Selain tiga tewas, 10 warga mengalami luka-luka, dan satu di antaranya masih kritis. Kepala Bidang Humas Polda Aceh, Kombes Gustav Leo, menjelaskan bahwa bentrok ini terjadi Jumat 16 November 2012 pukul 22.30 WIB. Berawal dari sekompok warga Desa Jambo Dalam, Bireuen yang mendatangi salah satu rumah milik Tengku Aiyub Syahkuban (47).
Warga keberatan karena Aiyub menyebarkan ajaran Islam yang diduga mengarah ke kesesatan. Polisi, kisah Gustav, berusaha memediasi warga dengan Aiyub dan sempat berhasil. "Tapi, kemudian ada warga yang masuk ke dalam rumah Aiyub. Di dalam terjadi bentrokan. Ada yang memarang warga yang masuk tersebut," jelas Gustav saat dihubungiVIVAnews, Sabtu 17 November 2012.
Warga yang nahas diparang Aiyub adalah Mansyur (35). Selain Mansyur, 10 warga lainnya mengalami luka-luka. Melihat ada perlawanan dari Aiyub dan puluhan pengikutnya, warga kocar-kacir menyelamatkan diri. "Tapi, mereka kembali dengan membawa massa yang lebih besar, sampai 1.500 orang. Mereka menyerang rumah Aiyub," jelas Gustav.
Dalam serangan itu, Aiyub tewas bersama satu pengikutnya yang bernama Muntafsir (26). Warga juga membakar rumah milik Aiyub. "Sebetulnya, kalau Aiyub dan pengikutnya tidak melawan, saya yakin tidak akan bentrok dan jatuh korban seperti ini," kata Gustav.
Akibat bentrokan itu, Desa Jambo Dalam sempat mencekam. Suasana bisa dikendalikan Sabtu dinihari pukul 01.00 WIB. "Kami tempatkan beberapa personel kepolisian dibantu TNI."
Untuk menghindari bentrok susulan, polisi mengamankan keluarga dan pengikut Aiyub ke Polres Bireuen. Sementara korban luka-luka kini dirawat di Rumah Sakit dr Fauziah Bireuen.
Kapolres Bireuen, AKBP Yuri Karsono, menjelaskan bahwa kepolisian berupaya menenangkan warga. "Selain itu berkoordinasi dengan tokoh masyarakat untuk mencari solusi dari permasalahan atas kasus ini," katanya.
Menurut Yuri, sebenarnya kontroversi tentang aliran yang dikembangkan Tengku Aiyub telah terjadi sejak tahun 2010 lalu. Muspika setempat juga telah melakukan berbagai upaya untuk mencari jalan terbaik.
Kapolres Bireuen, AKBP Yuri Karsono, menjelaskan bahwa kepolisian berupaya menenangkan warga. "Selain itu berkoordinasi dengan tokoh masyarakat untuk mencari solusi dari permasalahan atas kasus ini," katanya.
Menurut Yuri, sebenarnya kontroversi tentang aliran yang dikembangkan Tengku Aiyub telah terjadi sejak tahun 2010 lalu. Muspika setempat juga telah melakukan berbagai upaya untuk mencari jalan terbaik.
"Bahkan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) sudah menyatakan aliran itu mengarah ke kesesatan dan meminta agar Tengku Aiyub menghentikan pengajiannya. Hingga semalam terjadi bentrokan ini," kata Yuri Karsono.
Ulama Sesalkan Kekerasan
Ulama Sesalkan Kekerasan
Wakil Ketua MPU Bireuen, Tengku Jamaluddin, mengungkapkan bahwa pihaknya pernah bersidang untuk mencari tahu benar tidaknya tuduhan tentang ajaran sesat yang diajarkan Tengku Aiyub. Sidang itu digelar pada 2010 lalu. Kesimpulannya: aliran Tengku Aiyub baru diduga mengarah kepada kesesatan.
Menurut Tengku Jamaluddin, Tengku Aiyub melarang pengikutnya untuk salat di masjid karena bahan bangunan untuk membangun masjid seperti pasir, batu bata, dan semen, mengandung najis dan tidak suci. Karena itu pula dia tidak pernah melaksanakan salat Jumat secara berjamaah di masjid.
