Wednesday 7 November 2012

Pahlawan dan Nasionalisme Santri

Oleh :  Muhamad Mustaqim

Ada sebuah pendapat, bahwa Hari Pahlawan tidak akan pernah ada, jika tidak ada resolusi jihad. Pendapat ini boleh jadi subyektif dan sektarian, mengingat resolusi jihad merupakan maklumat yang pernah difatwakan oleh ormas Nahdlatul Ulama' (NU). Namun jika kita telusuri secara historis, ada korelasi yang signifikan anatara resolusi jihad 22/24 Oktober 1945 dengan perang dasyat 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. 

Resolusi jihad merupakan "instruksi" yang disampaikan oleh pengurus Besar NU kepada seluruh warga nahdliyin. Khususnya yang berada di Surabaya, tempat pendudukan Inggris (NICA) pasca kemerdekaan. Dalam resolusi tersebut, diserukan bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 km dari pendudukan pasukan militer Inggris, maka fardhu ain hukumnya untuk berjihad, perang mengusir penjajah. Dan bagi yang berada di luar radius tersebut, maka hukumnya hanyalah fardhu kifayah. Namun status bisa meningkat menjadifardhu ain jika keadaan dan situasi menjadi darurat. 

Resolusi ini berdampak besar bagi perlawanan terhadap agresi militer NICA yang didalamnya juga diboncengi oleh Belanda. Terjadi pertempuran sengit antara santri dan arek-arek Surabaya terhadap upaya penjajahan pasca Proklamasi. Bahkan Jenderal Mallaby, komandan perang Inggris tewas, yang mengakibatkan Inggris semakin marah dan ganas. Puncaknya adalah tanggal 10 November, di mana merupakan hari selesainya deadline atas maklumat Inggris untuk menyerahkan pembunuh sang jenderal. 

Nasionalisme ala NU

Resolusi jihad dalam hal ini adalah satu di antara beberapa bukti akan nasionalisme NU. Tanpa bermaksud mengecilkan peran ormas lainnya, NU mempunyai sumbangsih yang besar bagi sejarah perjuangan bangsa ini. Sebagai organisasi yang mempunyai pengikut terbesar di Indonesia, NU telah mendorong proses pergerakan pemikiran dan massa dalam mengembangkan ajaran Islam di Nusantara ini. 

Ada beberapa bukti sejarah - sekali lagi, meskipun ini tampak sangat subyektif - mengenai nasionalisme ala NU ini. Pertama, NU dalam sebuah muktamarnya pernah mengeluarkan sebuah fatwa tentang Dar Islam, di mana Indonesia merupakan negara Islami yang wajib dibela dan dipertahankan. NU tidak begitu sepakat dengan konsep Dar Al-Islam, yang berarti negara Islam. Namun NU lebih cocok bila Nusantara ini merupakan Dar Islam (negara islami). Dar Islam ini mengisyaratkan adanya penghargaan terhadap agama-agama lain di luar Islam, sehingga toleransi bisa terlaksana. 

Kedua, tentang posisi Presiden Soekarno yang dimaknai NU sebagai waliy al amri al-dlaruri bi al-syaukah. Yakni penerimaan Presiden Sukarno sebagai orang yang berhak mengurusi persoalan ummat. Di tengah perdebatan ormas Islam lainnya tentang boleh tidaknya posisi Presiden dalam syariat Islam, NU secara tegas "merestui" Soekarno untuk menjadi Presiden Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan. 

Ketiga, tentang pembasmian Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965. Dalam hal ini NU melalui Banser (Barisan Ansor Serba Guna) melakukan pemusnahan terhadap ideologi komunisme beserta para anteknya. Pada waktu itu, informasi yang beredar menyatakan bahwa PKI, melalui Gerakan 30 September (G30S) telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Meskipun hal ini menjadi kontroversi, ketika NU dianggap terlibat dalam kejahatan kemanusiaan pembantaian orang yang diduga terlibat PKI. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mewakili NU pernah meminta maaf kepada bangsa dan para korban. Terlepas dari hal tersebut, NU sebenarnya mencoba untuk melindungi bangsa ini dari rongrongan pemberontakan. Meskipun hal ini kemudian "dimanfaatkan" oleh para penguasa untuk memuluskan misi kepentingannya tersebut. 

Keempat, tentang penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam muktamar tahun 1984, NU menyatakan penerimaannya terhadap asas Pancasila. NU menganggap Pancasila merupakan simbol pemersatu bangsa, dari berbagai keanekaragaman dan perbedaan bangsa ini. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, Orde baru demi untuk menguatkan dominasinya, dan melemahkan organisasi berbasis Islam, menetapkan asas tunggal Pancasila. Semua organisasi sosial, politik, keagamaan harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dan dasar organisasi, padahal banyak organisasi Islam pada waktu itu menggunakan Islam sebagai dasar organisasinya.

Kelima, tentang upaya memecahkan problematika kebangsaan. Dalam Munas Alim Ulama tahun 2012 kemarin, NU merekomendasikan agar pemerintah mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi. Selain itu persoalan korupsi pajak, pemilukada langsung, pembangunan karakter bangsa juga menjadi rekomendasi dalam Munas tersebut. Hak ini menurut penulis adalah wujud kepedulian NU terhadap pesoalan kebangsaan.

Belajar dari resolusi jihad, sudah saatnya kita sebagai elemen bangsa merasa terpanggil untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Jika pada masa resolusi jihad 1945, para pahlawan mempertaruhkan jiwa dan raga untuk mempertahankan bangsa ini dari penjajahan, maka resolusi jihad saat ini mengisyaratkan kita untuk bersungguh-sungguh memberikan segala kemampuan kita untuk membangun bangsa. 

Bangsa ini tengah menghadapi berbagai problematika dalam segala bidang, ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan dan lainnya. Tanggung jawab pemecahan problematika bangsa tersebut bukan hanya dibebankan kepada pemerintah dan aparat saja. Sebagai bagian dari bangsa, kita harus tergerak untuk melakukan jihad. 

Jihad bagi kita adalah membangun diri kita menjadi manusia dan warga negara yang baik. Jika setiap masing-masing kita melakukan hal tersebut, maka secara kumulatif akan berdampak pada kolektivitas kita sebagai bangsa. Memperbaiki dan membangun bangsa, harus dimulai dari jihad diri sendiri.

No comments:

Post a Comment