ekonomi mereka.

Israel melancarkan serangan udara ke Jalur Gaza sejak Rabu 14 November 2012. Negara zionis itu beralasan bahwa kelompok militan Hamas di Gaza melancarkan serangan roket secara sporadis ke wilayah mereka di pesisir sehingga perlu ada serangan balasan.

Sejumlah tembakan roket Hamas mengarah ke Tel Aviv, kota yang menjadi pusat dagang dan keuangan Israel. Ini merupakan kejutan karena sebelumnya roket-roket Hamas tidak mampu melaju sejauh itu.

Di Yerusalem, pihak keamanan Israel pun rutin membunyikan sirine peringatan tembakan rudal dari Gaza sejak Jumat pekan lalu. Situasi itulah yang membuat para turis mengurungkan niat mengunjungi Yerusalem.

Pemerintah Israel menyatakan masih terlalu dini untuk menaksir kerugian yang diderita akibat konflik ini. Namun dampak kerugiannya bisa besar.

Seorang juru bicara Fattal, jaringan hotel terbesar di Israel, mengaku telah menerima beberapa pembatalan pesanan kamar. "Kami melihat awal dari tren, namun perlu beberapa hari berikut untuk bisa memperkirakan arah tren keseluruhan," kata juru bicara itu.

Hotel American Colony di Yerusalem juga mengungkapkan pembatalan pesanan kamar di menit-menit akhir. Pembatalan ini juga muncul dari para turis lokal di Israel. Mereka memilih tinggal di rumah ketimbang jalan-jalan.

Kapal pesiar yang biasa berlabuh di Pelabuhan Ashdod pun tidak berani boleh mendekat. Selain itu rute penerbangan ke dan dari Bandara Ben Gurion di Tel Aviv dialihkan ke kawasan utara untuk memberi ruang lebih luas bagi jet-jet tempur Israel dalam menggempur Gaza.

Sebelum munculnya kembali konflik di Gaza, Israel telah menikmati tingginya kunjungan turis. Selama Januari-September 2012, sebanyak 2,6 juta turis mengunjungi negara itu. Ini rekor baru dan 7 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu.

Tidak saja Israel yang mengalami kerugian di sektor wisata akibat konflik. Turisme menyumbang 12 persen dari produk domestik bruto Palestina.

Kota Betlehem, yang berada di wilayah Palestina, memiliki situs-situs suci bagi umat Kristen. Gereja Kelahiran Yesus Kristus, misalnya, selama ini menarik minat banyak umat Kristen di penjuru dunia untuk ziarah ke sana.

Sejak konflik berlangsung, Betlehem kehilangan hampir setengah dari total turisnya. "Menurut saya persentase pembatalan kunjungan sekitar 40-50 persen hingga akhir November dan bulan depan," kata Elias al Arja, ketua Asosiasi Arab untuk jaringan hotel di Betlehem.

Pendapatan Turun 
Media massa Israel juga mencatat bahwa konflik di Gaza turut merugikan perekonomian mereka. Dalam lima hari terakhir sudah ratusan juta shekel (NIS) yang hilang, baik berupa potensi pendapatan dan biaya produksi yang harus ditanggung.

Selain banyak turis yang batal ke tempat-tempat wisata di Israel, kerugian ekonomi ini berupa banyaknya pekerja rutin yang tiba-tiba harus dipanggil berdinas militer lantara mereka berstatus sebagai tentara cadangan. Bagi yang tetap bekerja, semangat pun turun karena terganggu oleh kekhawatiran akan keamanan mereka dan keluarga dan ini berdampak negatif bagi produktifitas.

Kerugian juga melanda para pebisnis di Jalur Gaza. Tidak sedikit tempat usaha maupun rumah mereka dan pegawai mereka hancur karena serangan udara militer Israel. Target mereka adalah para militan Hamas, namun rudal-rudal mereka juga menembaki bangunan-bangunan warga sipil.

Kerugian total di segi ekonomi akan tergantung pada seberapa lama konflik ini berlangsung. Perusahaan informasi bisnis, BDI, kepada harian Haaretz mengungkapkan bahwa operasi militer Pillar of Defense ini diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi di Israel sebesar NIS 1,1 miliar atau sekitar Rp2,6 triliun per minggu.

Perhitungan itu berdasarkan angka kerugian aktual yang ditanggung Israel saat menggelar operasi militer Cast Lead beberapa tahun lalu. Targetnya juga sama, kelompok Hamas di Jalur Gaza. Operasi Cast Lead berlangsung sekitar tiga pekan, dari 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009.

Menurut BDI, sebagian besar biaya yang harus dikeluarkan Israel pada serangan militer kali ini untuk membiayai amunisi dan bahan bakar. Untuk kerusakan properti, seperti rumah dan dan tempat bisnis milik warga Israel, BDI memperkirakan kerugiannya sekitar NIS 25 juta (sekitar Rp60,9 miliar).