“Sebelum kejadian ini, kami sudah meminta keterangan dari Tengku Aiyub, dia juga tidak sanggup memberi bukti, mana yang dikatakan najis dalam bahan bangunan masjid seperti batu bata dan pasir,” kata Tengku Jamaluddin, saat dihubungi VIVAnews, Sabtu, 17 November 2012.
Selain persoalan melarang pengikutnya untuk beribadah di Masjid, kata Tengku Jamaluddin, hubungan antara Tengku Aiyub dengan warga di sekitar balai pengajiannya juga kurang harmonis.
Di depan anggota MPU Bireuen, Tengku Aiyub waktu itu juga sudah menyatakan tidak akan menghidupkan kembali balai pengajiannya. Kata Jamaluddin, Aiyub juga sudah menandatangani surat perjanjian di depan Kepolres Bireuen.
“Karena warga mendengar bahwa dia kembali menggelar pangajian, maka warga mendatangi balai pengajian Tengku Aiyub untuk memastikan informasi itu benar atau tidak. Saat warga datang itu lah pengikut tengku Aiyub berusaha melawan,” katanya.
Meski dinilai menjurus kepada kesesatan, Jamaluddin membantah keras beberapa tudingan bahwa Tengku Aiyub melegalkan hubungan intim di luar nikah. “Tidak benar itu. Ajaran Tengku Aiyub hanya masih diduga menjurus kepada kesesatan,” ujarnya.
Wakil Ketua MPU Aceh, Tengku Faisal Ali, juga menyesalkan penyerangan balai pengajian Tengku Aiyub, Jumat malam 16 November 2012. Mestinya bentrokan itu tidak terjadi. “Kami sangat meyesalkan kasus ini yang sampai pada tindakan kekerasan, seharusnya ini tidak terjadi,” katanya.
Solusi Atasi Konflik
Profesor Sosiologi Universitas Indonesia, Thamrin A. Tamagola, menegaskan bentrok-bentrok yang pecah akhir-akhir ini disebabkan potensi konflik yang dibiarkan menumpuk. Dia menyebut potensi konflik tersebut sebagai jerami kering atau amunisi.
"Karena sudah terakumulasi, persoalan kecil saja bisa jadi pemicu ledakan besar. Tapi, di Lampung Selatan itu pemicunya persoalan serius, pelecehan seksual," jelasnya dalam perbincangan dengan VIVAnews.
Menurut Tengku Jamaluddin, Tengku Aiyub melarang pengikutnya untuk salat di masjid karena bahan bangunan untuk membangun masjid seperti pasir, batu bata, dan semen, mengandung najis dan tidak suci. Karena itu pula dia tidak pernah melaksanakan salat Jumat secara berjamaah di masjid.
“Sebelum kejadian ini, kami sudah meminta keterangan dari Tengku Aiyub, dia juga tidak sanggup memberi bukti, mana yang dikatakan najis dalam bahan bangunan masjid seperti batu bata dan pasir,” kata Tengku Jamaluddin, saat dihubungi VIVAnews, Sabtu, 17 November 2012.
Selain persoalan melarang pengikutnya untuk beribadah di Masjid, kata Tengku Jamaluddin, hubungan antara Tengku Aiyub dengan warga di sekitar balai pengajiannya juga kurang harmonis.
Di depan anggota MPU Bireuen, Tengku Aiyub waktu itu juga sudah menyatakan tidak akan menghidupkan kembali balai pengajiannya. Kata Jamaluddin, Aiyub juga sudah menandatangani surat perjanjian di depan Kepolres Bireuen.
“Karena warga mendengar bahwa dia kembali menggelar pangajian, maka warga mendatangi balai pengajian Tengku Aiyub untuk memastikan informasi itu benar atau tidak. Saat warga datang itu lah pengikut tengku Aiyub berusaha melawan,” katanya.
Meski dinilai menjurus kepada kesesatan, Jamaluddin membantah keras beberapa tudingan bahwa Tengku Aiyub melegalkan hubungan intim di luar nikah. “Tidak benar itu. Ajaran Tengku Aiyub hanya masih diduga menjurus kepada kesesatan,” ujarnya.
Wakil Ketua MPU Aceh, Tengku Faisal Ali, juga menyesalkan penyerangan balai pengajian Tengku Aiyub, Jumat malam 16 November 2012. Mestinya bentrokan itu tidak terjadi. “Kami sangat meyesalkan kasus ini yang sampai pada tindakan kekerasan, seharusnya ini tidak terjadi,” katanya.
