Peneliti iklim Denmark (dipublikasikan pada jurnal Climate of the Past) mengubah pandangan mengenai pegunungan di Sumatera, dimana sisa-sisa letusan gunung Toba terjadi sekitar 74,000 tahun lalu meletus dan menjadi letusan gunung berapi terbesar di Bumi dalam dua juta tahun terakhir.
Letusan Gunung Toba Dan Kelanjutan Peradaban
Letusan gunung Toba memuntahkan magma lebih dari 2800 km3, dan sebanyak 800 km3 dilemparkan ke atmosfer sebagai abu yang menyebar hingga ke barat Laut Arab. Aerosol kimia terbawa lebih jauh dan telah terdeteksi di inti es Greenland dan Antartika. Debu vulkanik dan gas seperti belerang dioksida dapat memberikan efek dramatis pada iklim bumi.
Sulfur dioksida menyatu dengan air untuk membentuk tetesan kecil (atau aerosol) dari asam sulfat, yang dapat membuat kabut mengurangi sinar matahari mencapai permukaan bumi, iklim ini dan memicu musim dingin vulkanik. Letusan gunung Toba bertepatan dengan lonjakan konsentrasi sulfat di inti es Greenland, diikuti satu abad atau lebih terjadi pendinginan drastis di mana suhu turun sekitar 10 derajat Celcius. Ilmuwan dari Universitas Kopenhagen Niels Bohr Institute menggunakan data tentang letusan untuk menghubungkan pengeboran inti es Greenland dan Antartika dengan mempelajari keasaman es.
Para peneliti melacak asam ini di lapisan es Greenland dan di belahan bumi Antartika. Semua ini memungkinkan untuk meng-sinkronisasi dua belahan dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Rangkaian puncak keasaman dari dua inti es sangat sesuai, peneliti telah menghitung lapisan yang tertimbun selama bertahun-tahun antara puncak asam didua inti es.
Temuan baru ini memungkinkan para ilmuwan untuk membandingkan inti es Greenland dan Antartika dengan akurasi tahunan. Dengan cara ini, mereka dapat menggabungkan pengetahuan terdahulu tentang perubahan iklim di kutub utara dan selatan. Dengan mengukur kandungan gas rumah kaca dalam inti es, para ilmuwan sebelumnya telah memiliki ketidakpastian relatif tentang kejadian beberapa ratus tahun lalu. Tetapi dengan lapisan vulkanik dapat menghubungkan core dalam beberapa dekade.
Gunung Toba Berperan Dalam Perubahan Iklim
Ada banyak spekulasi tentang bagaimana suatu letusan besar mempengaruhi iklim, awan raksasa berpartikel belerang dilemparkan ke stratosfer yang melindungi dari radiasi matahari, tentunya hal ini menyebabkan bumi menjadi dingin. Pemodelan menunjukkan letusan besar gunung Toba bisa menyebabkan pendinginan hingga sepuluh derajat di suhu global selama beberapa dekade.
Sejarah yang sebelumnya dari letusan gunung Toba menegaskan bahwa hal itu menyebabkan cuaca dingin lebih dari 1000 tahun di Greenland. Tetapi temuan baru menunjukkan bahwa letusan gunung Toba tidak menyebabkan pendinginan global yang berkepanjangan, karena bertepatan dengan pemanasan di Antartika.
Pola iklim berlawanan di utara dan selatan bersamaan dengan perubahan iklim mendadak di utara dapat dilihat di seluruh Zaman Es. Hal ini tentu saja menyatakan secara langsung bahwa gunung Toba meletus selama satu periode di mana pendinginan besar-besaran terjadi di utara. Dalam kaitan periode pendinginan di Greenland pada Zaman Es, belum banyak penemuan letusan besar seperti yang terjadi pada ledakan gunung Toba.
Nenek Moyang Manusia Berasal Dari Asia?
Ini berkaitan dengan studi Michael Storey dari Roskilde University sebelumnya, dia menerbitkan sebuah studi presisi letusan yang tak terlihat hingga sekarang, letusan gunung Toba yang terjadi 73,880 tahun yang lalu.
Sejarah ditandai dengan Haplotype disebut L3 yang berasal sebelum manusia meninggalkan Afrika, fosil genetik yang ditemukan pada banyak orang Afrika dan non-Afrika. Catatan Pedro Soares (Molecular Biology Evolution 29, 915–927, 2012) menyatakan molekuler L3 sudah ada sejak 60,000 hingga 70,000 tahun yang lalu yang menunjukkan bahwa manusia meninggalkan Afrika beberapa ribu tahun setelah ledakan gunung Toba.
Haplotype tertua yang merupakan keturunan langsung dari L3 luar Afrika berusia 60,000 hingga 65,000 tahun. Fosil ini memunculkan beberapa pendapat variasi genetik yang tersebar sepanjang Arab hingga ke Bali. Stephen Oppenheimer, seorang ahli genetika University of Oxford mengatakan bahwa manusia bergerak sangat cepat, sebelum mutasi baru terjadi.
Rute yang paling masuk akal dalam migrasi cepat tersebut adalah di sepanjang pantai Samudra Hindia. Pada pertengahan tahun 2000-an, sebagian besar peneliti mengenal mutasi ekspress, hal ini dikenal migrasi pasca ledakan gunung Toba. Kemudian analisis mtDNA dan kromosom Y pria menyatakan bahwa manusia keluar dari Afrika mungkin kurang dari 60,000 tahun yang lalu.
Dan dalam review tahun 2006 yang diterbitkan Paul Mellars (Going East: New Genetic and Archaeological Perspectives on the Modern Human Colonization of Eurasia), Mellars berpendapat bahwa catatan arkeologi Asia dan Australia tidak hanya didukung bukti genetik migrasi pasca ledakan gunung Toba, tetapi juga menunjukkan bagaimana kemajuan budaya membantu untuk membentuk peradaban baru dibelahan dunia
No comments:
Post a Comment