Operasi militer kali ini juga mengganggu bisnis iklan di Israel. Menurut Yifat, perusahaan yang meriset media, pendapatan iklan di televisi turun 20% sejak dimulainya operasi Pillar of Defense.

Pada Rabu hingga Sabtu pekan lalu, belanja iklan di televisi hanya US$17,5 juta. Jumlah ini lebih rendah dari periode yang sama pada pekan sebelumnya, yang sebesar US$22 juta.

Para klien rata-rata menunda tayangan iklan mereka di siaran televisi untuk sementara waktu, karena para pemirsa lebih antusias mengikuti berita-berita terkini mengenai perang di Jalur Gaza dan panggilan tentara cadangan untuk berdinas. Ironisnya, anjloknya belanja iklan itu justru terjadi saat jumlah pemirsa di televisi di Israel bertambah banyak dalam beberapa hari terakhir untuk mengikuti perkembangan konflik.

Menurut survei BDI, banyak konsumen di Israel yang belakangan ini mengurangi belanja untuk kegiatan bersantai maupun hiburan. Banyak pula dari mereka yang saat ini dipanggil berdinas militer karena berstatus tentara cadangan. Maka, bila pemerintah tetap pada rencana mengerahkan 30.000 tentara cadangan, ongkos perang yang ditanggung Israel bertambah NIS 70 juta per minggu.

Sementara itu, tidak ada perhitungan secara spesifik atas kerugian ekonomi yang ditanggung Palestina di Jalur Gaza akibat serangan Israel. Tidak seperti Israel, infrastruktur ekonomi Palestina di Gaza masih jauh dari ukuran normal karena terus-menerus diblokade oleh militer zionis sehingga, kalaupun ada, aktivitas bisnis dan perdagangan di sana masih sulit untuk diukur.

Belum lagi pulih akibat serangan Israel selama akhir Desember 2008 - awal Januari 2009, Kota Gaza dan sekitarnya kembali digempur jet-jet tempur Israel. Tidak ada kerugian yang bisa diukur di sana kecuali korban jiwa dan rumah-rumah warga yang hancur.

Apalagi wilayah Palestina, untuk saat ini, terbelah oleh Israel. Jalur Gaza dan Tepi Barat dipisahkan oleh Israel, yang berada di tengah-tengah, sehingga perekonomian Palestina tidak berjalan normal. Kota Gaza di sebelah barat, sedangkan Ramallah di timur.

Memang masih ada aktivitas ekonomi di Tepi Barat. Namun, ekonomi di wilayah itu turut terganggu oleh krisis di Gaza, belum lagi akibat aksi-aksi sporadis pasukan Israel dan pemukim Yahudi yang sering menyerobot tanah milik warga Palestina.   

Harga Minyak 
Konflik terkini di Timur Tengah itu tidak saja merugikan ekonomi Israel dan Palestina. Dunia pun cemas karena konflik ini bisa berpengaruh pada naiknya harga minyak.

Menurut laman RTE, harga minyak dalam transaksi elektronik untuk perdagangan Asia di bursa New York pada Senin pagi 19 November naik di atas US$87 per barel. Di bursa London, harga minyak Brent juga naik, yaitu sebesar 55 sen menjadi US$109,5 .barel. Jumat pekan lalu sudah naik menjadi US$108,95 per barel.

Kalangan pengamat menilai bahwa para investor sudah khawatir bahwa pasokan minyak di Timur Tengah bisa terganggu bila konflik Israel-Palestina di Gaza terus berlanjut. Naiknya harga minyak bisa menjadi masalah besar bila muncul sikap yang frontal dari negara-negara Arab penghasil minyak di Timur Tengah.

Apalagi sudah ada seruan dari pemimpin milisi Hisbullah agar negara-negara Arab menggunakan segala cara untuk mendukung Palestina dari serangan Israel. Ini termasuk menaikkah harga minyak. Ini dipandang menjadi langkah efektif untuk menekan Israel dan sekutu-sekutu yang mendukungnya, termasuk AS, demi menghentikan konflik itu. 

"Kurangi ekspor minyak kalian atau naikkan sedikit harganya, pasti bakal mengguncang AS dan Eropa. Dengan tekanan demikian, maka tidak perlu mengerahkan bala tentara, tank atau pesawat tempur," demikian saran pemimpin Hisbullah, Hassan Nasrallah, pekan lalu seperti dikutip Reuters.

Entah apakah negara-negara Arab penghasil minyak itu mau mendengarkan saran Hisbullah, yang selama ini pro-Iran, mengingat mereka terhalang perbedaan ideologi politik sehingga sulit bersatu. Namun saran itu cukup mengundang perhatian media massa dan juga pengamat pasar minyak dunia.

Berbasis di Lebanon, Hisbullah merupakan milisi yang disegani Israel. Mereka terakhir berperang pada 2006. Berlangsung selama 34 hari, perang itu menewaskan 1.200 warga sipil di Lebanon dan 160 warga Israel, sebagian besar tentara.

No comments:

Post a Comment