Solusi Atasi Konflik
Profesor Sosiologi Universitas Indonesia, Thamrin A. Tamagola, menegaskan bentrok-bentrok yang pecah akhir-akhir ini disebabkan potensi konflik yang dibiarkan menumpuk. Dia menyebut potensi konflik tersebut sebagai jerami kering atau amunisi.
"Karena sudah terakumulasi, persoalan kecil saja bisa jadi pemicu ledakan besar. Tapi, di Lampung Selatan itu pemicunya persoalan serius, pelecehan seksual," jelasnya dalam perbincangan dengan VIVAnews.
Selama ini, sejumlah peristiwa bentrokan itu hanya sesaat dipadamkan tanpa menyelesaikan persoalan mendasar dari setiap konflik. "Akhirnya, potensi itu akan selalu ada dan bisa meledak kembali di masa mendatang," kata Thamrin.
Dia lalu mengambil contoh Poso dan Maluku yang dulu diselesaikan dengan sejumlah perjanjian damai kedua kubu bertikai. Tapi, kini riak-riak konflik kembali muncul. "Perjanjian Malino dan sebagainya hanya memadamkan api saat itu saja, tapi tidak menghalau jerami-jerami kering."
Lantas apa solusinya? Menurutnya, bentrokan harus bisa diselesaikan hingga akar persoalan. "Siapa yang menyelesaikan? Bukan lembaga ad hoc, tapi justru lembaga permanen seperti pemerintah daerah, aparat setempat, dan yang terpenting adalah universitas lokal dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)."
Universitas lokal dan LIPI, katanya, bisa bekerja sama meneliti dan menggali apa sebetulnya yang menjadi penyebab utama munculnya potensi-potensi konflik di satu daerah. Mereka harus mampu bikin peta konflik dengan sejumlah indikator. Apakah potensi konflik itu masih lampu hijau, kuning, atau sudah mendekati lampu merah.
Peta konflik tersebut, kemudian, diserahkan kepada Pemda dan kepolisian sebagai dasar pengambilan langkah-langkah antisipasi dan pencegahan. Antisipasi dan pencegahan adalah dua langkah besar yang harus dilakukan. "Masak kita harus menunggu bentrok besar terus," kata Thamrin.
Dia mengaku pernah menyarankan solusi ini sesaat setelah pecah konflik berbau SARA di Maluku dan Poso. Tapi, lanjutnya, "Saran itu tidak didengar sampai ada bentrokan-bentrokan belakangan ini."
Dia lalu mengambil contoh Poso dan Maluku yang dulu diselesaikan dengan sejumlah perjanjian damai kedua kubu bertikai. Tapi, kini riak-riak konflik kembali muncul. "Perjanjian Malino dan sebagainya hanya memadamkan api saat itu saja, tapi tidak menghalau jerami-jerami kering."
Lantas apa solusinya? Menurutnya, bentrokan harus bisa diselesaikan hingga akar persoalan. "Siapa yang menyelesaikan? Bukan lembaga ad hoc, tapi justru lembaga permanen seperti pemerintah daerah, aparat setempat, dan yang terpenting adalah universitas lokal dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)."
Universitas lokal dan LIPI, katanya, bisa bekerja sama meneliti dan menggali apa sebetulnya yang menjadi penyebab utama munculnya potensi-potensi konflik di satu daerah. Mereka harus mampu bikin peta konflik dengan sejumlah indikator. Apakah potensi konflik itu masih lampu hijau, kuning, atau sudah mendekati lampu merah.
Peta konflik tersebut, kemudian, diserahkan kepada Pemda dan kepolisian sebagai dasar pengambilan langkah-langkah antisipasi dan pencegahan. Antisipasi dan pencegahan adalah dua langkah besar yang harus dilakukan. "Masak kita harus menunggu bentrok besar terus," kata Thamrin.
Dia mengaku pernah menyarankan solusi ini sesaat setelah pecah konflik berbau SARA di Maluku dan Poso. Tapi, lanjutnya, "Saran itu tidak didengar sampai ada bentrokan-bentrokan belakangan ini."
No comments:
Post a Comment